Thursday, May 12, 2016


SEJARAH DARI TIAP-TIAP PROVINsI DI INDONESIA





1.Sejarah Singkat Provinsi Aceh
logo Provinsi Nangroe Aceh Darussalam

Menurut catatan sejarah, Aceh adalah tempat pertama masuknya agama Islam di Indonesia dan sebagai tempat timbulnya kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Peureulak dan Pasai. Kerajaan yang dibangun oleh Sultan Ali Mughayatsyah dengan ibukotanya di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh sekarang) lambat laun bertambah luas wilayahnya yang meliputi sebagaian besar pantai Barat dan Timur Sumatra hingga ke Semenanjung Malaka.
Kehadiran daerah ini semakin bertambah kokoh dengan terbentuknya Kesultanan Aceh yang mempersatukan seluruh kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di daerah itu. Dengan demikian kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada permulaan abad ke-17, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

Pada masa itu pengaruh agama dan kebudayaan Islam begitu besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh, sehingga daerah ini mendapat julukan “Seuramoe Mekkah” (Serambi Mekkah). Keadaan ini tidak berlangsung lama, karena sepeninggal Sultan Iskandar Muda para penggantinya tidak mampu mempertahankan kebesaran kerajaan tersebut. Sehingga kedudukan daerah ini sebagai salah satu kerajaan besar di Asia Tenggara melemah. Hal ini menyebabkan wibawa kerajaan semakin merosot dan mulai dimasuki pengaruh dari luar. Kesultanan Aceh menjadi incaran bangsa Barat yang ditandai dengan penandatanganan Traktat London dan Traktat Sumatera antara Inggris dan Belanda mengenai pengaturan kepentingan mereka di Sumatera. Sikap bangsa Barat untuk menguasai wilayah Aceh menjadi kenyataan pada tanggal 26 Maret 1873, ketika Belanda menyatakan perang kepada Sultan Aceh.

Tantangan yang disebut ‘Perang Sabi’ ini berlangsung selama 30 tahun dengan menelan jiwa yang cukup besar tersebut memaksa Sultan Aceh terakhir, Twk.Muhd. Daud untuk mengakui kedaulatan Belanda di tanah Aceh.

Dengan pengakuan kedaulatan tersebut, daerah Aceh secara resmi dimasukkan secara administratif ke dalam Hindia Timur Belanda (Nederlansch Oost-Indie) dalam bentuk propinsi yang sejak tahun 1937 berubah menjadi keresidenan hingga kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia berakhir. Pemberontakan melawan penjajahan Belanda masih saja berlangsung sampai ke pelosok-pelosok Aceh. Kemudian peperangan beralih melawan Jepang yang datang pada tahun 1942. Peperangan ini berakhir dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tahun 1945.

Dalam jaman perang kemerdekaan, sumbangan dan keikutsertaan rakyat Aceh dalam perjuangan sangatlah besar, sehingga Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno memberikan julukan sebagai “Daerah Modal” pada daerah Aceh.

Sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat, Aceh merupakan salah satu daerah atau bagian dari negara Republik Indonesia sebagai sebuah karesidenan dari Provinsi Sumatera. Bersamaan dengan pembentukan keresidenan Aceh, berdasarkan Surat Ketetapan Gubernur Sumatera Utara Nomor 1/X tanggal 3 Oktober 1945 diangkat Teuku Nyak Arief sebagai Residen.

Kedudukan daerah Aceh sebagai bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan status. Pada masa revolusi kemerdekaan, Keresidenan Aceh pada awal tahun 1947 berada di bawah daerah administratif Sumatera Utara. Sehubungan dengan adanya agresi militer Belanda terhadap Republik Indonesia, Keresidenan Aceh, Langkat dan Tanah Karo ditetapkan menjadi Daerah militer yang berkedudukan di Kutaradja (Banda Aceh sekarang) dengan Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh.

Walaupun pada saat itu telah dibentuk Daerah Militer namun keresidenan masih tetap dipertahankan. Selanjutnya pada tanggal 5 April 1948 ditetapkan Undang undang Nomor 10 Tahun 1948 yang membagi Sumatera menjadi 3 Propinsi Otonom, yaitu : Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Propinsi Sumatera Utara meliputi keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli Selatan, dengan pimpinan Gubernur Mr. S.M. Amin.

Dalam menghadapi agresi militer kedua yang dilancarkan Belanda untuk menguasai Negara Republik Indonesia, Pemerintah bermaksud untuk memperkuat pertahanan dan keamanan dengan mengeluarkan Ketetapan Pemerintah Darurat Republik Indonesia Nomor 21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949 yang memusatkan kekuatan Sipil dan Militer kepada Gubernur Militer.

Pada akhir tahun 1949 Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Propinsi Sumatera Utara dan selanjutnya ditingkatkan statusnya menjadi Propinsi Aceh. Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sebelumnya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo diangkat menjadi Gubernur Propinsi Aceh. Beberapa waktu kemudian, berdasarkan Peraturan pemerintah pengganti Undang undang Nomor 5 Tahun 1950 propinsi Aceh kembali menjadi Keresidenan sebagaimana halnya pada awal kemerdekaan. Perubahan status ini menimbulkan gejolak politik yang menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat. Keinginan pemimpin dan rakyat Aceh ditanggapi oleh Pemerintah sehingga dikeluarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pembentukan kembali propinsi Aceh yang meliputi seluruh wilayah bekas keresidenan Aceh.

Dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, status Propinsi Aceh menjadi Daerah Swatantra Tingkat I dan pada tanggal 27 Januari 1957 A. Hasjmy dilantik sebagai Gubernur Propinsi Aceh. Namun gejolak politik di Aceh belum 

seluruhnya berakhir. Untuk menjaga stabilitas Nasional demi persatuan dan kesatuan bangsa, melalui misi Perdana Menteri Hardi yang dikenal dengan nama MISSI HARDI tahun 1959 dilakukan pembicaraan yang berhubungan dengan gejolak politik, pemerintahan dan pembangunan daerah Aceh. Hasil misi tersebut ditindak lanjuti dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/MISSI/1959. Maka sejak tanggal 26 Mei 1959 Daerah Swatantra Tingkat I atau Propinsi Aceh diberi status “Daerah Istimewa” dengan sebutan lengkap Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan. status ini dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintah pada masa lalu yang menitik beratkan pada sistem yang terpusat dipandang sebagai sumber bagi munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kondisi yang demikian ini memunculkan pergolakan.

Hal ini ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan pemberian Otonomi Khusus dengan disahkannya Undang-Undang no. 18 tahun 2002 dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Kemudian berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009, ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur Nanggroe Aceh Darussalam ("NAD") menjadi sebutan/nomenklatur "Aceh". Ini dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam Pasal 251 UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai provinsi dalam sistem NKRI, akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009.


2.Sejarah RingkasSumatera Utara
logo Provinsi Sumatera Utara
Pada zaman pemerintahan Belanda, Sumatera Utara merupakan suatu pemerintahan yang bernama Gouvernement van Sumatra dengan wilayah meliputi seluruh pulau Sumatera, dipimpin oleh seorang Gubernur yang berkedudukan di kota Medan.
Setelah kemerdekaan, dalam sidang pertama Komite Nasional Daerah (KND), Provinsi Sumatera kemudian dibagi menjadi tiga sub provinsi yaitu: Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Provinsi Sumatera Utara sendiri merupakan penggabungan dari tiga daerah administratif yang disebut keresidenan yaitu: Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur, dan Keresidenan Tapanuli.
Dengan diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia (R.I.) No. 10 Tahun 1948 pada tanggal 15 April 1948, ditetapkan bahwa Sumatera dibagi menjadi tiga provinsi yang masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yaitu: Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Tengah, dan Provinsi Sumatera Selatan. Tanggal 15 April 1948 selanjutnya ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Sumatera Utara.
Pada awal tahun 1949, dilakukan kembali reorganisasi pemerintahan di Sumatera. Dengan Keputusan Pemerintah Darurat R.I. Nomor 22/Pem/PDRI pada tanggal 17 Mei 1949, jabatan Gubernur Sumatera Utara ditiadakan. Selanjutnya dengan Ketetapan Pemerintah Darurat R.I. pada tanggal 17 Desember 1949, dibentuk Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli/Sumatera Timur. Kemudian, dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 pada tanggal 14 Agustus 1950, ketetapan tersebut dicabut dan dibentuk kembali Provinsi Sumatera Utara.
Dengan Undang-Undang R.I. No. 24 Tahun 1956 yang diundangkan pada tanggal 7 Desember 1956, dibentuk Daerah Otonom Provinsi Aceh, sehingga wilayah Provinsi Sumatera Utara sebahagian menjadi wilayah Provinsi Aceh.

3.Sejarah Sumatera Barat
logo Provinsi Sumatera Barat
Semua orang di Indonesia mengetahui bahwa nama Sumatera Barat merupakan euphemisme dari alam Minangkabau. Suku mayoritas di Sumatera Barat yang bangga akan adat istiadatnya, berpikiran maju, pemeluk islam yang taat dengan sistem sosial yang berbeda dengan daerah lain.
Provinsi Sumatera Barat ini memiliki posisi yang unik dan penting terutama dalam terbentuknya Kebangsaan Indonesia, karena itu tidaklah salah menyebut bahwa Sumatera Barat adalah provinsi yang paling berpengaruh di Sumatera. Orang minang yang mengisi 90 persen dari penduduk Sumatera Barat memberikan kontribusi yang tidak sedikit pada pembentukan semangat kebangsaan Indonesia dan kepemimpinan semasa kemerdekaan Indonesia, terima kasih kepada iklim intelektualitas dan kesadaran sosial masyarakat Minang ini.
Politik Devide et Impera yang sukses dilakukan Belanda pada daerah lain tidak pernah berhasil dilaksanakan di Sumatera Barat atau di tanah Minangkabau ini. Belanda pernah menawarkan otonomi khusus bagi Sumatera Barat tetapi di tolak oleh masyarakat Minang.
Mengapa Sumatera Barat
Tidaklah jelas alasan dari Pemerintah Indonesia menamakan salah satu provinsi yang terletak di pulau Sumatera sebagai Sumatera Barat. Meskipun hanya bersifat administratif, penamaan kebanyakan provinsi di pulau Sumatera ini agak membingungkan.
Provinsi Sumatera Utara yang terletak diujung utara Sumatera termasuk Medan, wilayah Batak dan Nias tetapi tidak termasuk wilayah paling utara pulau Sumatera yaitu Aceh. Hal yang sama terjadi dengan Sumatera Selatan tetapi tidak termasuk wilayah paling selatan Sumatera yaitu Lampung. Tidak ada provinsi Sumatera Timur, walau Riau dan Jambi bisa dikategorikan terletak diwilayah timur Sumatera. Dan Sumatera Barat sebenar mulai dari agak keselatan Sumatera hingga bagian timur Sumatera Utara.
Dua ratus tahun yang lalu, William Marsden menggambarkan letak pulau Sumatera yang membingungkan. Kebingungan yang mendasar adalah orientasi dari pulau Sumatera itu sendiri. Karena posisi Sumatera membentuk sudut persis 45 derajat dengan sumbu tegak, ahli geografi tidak pernah bisa menetapkan apakah pulau Sumatera membentang dari Timur ke Barat atau Utara ke Selatan. Maka pantai yang bersentuhan dengan Samudera Hindia kadang di sebut pantai selatan dan kadang disebut pantai barat Sumatera.
Pada tahun 1950 diadakan pembahasan ulang mengenai ketepatan letak pulau Sumatera dan ditetapkan bahwa pulau Sumatera membentang dari Utara ke Selatan. Selain itu juga karena pemerintah pusat tidak menginginkan adanya kesetiaan terhadap rasa kedaerahan maka dibuatlah pembagian propinsi berdasarkan orientasi ini, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat dan lain-lain. Tetapi Aceh menolak bersatu dengan Batak dalam wilayah Sumatera Utara dan membujuk pemerintah pusat untuk memberikan provinsi khusus bagi mereka.
Cetak Biru Raffles terhadap Minang
Perang Waterloo membuat Inggris harus menyerahkan provinsi Jawa ke Belanda tahun 1817, pada waktu itu Nusantara masih dibagi menjadi 4 provinsi, yaitu: Provinsi Sumatera Barat, Malaka, Maluku dan Jawa. Dari Jawa, Raffles berangkat menuju Sumatera dan membangun rumah di Bengkulu sekitar 200 kilometer dari Kota Padang. Dia mulai merencanakan membangun kembali kekuasaannya.
Yang membawa Raffles menjelajahi Sumatera Barat ini bukanlah keingintahuan, bukan pula penemuan geografik atau emas, tetapi motif politik praktis. Raffles melihat bahwa pengaruh kerajaan Minangkabau masih diakui diseluruh Sumatera dan dengan dukungan dari Inggris, Raffles percaya bahwa Kerajaan Minangkabau ini dapat kembali berkuasa dan menjadi cikal bakal serikat dagang baru dengan Inggris serta mempersatukan Kerajaan Minangkabau dan “Negara” Melayu.
Raffles ingin suku Minang di Sumatera Barat ini kembali memerintah Sumatera. Raffles ingin menggunakan Kerajaan Minangkabau sebagai kekuatan yang dapat digunakan oleh Inggris guna menahan pengaruh Belanda.
Raffles datang dengan keinginan menyelusuri misteri dataran tinggi Sumatera Barat. Raflles sangat terkesan dengan garis darah keturunan Minangkabau seperti yang di ceritakan oleh Marsden. Perhatian Raffles juga tertarik pada kesamaan Minangkabau dengan apa yang disebutnya “bangsa Malayu”. Marsden sudah memperkirakan kaitan antara Minang dan pesisir Malaysia yaitu bahasa Minang hampir serupa dengan Malayu, sama-sama penganut Islam yang taat dan banyak pemimpin Malayu menelusuri garis keturunannya sebagai orang Minang.
Waktu sangat singkat dan Belanda mungkin akan datang dalam waktu dekat. Raffles segera berlayar ke Padang dan langsung menuju Bukit Tinggi, jantung wilayah Minang di Sumatera Barat. Raffles melakukan perjanjian dengan penguasa Minang saat itu. Pagaruyung menyetujui perjanjian tersebut dengan syarat bahwa kekuasaan Minangkabau tetap ada di wilayah Sumatera.
Gerakan Paderi di Sumatera Barat
Pada tahun 1818, Rafless kembali lagi ke Sumatera Barat dan pulang dengan kekecewaan karena tidak ada istana. Tuan Gadis sudah digantikan, kerajaannya sudah berganti perkebunan. Terjadi perang antara kaum adat dan ulama yang dipimpin oleh Imam Bonjol. Raffles menamakannya Padri (dari kata portugis misionaris padre) atau orang putih.
Setelah kembali ke Sumatera Barat dari menunaikan haji, Imam Bonjol dan beberapa ulama lainnya bermaksud melenyapkan adat yang tidak sesuai dengan agama Islam seperti adu ayam, mengunyah sirih, merokok dan minum tuak, dengan kekerasan bila terpaksa. Program ambisius itu ditentang oleh orang Minang, karena walau penganut Islam, mereka sangat bangga dengan adatnya. Hampir seluruh anggota kerajaan Pagaruyung terbunuh pada tahun 1815 hingga 1818.
Setahun kemudian Raffles mempunyai blue print politik baru dengan pulau yang dekat Sumatera yaitu “Singapura”. Belanda akhirnya datang ke Sumatera Barat atas undangan kaum adat untuk memerangi kaum paderi. Setelah 17 tahun, akhirnya Imam Bonjol tertangkap dan hidup hingga usia 92 tahun di pembuangan.
Ditanah kelahirannya, Paderi dari Islam Ortodoks ini bergabung dengan masyarakat Minang yang anti penjajahan menjadi karakter “Orang Minang” hingga sekarang. Sejak Marsden datang ke Sumatera Barat, Minangkabau telah dikenal sebagai Pusat resmi agama Islam di Timur kedua setelah Mekkah dan menjadi tempat belajar agama Islam.



4.Sejarah provinsi riau
http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/4.jpg
Provinsi Riau terbentuk tahun 1957 dengan Tanjung pinang sebagai ibukota sementara. Dikemudian hari ibukota Riau dipindah ke Pekanbaru. Tokoh yang menduduki jabatan gubernur Riau pertama adalah S.M. Amin.
Sejarah di Riau  terkait erat dengan Kerajaan Sriwijaya. Sejumlah ahli sejarah berpendapat bahwa kerajaan ini berpusat di Palembang karena disana ditemukan prasasti peninggalan Sriwijaya. Beberapa ahli sejarah lain mengatakan bahwa puat Kerajaan Sriwijaya adalah di Muaratakus (Riau). Masa kajayaan Kerajaan Sriwijaya adalah antara abad ke 11 sampai abad ke 12. ketika itu kekuasaan Kerajaan Sriwijaya meliputi eluruh wilayah Indonesia bagian barat dan seluruh Semenanjung Melayu.
Pasca keruntuhan Kerajaan Sriwijaya, di Riau muncul beberapa kerajaan. Salah satu kerajaan besar adalah Kerajaan Malaka yang didirikan oleh Prameswara pada awal abad ke 14. Kerajaan Malaka mencapai puncak kejayaannya pada era pemerintahan Sultan Muhammad Iskandar Syah pada awal abad ke 15. Kejayaan Malaka ini tidak lepas dari peran panglima angkatan lautnya, yaitu, Laksamana Hang Tuah.
Kekuasaan Kerajaan Malaka berakhir tanggal 10 Agustus 1511. ketika itu, Ketika itu, Malaka ditaklukan oleh Portugis di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque. Sultan Mahmud Syah I yang berhasil menyelamatkan diri dari gempuran Portugis kemudian membangun kerajaan baru di Bintan. Kerajaan Melayu ini mewarisi kekuasaan Kerajaan Malaka yang meliputi Kelantan, Perak, Trenggano, Pahang, Johor, Singapura, Bintan, Lingga, Inderagiri, Kampar, Siak, dan Rokan.
Setelah merasa kuat, Sultan Mahmud Syah I merencanakan untuk melancarkan serangan  balasan terhadap Portugis di Malaka. Dia kemudian melancarkan serangan berturut-turut tahun 1515, 1516, 1519, 1523, dan 1524. namun semua serangan tersebut tidak berhail menggoyahkan pertahanan Portugis. Bahkan kemudian Portugis melancarkan serangan balasan tahun 1526 dan berhasil menguasai Bintan.
Sultan Mahmud Syah I meninggal dunia tahun 1528 di Pekantua. Posisinya digantikan oleh putranya, yaitu, Sultan Alauddin Riayat Syah II. Dia melanjutkan kebijakan ayahnya dalam menyikapi penjajah. Pada masa kekuasaannya terjadi banyak peperangan melawan Portugis. Berbagai peperangan tersebut menelan korban jiwa yang tidak sedikit.
Selain itu, Kerajaan Melayu juga terlibat dalam beberapa kali pertempuran melawan Kerajaan Aceh. Hubungan anrata Melayu dan Aceh semakin memanas ketika Melayu menjalin kerjasama dengan Belanda untuk menghancurkan Portugis di Malaka. Permusuhan antara kedua kerajaan tersebut berlangsung sampai Aceh mulai surut sepeninggal Sultan Iskandar Muda yang meninggal dunia tahun 1636.
Setelah itu, kekuatan Kerajaan Melayu terpusat untuk menghancurkan Portugis di Malaka. Pada bulan Juni 1640, Kerajaan Melayu yang bekerjasama dengan Belanda melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka. Portugis kalah pada bulan Januari 1641.
Hubungan baik Kerajaan Melayu dengan Belanda berlangsung sampai tahun 1784. Tanggal 30 Oktober 1784, Kerajaan Melayu diserang Belanda dan ditaklukkan. Kerajaan Melayu kemudian mengakui kekuasaan Belanda, mulailah era kolonialisme di Keranaan Melayu.
Sebagai mana daerah lain di Indonesia, di Riau terjadi berbagai perlawanan bersenjata terhadap kolonialisme. Perlawanan besar dilakukan rakyat di daerah Rokan di bawah pimpinan Tuanku Tambusai (1820-1839). Sebelum berjuang melawan Belanda di Rokan, Tuanku Tambusai berjuang dalam perang Padri, bersama-sama gurunya, yaitu, Tuanku Imam Bonjol. Namun tuanku Tambusai tidak berhasil menghancurkan kekuatan Belanda. Dia kemudian menyingkir ke Malaka dan menetap di daerah Seremban.
Selain tuanku Tambusai, masih banyak tokoh lain yang mengobarkan perlawanan rakyat terhadap kolonoalisme Belanda. Namun semua perlawanan tersebut dapat dipatahkan Belanda. Beberapa tokoh yang memimpin perlawanan rakyat adalah Panglima Besar Sulung yang memimpin perlawanan rakyat Retih tahun 1857, Datuk Tabano di Muara Mahat (1898), dan Sultan Zainal Abidin di Rokan (1901-1904). Setelah berbagai perlawanan tersebut dapat diredam, Belanda semakin menancapkan kekuatannya di Riau.
Awal abad ke 20 merupakan era munculnya semangat nasionalisme. Tahun 1916 berdiri Serikat Dagang Islam di Pekanbaru, didirikan oleh Haji Muhammad Amin. Tahun 1930 berdiri Serikat Islam di Rokan Kanan, didirikan oleh H.M. Arif. Setelah itu muncul beberapa organisasi lain seperti Muhammadiyah.
Tahun 1942, Jepang masuk dan menguasai daerah Riau. Di era penjajahan Jepang ini, rakyat semakin sengsara karena seluruh kegiatan rakyat ditujukan untuk mendukung peperangan yang sedang dilancarkan Jepang di seluruh Asia Pasifik. Hasil pertanian rakyat dirampas dan penduduk laki-laki banyak yang dijadikan romusha.
Kabar tentang proklamasi kemerdekaan sampai ke Riau tanggal 22 Agustus 1945, namun  teks lengkapnya baru sampai ke Pekanbaru seminggu kemudian. Meskipun sudah mengatehui dengan pasti perihal kemerdekaan, namun rakyat Riau tidak berani langsung menyambutnya. Hal ini karena tentara Jepang masih lengkap dengan senjatanya dan belum adanya pelopor yang meneriakan kemerdekaan.  Baru pada tanggal 15 September 1945, para pemuda yang tergabung dalam Angkatan Muda PTT berinisiatif untuk menyuarakan kemerdekaan, sejak hari tiu, pekik kemerdekaan terdengan diseluruh pelosok Riau.
Di awal kemerdekaan, Riau tidak langsung menjadi provinsi, melainkan menjadi bagian dari provinsi Sumatera. Pada saat Sumatera dibagi menjadi tiga provinsi, yaitu, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan, Riau menjadi bagian dari Sumatera Tengah. Baru pada tahun 1957, status Riau meningkat menjadi Provinsi.
Sejarah Singkat Kepulauan Riau
Sejarah Kepulauan Riau sangat erat kaitannya dengan sejarah Kerajaan Melayu.
Kepulauan Riau terdiri dari ratusan gugusan pulau yang tersebar diantara Semenanjung, Kalimantan, Sumatera dan Bangka-Belitung. Kepulauan Riau ada ditengah Tengah Jalur lalu lintas kebudayaan Melayu dari empat sisi. Tidak heran hingga sekarang terdapat kesamaan budaya dan bahasa dengan beberapa daerah di sekitar Selat Malaka Hingga Selat Kalimata.
Berikut saya akan menuliskan sejarah Kepulauan Riau serba sedikit :


Bergabung Dengan Indonesia

Pada saat meletusnya perang dunia kedua Jepang masuk menguasi Riau-Lingga melalui Singapura. Setelah terjadi pengeboman Kota Nagasaki dan Hiroshima akhirnya Belanda kembali lagi ke Riau-Lingga. Karena sempat merasakan kosong kekuasaan dan betapa leganya hidup merdeka, akhirnya masyarakat Riau-Lingga bersepakat untuk bergabung dalam barisan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Pada masa ini banyak pejuang Melayu yang gugur saat bertempur dengan Belanda demi marwah bangsa Melayu dan demi tegaknya Bendera Merah Putih di bumi Riau-Lingga. Akhirnya pada Bulan Desember 1949 Riau-Lingga secara resmi masuk kedalam pangkuan Indonesia.

(Cerita Perang masyarakat Kepri merebut kemerdekaan melawan Belanda atas nama Indonesia akan saya bahas di tulisan selanjutnya)

5sejarah Provinsi kepulauan Riau
http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/10.jpgPada awal penggabungan dengan Indonesia, Riau-Lingga masuk dalam wilayah administratif Sumatera Tengah, kemudian dibagi lagi menjadi Sumatera Timur, lalu kemudian menjadi provinsi sendiri yaitu Provinsi Riau terbentuk.
Pada awal terbentuknya Provinsi Riau, ibukotanya terletak di Tanjungpinang tetapi akhirnya setelah melalui berbagai macam pertimbangan (terutama populasi dan hasil bumi) akhirnya ibukota Riau dipindahkan ke Pekanbaru.

Sejak itu status Tanjungpinang yang awalnya Ibukota Provinsi turun satu tinggat menjadi Ibukota Kabupaten. Yaitu Kabupaten Kepulauan Riau.

6.SEJARAH BERDIRINYA PROVINSI JAMBI

http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/5.jpg

Dengan berakhirnya masa kesultanan Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha Saifuddin tanggal 27 April 1904 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie. Residen Jambi yang pertama O.L Helfrich yang diangkat berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20 tanggal 4 Mei 1906 dan pelantikannya dilaksanakan tanggal 2 Juli 1906.
Kekuasan Belanda atas Jambi berlangsung ± 36 tahun karena pada tanggal 9 Maret 1942 terjadi peralihan kekuasaan kepada Pemerintahan Jepang. Dan pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah pada sekutu. Tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkanlah Negara Republik Indonesia. Sumatera disaat Proklamasi tersebut menjadi satu Provinsi yaitu Provinsi Sumatera dan Medan sebagai ibukotanya dan MR. Teuku Muhammad Hasan ditunjuk memegangkan jabatan Gubernurnya.
Pada tanggal 18 April 1946 Komite Nasional Indonesia Sumatera bersidang di Bukittinggi memutuskan Provinsi Sumatera terdiri dari tiga Sub Provinsi yaitu Sub Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Sub Provinsi Sumatera Tengah mencakup keresidenan Sumatra Barat, Riau dan Jambi. Tarik menarik Keresidenan Jambi untuk masuk ke Sumatera Selatan atau Sumatera Tengah ternyata cukup alot dan akhirnya ditetapkan dengan pemungutan suara pada Sidang KNI Sumatera tersebut dan Keresidenan Jambi masuk ke Sumatera Tengah. Sub-sub Provinsi dari Provinsi Sumatera ini kemudian dengan undang-undang nomor 10 tahun 1948 ditetapkan sebagai Provinsi.
Dengan UU.No. 22 tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah keresidenan Jambi saat itu terdiri dari 2 Kabupaten dan 1 Kota Praja Jambi. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Kabupaten Merangin yang mencakup Kewedanaan Muara Tebo, Muaro Bungo, Bangko dan Batanghari terdiri dari kewedanaan Muara Tembesi, Jambi Luar Kota, dan Kuala Tungkal. Masa terus berjalan, banyak pemuka masyarakat yang ingin keresidenan Jambi untuk menjadi bagian Sumatera Selatan dan dibagian lain ingin tetap bahkan ada yang ingin berdiri sendiri. Terlebih dari itu, Kerinci kembali dikehendaki masuk Keresidenan Jambi, karena sejak tanggal 1 Juni 1922 Kerinci yang tadinya bagian dari Kesultanan Jambi dimasukkan ke keresidenan Sumatera Barat tepatnya jadi bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci (PSK)
Tuntutan keresidenan Jambi menjadi daerah Tingkat I Provinsi diangkat dalam Pernyataan Bersama antara Himpunan Pemuda Merangin Batanghari (HP.MERBAHARI) dengan Front Pemuda Jambi (FROPEJA) Tanggal 10 April 1954 yang diserahkan langsung Kepada Bung Hatta Wakil Presiden di Bangko, yang ketika itu berkunjung kesana. Penduduk Jambi saat itu tercatat kurang lebih 500.000 jiwa (tidak termasuk Kerinci)
Keinginan tersebut diwujudkan kembali dalam Kongres Pemuda se-Daerah Jambi 30 April – 3 Mei 1954 dengan mengutus tiga orang delegasi yaitu Rd. Abdullah, AT Hanafiah dan H. Said serta seorang penasehat delegasi yaitu Bapak Syamsu Bahrun menghadap Mendagri Prof. DR.MR Hazairin.
Berbagai kebulatan tekad setelah itu bermunculan baik oleh gabungan parpol, Dewan Pemerintahan Marga, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Merangin, Batanghari. Puncaknya pada kongres rakyat Jambi 14-18 Juni 1955 di gedung bioskop Murni terbentuklah wadah perjuangan Rakyat Jambi bernama Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD) untuk mengupayakan dan memperjuangkan Jambi menjadi Daerah Otonomi Tingkat I Provinsi Jambi.
Pada Kongres Pemuda se-daerah Jambi tanggal 2-5 Januari 1957 mendesak BKRD menyatakan Keresidenan Jambi secara de facto menjadi Provinsi selambat-lambatnya tanggal 9 Januari 1957 .
Sidang Pleno BKRD tanggal 6 Januari 1957 pukul 02.00 dengan resmi menetapkan keresidenan Jambi menjadi Daerah Otonomi Tingkat I Provinsi yang berhubungan langsung dengan pemerintah pusat dan keluar dari Provinsi Sumatera Tengah. Dewan Banteng selaku penguasa pemerintah Provinsi Sumatera Tengah yang telah mengambil alih pemerintahan Provinsi Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada tanggal 9 Januari 1957 menyetujui keputusan BKRD.
Pada tanggal 8 Februari 1957 Ketua Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein melantik Residen Djamin gr. Datuk Bagindo sebagai acting Gubernur dan H. Hanafi sebagai wakil Acting Gubernur Provinsi Djambi, dengan staff 11 orang yaitu Nuhan, Rd. Hasan Amin, M. Adnan Kasim, H.A. Manap, Salim, Syamsu Bahrun, Kms. H.A.Somad. Rd. Suhur, Manan, Imron Nungcik dan Abd Umar yang dikukuhkan dengan SK No. 009/KD/U/L KPTS. tertanggal 8 Februari 1957 dan sekaligus meresmikan berdirinya Provinsi Jambi di halaman rumah Residen Jambi (kini Gubernuran Jambi).
Pada tanggal 9 Agustus 1957 Presiden RI Ir. Soekarno akhirnya menandatangani di Denpasar Bali. UU Darurat No. 19 tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Dengan UU No. 61 tahun 1958 tanggal 25 Juli 1958 UU Darurat No. 19 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Daerah Sumatera Tingkat I Sumatera Barat, Djambi dan Riau. (UU tahun 1957 No. 75) sebagai Undang-undang.
Dalam UU No. 61 tahun 1958 disebutkan pada pasal 1 hurup b, bahwa daerah Swatantra Tingkat I Jambi wilayahnya mencakup wilayah daerah Swatantra Tingkat II Batanghari, Merangin, dan Kota Praja Jambi serta Kecamatan-Kecamatan Kerinci Hulu, Tengah dan Hilir.
Kelanjutan UU No. 61 tahun 1958 tersebut pada tanggal 19 Desember 1958 Mendagri Sanoesi Hardjadinata mengangkat dan menetapkan Djamin gr. Datuk Bagindo Residen Jambi sebagai Dienst Doend DD Gubernur (residen yang ditugaskan sebagai Gubernur Provinsi Jambi dengan SK Nomor UP/5/8/4). Pejabat Gubernur pada tanggal 30 Desember 1958 meresmikan berdirinya Provinsi Jambi atas nama Mendagri di Gedung Nasional Jambi (sekarang gedung BKOW). Kendati dejure Provinsi Jambi di tetapkan dengan UU Darurat 1957 dan kemudian UU No. 61 tahun 1958 tetapi dengan pertimbangan sejarah asal-usul pembentukannya oleh masyarakat Jambi melalui BKRD maka tanggal Keputusan BKRD 6 Januari 1957 ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jambi, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Djambi Nomor. 1 Tahun 1970 tanggal 7 Juni 1970 tentang Hari Lahir Provinsi Djambi.


7.Sejarah Sumatera selatan
http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/6.jpg
Provinsi Sumatera Selatan terbentuk tanggal 12 September 1950. ketika itu, provinsi Sumatera Selatan masih mencakup Bengkulu, Lampung, dan Bangka Belitung. Ketiga wilayah tersebut dikemudian hari menjadi provinsi sendiri.

Penduduk pertama Sumatera Selatan diperkirakan berasal dari zaman palaeolitikum. Hal ini dapat dibuktikan dari benda-benda zaman palaeolitikum yang ditemukan di beberapa wilayah antara lain di desa Bengamas, di dasar sungai Saling dan sungai Kikim. Para ahli berpandangan bahwa penduduk zaman itu adalah termasuk ras Wedda, dimana orang Kubu dan Toale termasuk ke dalam ras tersebut.

Sejak tahun 300 SM, bangsa Deutro-Melayu sudah mendiami daerah Sumatera Selatan. Sejak awal masehi, penduduk Sumatera Selatan sudah menjalin hubungan dagang dengan bangsa-bangsa lain, seperti Arab, Cina dan India. Perkembangan masyarakat yang pesat menghasilkan terbentuknya suatu kerajaan besar, bernama Sriwijaya. Menurut Prasasti Kedukan Bukit  yang ditemukan pada tahun 1926, disebutkan bahwa pada tanggal 17 Juni 683 Masehi didirikan pemukiman yang bernama Sriwijaya yang kemudian berkembang menjadi kerajaan besar.

Sriwijaya tumbuh dan berkembang selama abad ke tujuh sampai abad dua belas. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya mempunyai 13 negara jajahan meliputi seluruh wilayah Indonesia Bagian Barat dan seluruh semenanjung Melayu sampai ke sebelah selatan Teluk Bandon. Ketika itu, Sriwijaya merupakan pusat perdagangan internasional dan pusat penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. Sriwijaya juga terkenal sebagai kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara.

Masa kejayaan Sriwijaya mulai pudar sejak datang serangan-serangan dari Kerajaan Siam pada tahun 1292, Kerajaan Melayu-Jambi yang telah dikuasai Kerajaan Singasari, dan Kerajaan Singasari sendiri yang menyerang Sriwijaya dalam waktu yang hampir bersamaan.

Setelah runtuhnya Sriwijaya, di sekitar Sumatera Selatan muncul beberapa kerajaan kecil. Namun, meskipun banyak bermunculan kerajaan di sekitarnya, Sumatera Selatan sendiri bisa dikatakan vakum karena tidak ada kekuasaan yang meneruskan Kekuasaan Sriwijaya. Keadaan vakum ini berlangsung sampai pertengahan abad ke enam belas.

Pada abad ke enam belas, berdiri kesultanan Palembang, di tepi sungai Musi. Pendirinya adalah Ki Gedeng Suro, seorang pelarian politik dari Demak. Kesultanan ini mulai berhadapan dengan Belanda pada abad ke tujuh belas. Pada tahun 1825, Belanda berhasil menghapus kesultanan ini setelah mengalahkan Sultan Ahmad Najamuddin. Sejak itu Palembang menjadi sebuha Keresidenan dan berada di bawah kekuasaan Belanda.

Awaal abad ke dua puluh merupakan momen munculnya semangat kebangsaan. Sejumlah organisasi pergerakan kebangsaan muncul di daerah ini seperti Sarekat Islam, PKI, PNI, Partindo, PNI Baru, PSII, PII, dan Parindra. Semangat pergerakan kebangsaan ini sempat menurun ketika Jepang menduduki daerah ini. Namun setelah Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, semangat ini kembali tumbuh berupa semangat mempertahankan kemerdekaan.

Pada awal kemerdekaan, Sumatera Selatan belum merupakan provinsi. Daerah ini adalah bagian dari provinsi Sumatera dan berbentuk keresidenan. A.K. Gani ditetapkan oleh Presiden Soekarno sebagai residen dan bertanggungjawab kepada gubernur Sumatera Teuku Muhammad Hasan.

Pada tanggal 1 Januari 1947, terjadi pertempuran mempertahankan kemerdekaan selama lima hari lima malam. Pertempuran ini merupakan pertempuran terbesar dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan RI di Sumatera Selatan. Belanda gagal melumpuhkan seluruh kekuatan pejuang di Sumatera Selatan.

Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan penyerbuan besar-besaran ke seluruh pertahanan pejuang di seluruh Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan. Penyerbuan ini dinamakan Aksi Militer I. Akibat aksi militer Belanda ini, pusat keresidenan terpaksa dipindah dari Palembang ke Lahat. Belanda kemudian melancarkan aksi militer II yang menghasilkan pendudukan atas Ibukota RI, Yogyakarta. Selain itu, Belanda juga berhasil menduduki daerah-daerah lain, termasuk Sumatera Selatan. Selama menduduki daerah ini, Belanda membentuk Negara Sumatera Selatan dengan Abdul Malik sebagai wali negaranya.

Eksistensi negara Sumatera Selatan ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1950, negara Kesatuan Republik Indonesia kembali terbentuk. Sumatera Selatan menjadi salah satu provinsi dari NKRI yang baru terbentuk tersebut. Provinsi lainnya adalah Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Pada periode tahun 1950-an ini, kondisi Sumatera Selatan dikacaukan dengan munculnya gerakan separatis, seperti pemberontakan PRRI dan peristiwa Mayor Juahartono. Namun semua pemberontakan tersebut dapat di atasi. 

8.SEJARAH BERDIRINYA KOTA BENGKULU

http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/7.jpgWilayah yang kini disebut Provinsi Bengkulu pada awalnya adalah wilayah dari beberapa kerajaan kecil. Beberapa kerajaan yang pernah berdiri diwilayah ini antara lain Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Selebar, Kerajaan Pat Petulai, Kerajaan Balai Buntar, Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Sekiris, Kerajaan Gedung Agung dan Kerajaan Marau Riang yang pada hakekatnya merupakan negara-negara suku.

Tahun 1685-1824 wilayah Bengkulu termasuk dalam salah satu wilayah yang berada dalam pendudukan penjajah Inggris. Pada tahun 1685 Ralp Ord dan William Cowley memimpin ekspedisi untuk membuka kembali perusahaan pembelian lada dari Banten, yang dialihkan ke Bengkulu. Traktat itu mengizinkan Inggris untuk mendirikan benteng dan berbagai gedung. Benteng York didirikan tahun 1685 di sekitar muara Sungan Serut.

Pada tahun 1713 didirikan lagi sebuah benteng yang lebih besar, tebal, dan kuat yang selanjutnya dinamai Fort Malborough. Pembangunan Benteng ini rampung pada tahun 1719. Benteng Malborough tersebut dilengkapi dengan 71 buah meriam, untuk membuatnya benar-benar menjadi sebuah benteng yang kuat sebagai basis pertahanan. Tetapi sepanjang penjajahan, rakyat Bengkulu senantiasa mengadakan perlawanan.

Pada masa penjajahan Belanda (1824-1942) dilaksanakan cultur stelsel tanaman kopi, kerja rodi, pungutan pajak, eksploitasi tambang emas di rejang lebong, dan diadakan perbedaan klas antara pribumi, eropa dan cina. Bengkulu juga pernah dijadikan pemerintah Penjajahan Belanda sebagai tempat pengasinga Ir. Soekarno pada masa perang perjuangan merebut kemerdekaan.

Setelah proklamasi kemerdekaan 1945 seluruh wilayah kerajaan yang ada di daerah ini diubah statusnya menjadi Karesidenan dalam lingkup administratif Provinsi Sumatera Selatan, sebelum akhirnya berubah dijadikan provinsi sendiri pada tanggal 18 November 1968. Propinsi / Daerah Tingkat I Bengkulu menjadi propinsi ke-26 dari 27 Provinsi se-Indonesia saat itu.

Di Provinsi Bengkulu terdapat banyak objek wisata alam seperti Pantai Panjang, Taman Nasional Kerinci Sebelat, Hutan Lindung Liku-Sembilan yang merupakan habitat Bunga ’RafflesiaArnoldi’, Gunung Berapi ’Bukit Kaba’, Kawasan Perkebunan Teh ’Kabawetan’, Kawasan Air Terjun Sembilan Tingkat, Kawasan Carag Alam ’Danau Dendam Tak Sudah sebagai habitat plasma nuftah ’Anggrek Vanda’ dan sebagainya.

Provinsi Bengkulu juga memiliki berbagai aset wisata sejarah seperti Situs Fort York, situs Fort Malborough, Rumah kediaman Gebernur Raffles, Kawasan Kampung Cina, rumah kediaman Bung Karno pada saat pengasingan yang saat ini telah mengalami pengembangan menjadi Kawasan Persada Bung Karno, Monumen Thomas Parr, Tugu Hamilton, Komplek Makam Inggris, Situs makam pejuang Sentot Alibasyah, Situs Mesjid Jamik dan sebagainya.

9.Sejarah Singkat Provinsi Lampung

http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/8.jpg
Sejarah Lampung dimulai sejak zaman Hindu Animis yang berlangsung sampai awal abad XVI. Sistem Kebudayaan yang berasal dan luar termasuk Hindu dan Budha, turut mewarnai tetapi yang dominan adalah tradisi asli dan zaman Malaya Polynesia. Daerah Lampung telah lama dikenal orang luar pada permulaan tahun masehi sebagai tempat orang-orang lautan mencari hasil hutan, terbukti dengan ditemukannya sebagai bahan keramik dan zaman Han (1368-1643). Menurut berita dari China (china chronicle) abad ke-VII, dikatakan bahwa di daerah selatan (Namphang) terdapat kerajaan yang disebut Tolang p’ohwang (To=Orang, Lang P’ohwang=Lampung).

Penemuan peninggalan-penemuan sejarah atau budaya dalam bentuk patung-patung, pahatan bercorak megalitik terdapat di sekitar Purawiwitan, Sumberjaya, Kenali, Batu Bedil, dan Kecamatan Jabung. Pada daerah-daerah tertentu terdapat peningglan yang menunjukkan bahwa Lampung berada di bawah kerajaan maritim terbesar kala itu, kerajaan Sriwijaya. Prasati palas pasemeh dan prasasti batu bedil di daerah Tanggamus merupakan peninggalan kerajaan Sriwijaya pada sekitar abad VIII. Kerajaan-kerajaan Tulang Bawang diperkirakan di sekitar Menggala/Sungai Tulang Bawang sampai Pagar Dewa.

Zaman Islam ditandai dengan masuknya pengaruh Banten di Lampung pada abad XVI. Terutama saat bertahtanya Sultan Hasanuddin (1522-1570). Pada masa ini (abad ke-XVII), Lampung melahirkan pahlawan yang terkenal gigih menentang penjajah Belanda, bernama Raden Intan. Pengaruh Islam terlihat diantaranya dari adanya Tambra Prasasti (Buk Dalung) di daerah bojong Kecamatan Jabung sekarang, berisi perjanjian kerjasama antara Banten dan Lampung dalam menghadapi penjajah Belanda, hal ini masih terbukti sampai saat ini di Lampung masih banyak orang Banten di Banten pun ada salah satu Kampung yang penduduknya orang Lampung yaitu di Cikoneng.

Pendapat lain menyatakan bahwa masuknya agama Islam yang pertama kali adalah dan Sumatera Barat pada abad XIV-XV. Sebelum Islam masuk penduduk menganut agama Hindu, Budha dan pemujaan ruh nenek moyang dan Sinkretisme. Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkannya Peratunan Pemenintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 14 tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Lampung. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan Keresidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan.
10.Sejarah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri dari dua pulau besar yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung serta pulau-pulau kecil. Sebelum Kapitulasi Tutang Pulau Bangka dan Pulau Belitung merupakan daerah taklukan dari Kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram. Setelah itu, Bangka Belitung menjadi daerah jajahan Inggris dan kemudian dilaksanakan serah terima kepada pemerintah Belanda yang diadakan di Muntok pada tanggal 10 Desember 1816. Pada masa penjajahan Belanda, terjadilah perlawanan yang tiada henti-hentinya yang dilakukan oleh Depati Barin kemudian dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Depati Amir dan berakhir dengan pengasingan ke Kupang, Nusa Tenggara Timur oleh Pemerintahan Belanda. Selama masa penjajahan tersebut banyak sekali kekayaan yang berada di pulau ini diambil oleh penjajah.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan sebagai provinsi ke-31 oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang sebelumnya merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Ibukota provinsi ini adalah Pangkalpinang.
11.SEJARAH SINGKAT JAKARTA
http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/11.jpgDaerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia/Batauia, atau Jaccatra (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).
Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 9.607.787 jiwa (2010). Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia.
Nama Jakarta digunakan sejak masa penjajahan Jepang tahun 1942, untuk menyebut wilayah bekas Gemeente Batavia yang diresmikan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905. Nama ini dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta, yang diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai "kota kemenangan" atau "kota kejayaan", namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha".
Bentuk lain ejaan nama kota ini telah sejak lama digunakan. Sejarawan Portugis João de Barros dalam Décadas da Ásia (1553) menyebutkan keberadaan "Xacatara dengan nama lain Caravam (Karawang)". Sebuah dokumen (piagam) dari Banten  yang dibaca ahli epigrafi Van der Tuuk juga telah menyebut istilah wong Jaketra, demikian pula nama Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat Sultan Banten dan Sajarah Banten sebagaimana diteliti Hoessein Djajadiningrat. Laporan Cornelis de Houtman tahun 1596 menyebut Pangeran Wijayakrama sebagai koning van Jacatra (raja Jakarta).

Sunda Kelapa (397–1527)

Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kalapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan.

Jayakarta (1527–1619)

Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda.
Batavia (1619–1942)

Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jayakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia.

Jakarta (1942–Sekarang)

Penjajahan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.

12.Sejarah provinsi jawa barat
http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/12.jpgTemuan arkeologi di Anyer menunjukkan adanya budaya logam perunggu dan besi sejak sebelum milenium pertama. Gerabah tanah liat prasejarah zaman Buni (Bekasi kuno) dapat ditemukan merentang dari Anyer sampai Cirebon.Jawa Barat pada abad ke-5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara banyak tersebar di Jawa Barat. Ada tujuh prasasti yang ditulis dalam aksara Wengi (yang digunkan dalam masa Palawa India) dan bahasa Sansakerta yang sebagian besar menceritakan para raja Tarumanagara.


Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara, kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Kali Serayu dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Salah satu prasasti dari zaman Kerajaan Sunda adalah prasasti Kebon Kopi II yang berasal dari tahun 932. Kerajaan sunda beribukota di Pakuan Pajajaran (sekarang kota Bogor).


Pada abad ke-16, Kesultanan Demak tumbuh menjadi saingan ekonomi dan politik Kerajaan Sunda. Pelabuhan Cerbon (kelak menjadi Kota Cirebon) lepas dari Kerajaan Sunda karena pengaruh Kesultanan Demak. Pelabuhan ini kemudian tumbuh menjadi Kesultanan Cirebon yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Pelabuhan Banten juga lepas ke tangan Kesultanan Cirebon dan kemudian tumbuh menjadi Kesultanan Banten.


Untuk menghadapi ancaman ini, Sri Baduga Maharaja, raja Sunda saat itu, meminta putranya, Surawisesa untuk membuat perjanjian pertahanan keamanan dengan orang Portugis di Malaka untuk mencegah jatuhnya pelabuhan utama, yaitu Sunda Kalapa, kepada Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak. Pada saat Surawisesa menjadi raja Sunda, dengan gelar Prabu Surawisesa Jayaperkosa, dibuatlah perjanjian pertahanan keamanan Sunda-Portugis, yang ditandai dengan Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal, ditandatangani dalam tahun 1512. Sebagai imbalannya, Portugis diberi akses untuk membangun benteng dan gudang di Sunda Kalapa serta akses untuk perdagangan di sana. Untuk merealisasikan perjanjian pertahanan keamanan tersebut, pada tahun 1522 didirikan suatu monumen batu yang disebut padrão di tepi Ci Liwung.


Meskipun perjanjian pertahanan keamanan dengan Portugis telah dibuat, pelaksanaannya tidak dapat terwujud karena pada tahun 1527 pasukan aliansi Cirebon - Demak, dibawah pimpinan Fatahilah atau Paletehan, menyerang dan menaklukkan pelabuhan Sunda Kalapa. Perang antara Kerajaan Sunda dan aliansi Cirebon - Demak berlangsung lima tahun sampai akhirnya pada tahun 1531 dibuat suatu perjanjian damai antara Prabu Surawisesa dengan Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon.


Dari tahun 1567 sampai 1579, dibawah pimpinan Raja Mulya, alias Prabu Surya Kencana, Kerajaan Sunda mengalami kemunduran besar dibawah tekanan Kesultanan Banten. Setelah tahun 1576, kerajaan Sunda tidak dapat mempertahankan Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda, dan akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Banten. Zaman pemerintahan Kesultanan Banten, wilayah Priangan (Jawa Barat bagian tenggara) jatuh ke tangan Kesultanan Mataram.


Jawa Barat sebagai pengertian administratif mulai digunakan pada tahun 1925 ketika Pemerintah Hindia Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat. Pembentukan provinsi itu sebagai pelaksanaanBestuurshervormingwet tahun 1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan daerah provinsi. Sebelum tahun 1925, digunakan istilah Soendalanden (Tatar Soenda) atau Pasoendan, sebagai istilah geografi untuk menyebut bagian Pulau Jawa di sebelah barat Sungai Cilosari dan Citanduy yang sebagian besar dihuni oleh penduduk yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu.

Pada 17 Agustus 1945, Jawa Barat bergabung menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Pada tanggal 27 Desember 1949 Jawa Barat menjadi Negara Pasundan yang merupakan salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga
oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.

13.SEJARAH SINGKAT TERBENTUKNYA PROVINSI BANTEN
http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/16.jpgSEJARAH SINGKAT TERBENTUKNYA PROVINSI BANTEN-Daerah Provinsi Banten adalah pecahan dari Provinsi Jawa Barat, yang terbentuk pada tanggal 04 Oktober 2000 hasil dari Deklarasi Rakyat Banten pada tanggal 18 Juli 1999 berdasarkan UU Nomor 23 tahun 2000. Pada tanggal 18 November 2000 dilakukan peresmian Provinsi Banten dan di Kepali olah Gubernur pertama H. Hakamudin Djamal untuk menjalankan roda pemerintahan sampai terpilihnya Gubernur definitif.
Adapun periode Gubernur Banten sejak beridrinya sampai sekarang adalah :

1. H. Hamakamudin Djamal Pejabat pertama periode 2000-2002
2. Djoko Munanadar dan Ratu Atut Chosiyah Periode 2002-2005
3. Ratu Atut Chosiyah Plt Gubernur Banten Periode 2005-2007
4. Ratu Atut Chosiyah dan Masduki periode 2007-2012
5. Ratu Atut Chosiyah dan Rano Karno Periode 2012-2017



KEADAAN PENDUDUK PROVINSI BANTEN

Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 Badan Pusat Statistik(BPS) Jumlah penduduk sebanyak 10.632.166 Jiwa.dengan prosentase 67,01% penduduka Perkotaan dan 32,99% penduduk pedesaan .laju pertumbuhan penduduk 2,78% /tahun dengan kepadatan 1.100 jiw/KM2.

14.SEJARAH PERKEMBANGAN PROPINSI JAWA TENGAH
http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/13.jpgSebagai suatu Propinsi, Jawa Tengah sudah dikenal sejak jaman penjajahan Belanda didasarkan pada peraturan-peraturan yang berlaku pada saat itu.
A. Jaman Penjajahan Belanda
Berdasarkan Wet houdende decentralisatie van het Bestuur in Nederland -Indie (Decentralisatie Wet 1903), maka pemerintahai di Jawa dan Madura terbagi atas Gewest (Karesidenan), Afdeeling/Regentschap (Kabupaten), District / Standgeemente (Kotapraja), dan Oderdistrict(Kecamatan).
B. Jaman Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukannya, Jepang mengadakan perubahan Tata Pemerintahan Daerah yaltu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1942 (Tahun Jepang 2062) yang menetapkan bahwa seluruh Jawa kecuali Vorstenkendeh (Kerajaan-kerajaan) terbagi dalam wilayah Syuu (Karesidenan), Si (Kotapraja), Ken (Kabupaten), Gun (Distrik), Son ConderDistrikdan Ku(Kelurahan)
C. Setelah Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945, diterbitkan UU No. 10 Tahun 1950 yang menetapkan Pembentukan Propinsi Jawa Tengah. Sesual dengan PP No. 31 Tahun 1950, UU No.10 Tahun 1950, dinyatakan berlaku pada tanggal 15 Agustus 1950.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tenciab Nomor 7 Tahun 2004 ditetapkan Hari Jadi Propinsi Jawa Tengah tanggal l5 Agustus 1950.
15.Sejarah Singkat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/14.jpgMenurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa) adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati. Yogyakarta berarti Yogya yang kertaYogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti Yogya yang makmur dan yang paling utama.Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhyadalam epos Ramayana. Dalam penggunaannya sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa).

Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di jaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di jaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja.

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I.

Baik Kasultanan maupun Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941 No. 47 dan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 No. 577. 

Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Pegangan hukumnya adalah :

1.
Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden Republik Indonesia.
2.
Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 ( yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah).
3.
Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 ( yang dibuat bersama dalam satu naskah ).


Dari 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia, justru dimasa perjuangan bahkan mengalami saat-saat yang sangat mendebarkan, hampir-hampir saja Negara Republik Indonesia tamat riwayatnya. Oleh karena itu pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia yang berkumpul dan berjuang di Yogyakarta mempunyai kenangan tersendiri tentang wilayah ini. Apalagi pemuda-pemudanya yang setelah perang selesai, melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada, sebuah Universitas Negeri yang pertama didirikan oleh Presiden Republik Indonesia, sekaligus menjadi monumen hidup untuk memperingati perjuangan Yogyakarta.


16.SEJARAH SINGKAT PROVINSI JAWA TIMUR

http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/15.jpgDalam perjalanan sejarah bangsa, proses pembentukan struktur pemerintahan danwilayah Jawa Timur ternyata memiliki perjalanan sangat panjang. Dari sumber-sumberepigrafis dalam bentuk batu bertulis (Prasasti Dinoyo) diketahui bahwa sejak abad VIII,tepatntya tahun 760 di Jawa Timur telah muncul suatu satuan pemerintahan, Kerajaan Kanjuruhan di Malang, dengan status yang sampai kini masih diperdebatkan.
Pada abad X, Jawa Timur menapaki fase baru. Jawa Timur yang semula merupakanwilayah pinggiran dari Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah, kemudian mendapatklanmomentum sebagai pusat kekuasaan berbagai kerajaan,  seperti Medang (937-1017), Daha-Janggala (1080-1222),  Singasari (1222-1292)dan Majapahit (1293-1527). Dalam halini , Pu Sendok (927-947) adalah tokoh paling berjasa yang berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan di Jawa Timur. Struktur pemerintahannya secara hierarkhis terdiri dariPemerintah Pusat (Kraton), Watek (Daerah) dan Wanua (Desa). Struktur ini terus bertahansampai abad XIII zaman Singasari.          
Pada abad XIII terjadi perkembangan baru dalam struktur ketatanegaraan diIndonesia di Jawa Timur, ditandai dengan munculnya sebuah struktur baru dalampemerintahan, yaitu Nagara (Provinsi). Berdasarkan Prasasti Mulamalurung (1255) darimasa Wisnu Wardhana yang juga bergelar Sminingrat menyatakan bahwa strukturpemerintahan Singasari dari Pusat (Kraton), Nagara (Provinsi), Watek (Kabupaten) danWanua (Desa).
           Pada masa Kerajaan Majapahit, susunan itu mendapatkan berbagai penyempurnaan, terdiri dari Bhumi (Pusat/Kraton), Negara (Provinsi/Bhatara), Watek/Wisaya (Kabupaten/Tumenggung), Lurah/Kuwu (Kademangan), Thani/Wanua (Desa/Petinggi) dan paling bawah Kabuyutan (Dusun/Rama). Anehnya struktur kenegaraan Majapahit (1294-1527) justru berkembang secara ketat pada masa Mataram (1582 -1755). Wilayah Mataram dibagi secara konsentris terdiri dari Kuthagara/Nagara (Pusat/Kraton), Negaragung/Negaraagung (Provinsi Dalam), Mancanegara (Provinsi luar ), Kabupaten dan Desa. Secara etimologis, sebutan Jawa Timur pada zaman Mataram Islam muncul derngan nama Bang Wetan, derngan wilayah meliputi seluruh Pesisir Wetan dan Mancanagara Wetan (pedalaman Jawa Timur).
Selanjutnya setelah huru-hara Cina di Kartasura (1743), seluruh wilayah pesisir utara Jawa dan seluruh Pulau Madura jatuh ke tangan Kompeni, sedang daerah Mataram tinggal wilayah pedalaman Jawa (Mancanagara Wetan -Mancanagara Kulon). Dengan berakhirnya Perang Dipanegara (1830), seluruh Jawa Timur (BangWetan) dapat dikuasai Pemerintah Hindia Belanda. Dari tahun 1830-1928 /1929, Belanda menjalankan pemerintahan dengan hubungan langsung Pemerintah Pusat VOC di Batavia derngan para Bupati yang berada di wilayah kekuasaanya. Pemerintah Hindia Belanda yang sejak awal abad XX menerapkan politik imperialisme modern melakukan intensifikasi pemerintahan dengan membentuk Pemerintahan Provinsi Jawa Timur (Provincient van Oost Java ) pada tahun 1929, dengan struktur pemerintahan, wilayah dan birokrasi tidak jauh berbeda seperti yang ada sekarang. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) seperti daerah lain, Jawa Timur diletakkan dibawah pendudukan militer Jepang.
       Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia mulai menata kehidupan kenegaraan. Berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 pada tanggal 19 Agustus 1945 olehPPKI dibentuklah Provinsi dan penentuan para Gubernurnya. Untuk Pertama kalinya, R.M.T. Soeryo yang kala itu menjabat Residen Bojonegoro ditunjuk sebagai Gubernur Jawa Timur yang pertama. R.M.T Soeryo yang dilantik tanggal 5 September 1945, sampai tanggal 11 Oktober 1945 harus menyelesaikan tugas-tugasnya di Bojonegoro, dan baru pada 12 Oktober 1945 boyong ke Surabaya, Ibukota Provinsi Jawa Timur yang menandai mulai berputarnya mekanisme Pemerintahan Provinsi Jawa Timur. Atas dasar pertimbangan perjalanan sejarah inilah, maka diterbitkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2007 tentang Hari Jadi Provinsi Jawa Timur yang menetapkan tanggal 12 Oktober sebagai Hari Jadi Provinsi Jawa Timur yang menetapkan tanggal 12 Oktober sebagai Hari Jadi Jawa Timur dan akan diperingati secara resmi setiap tahun, baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Jawa Timur.
17.Sejarah provinsi Bali
http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/17.jpgBali telah dihuni oleh bangsa Austronesia sekitar tahun 2000 sebelum Masehi yang bermigrasi dan berasal dari Taiwan melalui Maritime Asia Tenggara. Budaya dan bahasa dari orang Bali demikian erat kaitannya dengan orang-orang dari kepulauan Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Oseania. Alat-alat batu yang berasal dari saat itu telah ditemukan di dekat desa Cekik di sebelah barat pulau Bali.
Pada masa Bali kuno, terdapat sembilan sekte Hindu yaitu Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta,Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Setiap sekte menghormati dewa tertentu sebagai Ketuhanan pribadinya. Budaya Bali sangat dipengaruhi oleh budaya India, Cina, dan khususnya Hindu, mulai sekitar abad 1 Masehi. Nama Bali Dwipa ("pulau Bali") telah ditemukan dari berbagai prasasti, termasuk pilar prasasti Blanjong yang ditulis oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 914 Masehi yang menyebutkan "Walidwipa". Pada masa itu sistem irigasi Subak yang kompleks sudah dikembangkan untuk menanam padi. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya masih ada sampai saat ini dan dapat ditelusuri kembali pada masa itu. Kerajaan Hindu Majapahit (1293-1520 Masehi) di Jawa Timur mendirikan sebuah koloni di Bali pada tahun 1343. Ketika masa kejayaan sudah menurun, ada eksodus besar-besaran dari intelektual, seniman, pendeta, dan musisi dari Jawa ke Bali pada abad ke-15.

Kontak dari bangsa Eropa pertama kali dengan Bali diperkirakan telah terjadi pada tahun 1585 ketika sebuah kapal Portugis kandas di lepas Semenanjung Bukit dan meninggalkan beberapa orang Portugis dalam pelayanan Dewa Agung. Pada tahun 1597 penjelajah Belanda yang bernama Cornelis de Houtmantiba di Bali dan dengan pembentukan Perusahaan India Timur Belanda pada tahun 1602, sebuah tempat didirikan untuk mengontrol kolonial dan dua setengah abad kemudian ketika pengontrolan dari pihak Belanda diperluas di seluruh Indonesia, kontrol politik dan ekonomi Belanda atas Bali dimulai pada tahun 1840-an di pantai utara pulau Bali, ketika itu Belanda mengadu domba antara kerajaan-kerajaan di Bali agar tidak percaya terhadap satu sama lain dan pada akhir 1890-an, perjuangan antara kerajaan Bali di selatan pulau Bali itu dimanfaatkan oleh Belanda untuk meningkatkan kendali mereka.
Belanda melakukan serangan angkatan laut dan darat besar-besaran di wilayah Sanur pada tahun 1906 dan bertemu dengan ribuan anggota keluarga kerajaan dan para pengikut mereka yang berjuang melawan pasukan Belanda dengan serangan defensif bunuh diri (puputan) yang dilakukan oleh anggota keluarga kerajaan dan ribuan pengikut mereka daripada menghadapi penghinaan menyerah dari Belanda. Sekitar lebih dari 1.000 orang Bali meninggal pada saat itu melawan penjajah. Dalam intervensi Belanda di Bali pada tahun 1908, pembantaian serupa terjadi dalam menghadapi serangan Belanda di Klungkung. Setelah itu gubernur Belanda mampu melakukan kontrol administratif atas pulau Bali, tetapi kontrol lokal atas agama dan budaya umumnya tetap utuh.
Pada tahun 1930-an, antropolog Margaret Mead dan Gregory Bateson, Liburan Bali, Akomodasi, Panduan Wisata dan seniman Miguel Covarrubiasdan Walter Spies, dan musikolog Colin McPhee menciptakan citra barat tentang Bali sebagai "tanah terpesona yang damai dengan diri mereka sendiri dan alam", dan pariwisata Barat pertama kali dikembangkan di pulau Bali pada saat itu.
Imperial Jepang menduduki Bali selama Perang Dunia II. Pulau Bali awalnya bukan target dalam Kampanye Hindia Belanda mereka, tetapi karena lapangan terbang di Kalimantan yang tidak beroperasi karena hujan lebat tentara Kekaisaran Jepang memutuskan untuk menduduki Bali, yang tidak memiliki cuaca yang sebanding seperti Kalimantan. Pulau Bali pada saat itu tidak memiliki tentara Royal Netherlands East Indies Army (KNIL), yang ada hanyalah Native Auxiliary Corps Prajoda (Korps Prajoda) yang terdiri dari sekitar 600 tentara asli dan beberapa petugas Belanda KNIL di bawah komando Letkol KNIL WP Roodenburg. Pada tanggal 19 Februari 1942 pasukan Jepang mendarat di dekat Sanur. Pulau Bali cepat dikuasai oleh Jepang, selama pendudukan Jepang perwira militer Bali I Gusti Ngurah Rai, membentuk Bali 'bebas tentara'. Kurangnya perubahan kelembagaan dari waktu pemerintahan Belanda dan kerasnya permintaan resmi perang membuat pemerintahan Jepang sedikit lebih baik dari Belanda. Setelah Jepang menyerah di Pasifik pada bulan Agustus 1945, Belanda kembali ke Indonesia termasuk Bali dan segera ingin mengembalikan administrasi sebelum perang kolonial mereka. Hal ini ditentang oleh para pemberontak Bali yang pada saat itu sudah menggunakan senjata dari Jepang. Pada tanggal 20 November 1946, Pertempuran terjadi di Marga Tabanan di Bali tengah. Kolonel I Gusti Ngurah Rai, saat itu berusia 29 tahun, akhirnya membawa pasukannya ke Marga Rana, di mana mereka membuat serangan bunuh diri ke pihak Belanda yang bersenjata. Pasukan batalion Bali seluruhnya dihapus oleh Belanda, menghancurkan perlawanan terakhir dari perlawanan militer Bali. Pada tahun 1946 Belanda menjadikan Bali sebagai salah satu dari 13 wilayah administratif dari negara bagian yang baru diproklamasikan oleh Indonesia Timur, lawan dari negara Republik Indonesia yang diproklamasikan dan dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. Bali masuk dalam "Republik Indonesia" ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 29 Desember 1949.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEge_T028ihInkbEcxshScvIUHd3Eyn34Hk_c1sQqChjUJcdR_tIEOTGelXt-d87slkMnzk1TJo-oIK2i-5ejb7-uKHLfmbXQA2NpfbYaLs8W5lMFSxUchoM2X6jDMGX7zXLv19xg9wLeXPV/s200/ntb+logos.jpegKeberadaan status Provinsi, bagi NTB tidak datang dengan sendirinya. Perjuangan menuntut terbentuknya Provinsi NTB berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama. Meski begitu, tanggal 17 Desember 2008 yang lalu, NTB telah genap berusia 50 tahun atau usia emas. Pada usia emas NTB ini, NTB dipimpin pasangan K.H. M. Zainul Majdi, M.A, dan Ir. H. Badrul Munir, M.M. Dimana, sosok kedua pemimpin ini bertekad menjadikan NTB lebih baik, bersaing dengan daerah lain di Indonesia.
Provinsi NTB, sebelumnya sempat menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur dalam konsepsi Negara Republik Indonesia Serikat dan menjadi bagian dari Provinsi Sunda Kecil setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Seiring dinamika zaman dan setelah mengalami beberapa kali proses perubahan sistem ketatanegaraan pasca diproklamasikannya Kemerdekaan Republik Indonesia, barulah terbentuk Provinsi NTB.

NTB, secara resmi mendapatkan status sebagai provinsi sebagaimana adanya sekarang, sejak tahun 1958, berawal dari ditetapkannya Undang-undang Nomor 64 Tahun 1958 tanggal 14 Agustus 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra Tingkat I Bali, NTB dan NTT. Pada waktu itu, yang dipercayakan menjadi Gubernur NTB yang pertama adalah AR. Moh. Ruslan Djakraningrat.
Walaupun secara yuridis formal Daerah Tingkat I NTB yang meliputi 6 daerah Tingkat II dibentuk pada tanggal 14 Agustus 1958, namun penyelenggaraan pemerintahan berjalan berdasarkan Undang-undang Negara Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Keadaan yang tumpang tindih ini berlangsung hingga tanggal 17 Desember 1958, ketika Pemerintah Daerah Lombok dan Sumbawa dilikuidasi. Hari Likuidasi inilah yang menandai resmi terbentuknya Provinsi NTB.

Zaman terus berganti, konsolidasi kekuasaan dan pemerintahan pun terus terjadi. Pada tahun 1968 dalam situasi yang masih belum menggembirakan sebagai akibat berbagai krisis nasional yang membias ke daerah, Gubernur pertama AR. Moh. Ruslan Djakraningrat digantikan HR. Wasita Kusuma. Dengan mulai bergulirnya Program Pembangunan Lima Tahun Tahap Pertama (PelitaI) langkah perbaikan ekonomi, sosial, politik mulai terjadi.

Provinsi NTB dalam usianya yang ke 50 telah dipimpin 7 putra terbaik bangsa. Kini masyarakat NTB menitipkan amanah memimpin pembangunan daerah di pundak KH. M. Zainul Majdi, M.A dan Wakil Gubernur NTB , Ir. H. Badrul Munir, M.M. Di usia ke 50 tahun, pemerintah dan segenap komponen masyarakat NTB terus bergegas dan meretas jalan harapan menuju terwujudnya NTB Beriman dan Berdaya Saing.

19.Sejarah Provinsi Nusa Tenggara Timur

http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/19.jpgSetelah Jepang menyerah, Kepala Pemerintahan Jepang (Ken Kanrikan) di Kupang memutuskan untuk menyerahkan pemerintahan atas kota Kupang kepada tiga orang yakni Dr.A.Gakeler sebagai walikota, Tom Pello dan I.H.Doko. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena pasu kan NICA segera mengambil alih seluruh pemerintahan sipil di NTT, di mana susunan pemerintahan dan pejabat–pejabatnya sebagian besar adalah pejabat Belanda sebelum perang dunia II.

Dengan demikian NTT menjadi daerah kekuasaan Belanda lagi, sistem pemerintahan sebelum masa perang ditegakkan kembali. Pada tahun 1945 kaum pergerakan secara sembunyi–sembunyi telah mengetahui perjuangan Republik Indonesia melalui radio. Oleh karena itu kaum pergerakan menghidupkan kembali Partai perseri katan Kebangsaan Timor yang berdiri sejak tahun 1937 dan kemudian berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Perjuangan politik terus berlanjut, sampai pada tahun 1950 dimulai pase baru dengan dihapusnya dewan raja–raja. Pada bulan Mei 1951 Menteri Dalam Negeri NIT mengangkat Y.S. Amalo menjadi Kepala Daerah Timor dan kepu lauannya menggantikan H.A. Koroh yang wafat pada tanggal 30 Maret 1951. Pada waktu itu daerah Nusa Tenggara Timur termasuk dalam wilayah Propinsi Sunda Kecil.

Berdasarkan atas keinginan serta hasrat dari rakyat Daerah Nusa Tenggara, dalam bentuk resolusi, mosi, pernyataan dan delegasi–delegasi kepada Pemerintah Pusat dan Panitia Pembagian Daerah yang dibentuk dengan Keputusan Presiden No.202/1956 perihal Nusa Tenggara, pemerintah berpendapat sudah tiba saatnya untuk membagi daerah Propinsi Nusa Tenggara termaksud dalam Peraturan Pemerintah RIS no.21 tahun 1950. (Lembaran Negara RIS tahun 1950 No.59) menjadi tiga daerah tingkat 1 dimaksud oleh undang–undang No.1 tahun 1957.

Akhirnya berdasarkan undang–undang No.64 tahun 1958 propinsi Nusa Tenggara dipecah menjadi Daerah Swa tantra Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (inventarisasi Land Use, 1967, hal. 2). Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur meliputi daerah Flores, Sumba dan Timor.

Berdasarkan undang–undang No.69/ 1958 tentang pembentukan daerah–daerah tingkat II dalam wilayah Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, maka daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur dibagi menjadi 12 Daerah Swatantra Tingkat II (Monografi NTT, 1975, hal. 297).

Adapun daerah swatantra tingkat II yang ada tersebut adalah : Sumba Barat, Sumba Timur, Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, Alor, Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu. Dengan keluarnya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Daswati I Nusa Tenggara Timur tertanggal 28 Pebruari 1962 No.Pem.66/1/2 yo tanggal 2 Juli 1962 tentang pembentukan kecamatan di Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur, maka secara de facto mulai tanggal 1 Juli 1962 swapraja–swapraja dihapuskan (Monografi NTT, Ibid, hal. 306).

Sedangkan secara de jure baru mulai tanggal 1 September 1965 dengan berlakunya undang–undang no.18 tahun 1965 tentang pokok–pokok pemerintahan daerah. Pada saat itu juga sebutan Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur dirubah menjadi Propinsi Nusa Tenggara Timur, sedangkan Daerah Swatantra Tingkat II dirubah menjadi Kabupaten.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur di Kupang, tanggal 20 Juli 1963 No.66/1/32 mengenai pembentukan kecamatan, maka Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan 12 daerah tingkat II dibagi menjadi 90 kecamatan dan 4 555 desa tradisionil, yakni desa yang bersifat kesatuan genealogis yang kemudian dirubah menjadi desa gaya baru.

Pada tahun 2003 wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur terdiri dari 16 kabupaten dan satu Kota. Kabupaten–kabupaten dan Kota tersebut adalah: Sumba Barat, Sumba Timur, Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Alor, Lembata, Flores Timur, Sikka, Ende, Ngada, Manggarai, Rote Ndao, Manggarai Barat dan Kota Kupang.

Dari 16 kabupaten dan satu kota tersebut terbagi dalam 197 kecamatan dan 2 585 desa/kelurahan. (Disarikan dari buku “Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur” Proyek Penelitian dan Pencetakan Kebudayaan Daerah 1977/1978).

http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/20.jpg20.Sejarah Singkat terbentuknya kalimantan barat

Provinsi Kalimantan Barat terbentuk tanggal 1 Januari 1957. Pembentukannya berbarengan dengan provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Pada awal kemerdekaan, wilayah Kalimantan Barat merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan. 
Penghuni pertama Kalimantan Barat  diperkirakan hidup di kawasan pantai dan pinggiran Sungai Kapuas. Pada abad ke 5, mereka sudah menjalin hubungan dagang dengan India, Cina, dan Timur-Tengah. Mereka termasuk dalam rumpun Melayu.
Di Kalimantan Barat sedikitnya pernah berdiri 13 kerajaan.  Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Tanjungpura, Sukadana, Simpang, Mempawah, Sambas, Landah, Tayan, Meliau, Sanggau, Sekadau, Sintang, Kubu, dan Pontianak. Tumbuhnya kerajaan tersebut bermula dari kedatangan Prabu Jaya, anak Brawijaya dari Pulau Jawa.
Tahun 1598, Belanda mulai mendarat di Kalimantan. Namun kolonialisme baru mencengkramKalimantan pada abad ke 17. Ketika itu, Belanda dan Inggris berusaha untuk menguasan perdagangan. Sementara itu, Kerajaan Bugis juga berusaha menguasai Kalimantan. Mereka kemudian mendirikan kerajaan baru di Mempawah. Selain itu, lahir pula Kesultanan Pontianak, yang pada masa pemerintahan Sultan Hamid menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.
Pada abad ke 19, Belanda dan Inggris semakin intensif memaksakan monopoli dagangnya di berbagai kesultanan. Mereka juga menyebarkan agama kristen. Agar bisa mendominasi perdagangan, mereka harus mematahkan berbagai perlawanan beberapa kesultanan dan suku yang tidak mau tunduk. Pada awal abad ke 20, Belanda telah menguasai daerah pedalaman. Namun tahun 1930, Belanda baru berhasil menduduki Kalimantan, Kecuali Kalimantan Utara yang dikuasai oleh Inggris.
Dalam abad ke 20 ini, mulai bermunculan gerakan-gerakan kebangsaan. Berbagai pergerakan merupakan cabang pergerakan di Jawa. Hal ini disebabkan oleh sistem perhubungan Kalimantandengan Jawa yang sudah mulai baik. Rakyat yang merasa tertekan oleh penjajah Belanda, membentuk wadah-wadah perjuangan.
Organisasi politik pertama yang berdiri di Kalimantan Barat adalah Syarikat Islam tahun 1914. dalam waktu singkat, Syarikat Islam berkembang dengan cepat, dimana perkembangannya ditunjang pula oleh para raja dan bangsawan. Pada tahun 1922, lahir organisasi baru beraliran komunis, bernama Syarikat Rakyat. Organisasi ini dipimpin oleh Gusti Sulung Lelanang, mantan aktivis Syarikat Islam.
Organisasi lainnnya yang terbentuk di Kalimantan Barat adalah Muhammadiyah. Cabang organisasi Islam ini dibuka oleh dua orang guru agama dari Sumatera Barat. Mulai tahun 1932, Muhammadiyah berkembang pesat, mereka membuka cabang di Pontianak, Sungai Bakau Kecil, Singkawang, dan Sambas. 
Tahun 1936, Partai Indonesia Raya (Parindra) membuka cabangnya di Kalimantan Barat. Setelah itu, mereka membuka cabang di beberapa wilayah Kalimantan Barat seperti di Pontianak, Ngabang, Sambas, dan Singkawang. Selain pergerakan yang merupakan cabang dari Jawa, muncul pula organisasi politik lokal seperti Persatuan anak Borneo. Namun organisasi ini berada di bawah pengaruh Belanda, dan tidak berperan dalam memunculkan kesadaran kebangsaan.
Pada bulan Februari 1942, Jepang mendarat di Kalimantan dan langsung mengambil alih kekuasaan Belanda. Jepang kemudian melarang organisasi politik dan melakukan pemaksaan dan peindasan terhadap rakyat. Berbagai kegiatan rakyat dipusatkan untuk tujuan perang Jepang. Kungkungan dan kekejaman Jepang berakhir ketika "Sang Saudara Tua" ini kalah dalam perang, menyerah terhadap sekutu.
Berita proklamasi kemerdekaan sampai di Kalimantan Barat tanggal 18 Agustus 1945. setelah berita proklamasi ini menyebar, para pejuang Kalimantan Barat segera membentuk organisasi yang diberi nama Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI). Setelah itu, mulailah era usaha mempertahankan kemerdekaan. 
Upaya untuk mewujudkan pemerintahan Republik Indonesia di Kalimantan Barat mendapat kendala karena Belanda kembali menguasai daerah ini. Perjuangan untuk mengusir Belanda dilakukan dengan jalan militer dan politik. Di jalan militer, pada pejuang melakukan serangan-serangan terhadap pos-pos pertahanan Belanda. Di bidang politik, perjuangan dilakukan dengan mendirikan berbagai organisasi perjuangan, seperti Gabungan Persatuan Indonesia (Gapi), Persatuan Bangsa
Indonesia Sambas (Perbis), Pemuda Indonesia Merdeka (PIM), Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindo), Persatuan Muslim Indonesia (Permi), dan Gerakan Pemuda Indonesia (Gerpindo).
Belanda melakukan berbagai penangkapan terhadap pejuang. Akibatnya banyak pejuang yang terpaksa menyingkir ke daerah pedalaman. Mereka kemudian membentuk satuan-satuan semi militer dengan beranggotakan bekas Heiho dan penduduk. Perjuangan melawan Belanda semakin sengit ketika Belanda bermaksud mendirikan negara Kalimantan. Lewat Konferensi Meja Bundar (KMB), Belanda menjadikan Kalimantan Barat sebagai negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). 
Namun keberadaan RIS tidak diterima rakyat. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan Kalimantan kembali menjadi bagian dari Republik Indonesia. Sebagai gubernur Provinsi Kalimantan setelah pembubaran RIS, diangkat Dr. M. Murjani.  
Setelah pembentukannya, yaitu, tanggal 1 Januari 1957, Kalimantan Barat mulai menata pemerintahan. Namun karena situasi keamanan baik lokal maupun nasional belum stabil, pemerintahan ketika itu tidak bisa memperbaiki tingkat kehidupan rakyatnya. Setelah berbagai kekacauan berakhir, yang diakhiri dengan penumpasan terhadap peristiwa G30S/PKI, pemerintah daerah Kalimantan Barat dapat melakukan perbaikan kehidupan dan kesejahteraan rakyat.  

 

21.Sejarah Singkat Kalimantan Tengah

http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/21.jpgPada mulanya, wilayah Kalimantan Tengah masuk wilayah Karesidenan Kalimantan Selatan. kemudian atas aspirasi masyarakat Kalimantan tengah, berdasarkan UU Darurat No. 10 Tahun 1957 yang berlaku mulai tanggal 23 Mei 1957 terbentuklah Propinsi Otonom Kalimantan Tengah.

Undang-undang ini kemudian disahkan dengan UU No. 21 Tahun 1958. yang sekaligus juga menetapkan ibukota Propinsi Kalimantan Tengah bernama Palangka Raya.


Peresmian pemancangan tiang pertama pembangunan kota Palangka Raya dilakukan oleh Presiden RI Pertama Ir. Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957. Tanggal 23 Mei 1957 ini kemudian ditetapkan menjadi tanggal lahir atau tanggal terbentuknya Propinsi Kalimantan Tengah.

Dalam perkembangannya, pada masa kepemimpinan Gubernur Asmawi Agani, pada tanggal 2 Juli 2002 di Jakarta dilakukan peresmian pemekaran Kabupaten baru di Propinsi Kalimantan Tengah oleh Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 2002, Prop.Kalteng yang semula terdiri dari 5 kabupaten dan 1 kotamadya dimekarkan menjadi 13 kabupaten dan 1 kota.

 

22.Sejarah Kalimantan Selatan

http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/22.jpgSejarah Pemerintahan di Kalimantan Selatan diperkirakan dimulai ketika berdiri Kerajaan Tanjung Puri sekitar abad 5-6 Masehi. Kerajaan ini letaknya cukup strategis yaitu di Kaki Pegunungan Meratus dan di tepi sungai besar sehingga di kemudian hari menjadi bandar yang cukup maju. Kerajaan Tanjung Puri bisa juga disebut Kerajaan Kahuripan, yang cukup dikenal sebagai wadah pertama hibridasi, yaitu percampuran antarsuku dengan segala komponennya. Setelah itu berdiri kerajaan Negara Dipa yang dibangun perantau dari Jawa.
Pada abad ke 14 muncul Kerajaan Negara Daha yang memiliki unsur-unsur Kebudayaan Jawa akibat pendangkalan sungai di wilayah Negara Dipa. Sebuah serangan dari Jawa menghancurkan Kerajaan Dipa ini. Untuk menyelamatkan, dinasti baru pimpinan Maharaja Sari Kaburangan segera naik tahta dan memindahkan pusat pemerintahan ke arah hilir, yaitu ke arah laut di Muhara Rampiau. Negara Dipa terhindar dari kehancuran total, bahkan dapat menata diri menjadi besar dengan nama Negara Daha dengan raja sebagai pemimpin utama. Negara Daha pada akhirnya mengalami kemunduran dengan munculnya perebutan kekuasaan yang berlangsung sejak Pangeran Samudra mengangkat senjata dari arah muara, selain juga mendirikan rumah bagi para patih yang berada di muara tersebut.
Pemimpin utama para patih bernama MASIH. Sementara tempat tinggal para MASIH dinamakan BANDARMASIH. Raden Samudra mendirikan istana di tepi sungai Kuwin untuk para patih MASIH tersebut. Kota ini kelak dinamakanBANJARMASIN, yaitu yang berasal dari kata BANDARMASIH.
Kerajaan Banjarmasin berkembang menjadi kerajaan maritim utama sampai akhir abad 18. Sejarah berubah ketika Belanda menghancurkan keraton Banjar tahun 1612 oleh para raja Banjarmasin saat itu panembahan Marhum, pusat kerajaan dipindah ke Kayu Tangi, yang sekarang dikenal dengan kota Martapura.
Awal abad 19, Inggris mulai melirik Kalimantan setelah mengusir Belanda tahun 1809. Dua tahun kemudian menempatkan residen untuk Banjarmasin yaitu Alexander Hare. Namun kekuasaanya tidak lama, karena Belanda kembali.
Babak baru sejarah Kalimantan Selatan dimulai dengan bangkitnya rakyat melawan Belanda. Pangeran Antasari tampil sebagai pemimpin rakyat yang gagah berani. Ia wafat pada 11 Oktober 1862, kemudian anak cucunya membentuk PEGUSTIAN sebagai lanjutan Kerajaan Banjarmasin, yang akhirnya dihapuskan tentara Belanda Melayu Marsose, sedangkan Sultan Muhammad Seman yang menjadi pemimpinnya gugur dalam pertempuran. Sejak itu Kalimantan Selatan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.
Daerah ini dibagi menjadi sejumlah afdeling, yaitu Banjarmasin, Amuntai dan Martapura. Selanjutnya berdasarkan pembagian organik dari Indisch Staatsblad tahun 1913, Kalimantan Selatan dibagi menjadi dua afdeling, yaitu Banjarmasin dan Hulu Sungai. Tahun 1938 juga dibentuk Gouverment Borneo dengan ibukota Banjarmasin dan Gubernur Pertama dr. Haga.
Setelah Indonesia merdeka, Kalimantan dijadikan propinsi tersendiri dengan Gubernur Ir. Pangeran Muhammad Noor. Sejarah pemerintahan di Kalimanatn Selatan juga diwarnai dengan terbentuknya organisasi Angkatan Laut Republik Indonesia ( ALRI ) Divisi IV di Mojokerto, Jawa Timur yang mempersatukan kekuatan dan pejuang asal Kalimantan yang berada di Jawa.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati menyebabkan Kalimantan terpisah dari Republik Indonesia. Dalam keadaan ini pemimpin ALRI IV mengambil langkah untuk kedaulatan Kalimantan sebagai bagian wilayah Indonesia, melalui suatu proklamasi yang ditandatangani oleh Gubernur ALRI Hasan Basry di Kandangan 17 Mei 1949 yang isinya menyatakan bahwa rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan memaklumkan berdirinya pemerintahan Gubernur tentara ALRI yang melingkupi seluruh wilayah Kalimantan Selatan. Wilayah itu dinyatakan sebagai bagian dari wilayah RI sesuai Proklamasi kemerdekaaan 17 agustus 1945. Upaya yang dilakukan dianggap sebagai upaya tandingan atas dibentuknya Dewan Banjar oleh Belanda.
Menyusul kembalinya Indonesia ke bentuk negara kesatuan kehidupan pemerintahan di daerah juga mengalamai penataaan. Di wilayah Kalimantan, penataan antara lain berupa pemecahan daerah Kalimantan menjadi 3 propinsi masing-masing Kalimantan Barat, Timur dan Selatan yang dituangkan dalam UU No.25 Tahun 1956.
Berdasarkan UU No.21 Tahun 1957, sebagian besar daerah sebelah barat dan utara wilayah Kalimantan Selatan dijadikan Propinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan UU No.27 Tahun 1959 memisahkan bagian utara dari daerah Kabupaten Kotabaru dan memasukkan wilayah itu ke dalam kekuasaan Propinsi Kalimantan Timur. Sejak saat itu Propinsi Kalimantan Selatan tidak lagi mengalami perubahan wilayah, dan tetap seperti adanya. Adapun UU No.25 Tahun 1956 yang merupakan dasar pembentukan Propinsi Kalimantan Selatan kemudian diperbaharui dengan UU No.10 Tahun 1957 dan UU No.27 Tahun 1959.
http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/23.jpg23.SEJARAH SINGKAT PROVINSI KALIMATAN TIMUR
Provinsi Kalimantan Timur selain sebagai suatu kesatuan administrasi, juga sebagai kesatuan ekologis dan histories. Kalimantan Timur sebagai wilayah administrasi dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 956 dengan Gubernur yang pertama adalah APT Pranoto.

Sebelumnya Kalimantan Timur merupakan salah satu Keresidenan dari Provinsi Kalimantan Timur. Sesuai dengan aspiarsi rakyat pulau terbesar di Nusantara ini sejak tahun 1956 wilayahnya dimekarkan menjadi tiga propinsi, yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat.


Daerah Tingkat II di dalam wilayah Kalimantan Timur. Dibentuk berdasar Undang-undang Nomor 27 Tahun 1959, tentang Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 953, tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1955 No. 9). Lembaran Negara No. 72 Tahun 959, meliputi :

1. Kotamadya Samarinda, dengan Ibukota Samarinda dan sekaligus sebagai Ibukota Propinsi Kalimantan Timur.
2. Kotamadya Balikpapan, sebagai Ibukota Balikpapan dan merupakan pintu gerbang Kalimantan Timur.
3. Kabupaten Kutai, dengan Ibukotanya Tenggarong.
4. Kabupaten Pasir, dengan Ibukotanya Tanah Grogot.
5. Kabupaten Berau, dengan Ibukotanya Tanjung Redeb.
6. Kabupaten Bulungan dengan Ibukotanya Tanjung Selor.

Dalam perkembangan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 dibentuk 2 Kota Administrasi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1981 dan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1989, yakni :

1. Kota Adminstratif Bontang (berada di Kabupaten Kutai).
2. Kota Administratif Tarakan (berada di Kabupaten Bulungan).

Selanjutnya sebagai perpanjangan tangan dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur dalam mengelola administrasi Pemerintahan dan Pembangunan di Daerah ini dibentuk 2 (dua) Pembantu Gubernur yang bertugas mengkoordinir Wilayah Utara dan Wilayah Selatan, yaitu :

• Pembantu Gubernur Wilayah Utara, berkedudukan di Kota Tarakan yang dalam hal ini merupakan perpanjangan tangan Gubernur untuk wilayah Kabupaten Berau, Kabupaten Bulungan dan Kota Administratif Tarakan, yang selanjutnya berdasarkan Undang-Undang No. 29 Tahun 1997 menjadi Kotamadya Tarakan. 
• Pembantu Gubernur Wilayah Selatan, berkedudukan di Kota Balikpapan yang dalam hal ini merupakan perpanjangan tangan Gubernur untuk wilayah Kotamadya Balikpapan, Kabupaten Kutai, Kabupaten Pasir.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka struktur Pemerintahan di daerah berupa antara lain Wilayah Pembantu Gubernur dihapuskan serta Kota Administrasi Bontang dan Tarakan ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Otonomi.

Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2002, serta Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007 mengenai pemekaran Kabupaten dan Kota di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur, maka sampai dengan saat ini wilayah Provinsi Kalimantan Timur dari 6 (enam) Kabupaten/ Kota bertambah menjadi 14 (empat belas) Daerah Kabupaten/Kota dengan 10 Kabupaten dan 4 Kota.
Terbentuknya Provinsi Kalimantan Utara yang disingkat menjadi Kaltara, melalui proses panjang yang diwacanakan sejak tahun 2000. Provinsi Kaltara secara resmi terbentuk sejak ditandatanganinya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara pada tanggal 16 November 2012 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
RUU pembentukan Provinsi Kalimantan Utara ini sebelumnya telah disetujui oleh Rapat Paripurna DPR pada 25 Oktober 2012 untuk disahkan menjadi undang-undang (UU). Sejak terbit UU No. 20 Tahun 2012 maka resmi terbentuk Provinsi Kalimantan Utara sebagai provinsi ke 34 di Indonesia. Pada tanggal 22 April 2013 Penjabat Gubernur Kalimantan Utara yaitu Irianto Lambrie dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di Jakarta.
Tujuan pembentukan provinsi ini adalah untuk mendorong peningkatan pelayanan dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, memperpendek rentang kendali (span of control) pemerintahan, terutama di kawasan perbatasan. Pemerintah Pusat berharap dengan adanya pemerintahan provinsi, permasalahan di perbatasan utara Kalimantan dapat langsung dikontrol dan dikendalikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Diharapkan juga dengan adanya Provinsi Kaltara dapat meningkatkan perekonomian warga Kalimantan Utara yang berada di dekat perbatasan dengan negara-negara tetangga.
Pada saat dibentuknya, wilayah Kaltara terbagi 5 wilayah administrasi yang terdiri atas 1 kota dan 4 kabupaten yakni Kota Tarakan, Kabupaten Bulungan, Malinau, Nunukan, dan Kabupaten Tana Tidung. Seluruh wilayah tersebut sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Kalimantan Timur. Berdasarkan bunyi Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012, Kaltara beribukota Tanjung Selor yang berada di Kabupaten Bulungan.
25.Sejarah Sulawesi Utara
https://acsujabodetabek.files.wordpress.com/2011/11/north-sulawesi-logo1.jpg?w=150Provinsi Sulawesi Utara adalah wilayah provinsi di ujung utara Pulau Sulawesi, berbatasan langsung dengan Negara Filipina.  Provinsi ini memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang sebelum ditetapkan menjadi Provinsi Daerah Tingkat I.  Dalam sejarah pemerintahannya, daerah ini beberapa kali mengalami perubahan administrasi pemerintahan seiring dengan dinamika penyelenggaraan pemerintahan bangsa.
Pada permulaan Kemerdekaan Republik Indonesia, daerah ini berstatus Keresidenan yang merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi yg beribukota Makassar dengan Gubernur yaituDR.GSSJ Ratulangi.  Kemudian sejalan dengan pemekaran administrasi pemerintahan daerah-daerah di Indonesia, maka melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 Propinsi Sulawesi dibagi menjadi dua propinsi administratif yaitu Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara dan Propinsi Sulawesi Utara-Tengah.  Untuk mengatur dan menyelenggarakan kegiatan pemerintahan maka AA Baramuli SH ditunjuk menjadi Gubernus Sulutteng berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor.122/M Tahun 1960 tanggal 31 Maret 1960, sementara Letkol FJ Tumbelaka menjadi wakil Gubernur.

Provinsi Sulawesi Utara
Sembilan bulan kemudian Propinsi Administratif Sulawesi Utara-Tengah ditata kembali statusnya menjadi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1960. Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sulutteng meliputi; Kotapradja Manado, Kotapraja Gorontalo, dan delapan Daerah Tingkat II masing-masing; Sangihe Talaud, Gorontalo, Bolaang Mongondow, Minahasa, Buol Toli-Toli, Donggala, Daerah Tingkat II Poso, Luwuk/ Banggai. Sementara itu, DPRD Propinsi Sulawesi Utara-Tengah baru terbentuk pada tanggal 26 Desember 1961.
Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tanggal 23 September 1964 Pemerintah menetapkan perubahan status Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dengan menjadikan Sulawesi Utara sebagai Daerah Otonom  Tingkat I, dengan Manado sebagai Ibukotanya.  Adapun FJ Tumbelaka ditunjuk menjadi  gubernur pertamanya.  Sejak saat itu, secara de facto Daerah Tingkat I Sulawesi Utara membentang dari Utara ke Selatan Barat Daya, dari Pulau Miangas di ujung utara Kabupaten Sangihe Talaud sampai Molosipat di bagian Barat Kabupaten Gorontalo.  Momentum diundangkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 1964 itulah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Daerah Tingkat I Sulawesi Utara.  Adapun daerah tingkat II yang masuk dalam wilayah Sulawesi Utara yaitu; Kotamadya Manado, Kota Madya Gorontalo, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bolaang Mongondow, dan Kabupaten Sangihe Talaud.
Selanjutnya, seiring dengan nuansa reformasi dan otonomi daerah, maka melalui Undang-undang No. 38 tahun 2000 dibentuk Provinsi Gorontalo sebagai hasil pemekaran dari  provinsi Sulawesi Utara.  Dengan adanya pemekaran tersebut maka wilayah Sulawesi Utara pun berubah menjadi Kota Manado, Kota Bitung, Kab. Minahasa, Kab. Sangihe dan Talaud dan Kab. Bolaang Mongondow. Lalu berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2002, provinsi Sulawesi Utara ketambahan satu kabupaten lagi yaitu Kabupaten Kepulauan Talaud yang merupakan hasil pemekaran Kabupaten Sangihe Talaud.
Sekitar setahun berikutnya, dibentuk Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon berdasarkan Undang-undang No.10 Tahun 2003 serta Kabupaten Minahasa Utara berdasarkan Undang-Undang No. 33  Tahun 2003.  Ketiga kabupaten tersebut merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Minahasa.  Kemudian pada tahun 2007 ketambahan lagi 4 lagi kabupaten/kota yakni Kota Kotamobagu (berdasarkan UU No. 4 Tahun 2007), Kab. Minahasa Tenggara (UU No. 9 Tahun 2007), Kab. Bolaangmongondow Utara (UU No. 10 Tahun 2007), serta Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Bintaro atau disingkan Kabupaten Sitaro (UU No. 15 Tahun 2007).  Dan pada tahun 2008 terbentuk pula dua kabupaten baru, yakni Kabupaten Bolaang Mongondow Timur berdasarkan UU No. 29 Tahun 2008 dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan berdasarkan UU No. 30 Tahun 2008.  Keduanya merupakan pemekaran dari Kabupaten Bolaang Mongondow.
Dari beberapa kali  pemekaran tersebut, saat ini Provinsi Sulawesi Utara memiliki 15 kabupaten/kota  dengan total luas wilayah 15.364,08 kmdan jumlah penduduk pada 2010 sebanyak 2.270.596 jiwa
Adapun gubernur yanga pernah memimpin Provinsi Sulawesi sejak berdiri pada tahun 1964 adalah sebagai berikut :
1.       F.J.Tumbelaka (Pj.Gubernur 1964-1965)
2.       Soenandar Prijosoedarmo (Pj.Gubernur 1965-1966)
3.       Abdullah Amu (Pj.Gubernur 1966 – 1967)
4.       H.V. Worang (1967 – 1978)
5.       Willy Lasut.G.A (1978-1979)
6.       Erman Harirustaman (Pj.Gubernur 1979-1980)
7.       G.H. Mantik (1980-1985)
8.       C.J. Rantung (1985-1990)
9.       E.E.Mangindaan (1995-2000)
10.   Drs. A.J. Sondakh (2000-2005)
11.   Ir. Lucky H. Korah, MSi (Pj. Gubernur 2005)
12.   Drs.S.H.Sarundajang (2005-2010 dan 2010 – sekarang).
26.Sejarah provinsi Gorontalo
http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/28.jpgMenurut sejarah, Jazirah Gorontalo terbentuk kurang lebih 400 tahun lalu dan merupakan salah satu kota tua di Sulawesi selain Kota Makassar, Pare-pare dan Manado. Gorontalo pada saat itu menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Indonesia Timur yaitu dari Ternate, Gorontalo, Bone. Seiring dengan penyebaran agama tersebut Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan masyarakat di wilayah sekitar seperti Bolaang Mongondow (Sulut), Buol Toli-Toli, Luwuk Banggai, Donggala (Sulteng) bahkan sampai ke Sulawesi Tenggara.
Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan karena letaknya yang strategis menghadap Teluk Tomini (bagian selatan) dan Laut Sulawesi (bagian utara).
Kedudukan Kota Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan Hulawa Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Menurut Penelitian, pada tahun 1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari Keluruhan Hulawa ke Dungingi Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat sekarang. Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe Kerajaan ini dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B.
Dengan letaknya yang stategis yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta penyebaran agama islam maka pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah sekitar, bahkan menjadi pusat pemerintahan yang disebut dengan Kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo yang meliputi Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol ToliToli dan, Donggala dan Bolaang Mongondow.
Sebelum masa penjajahan keadaaan daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur menurut huukm adat etatanegaraan Gorontalo. Kerajaan-kerajaan itu tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut “Pohala’a.Menurut Haga (1931) daerah Gorontalo ada lima pohala’a :
§  Pohala’a Gorontalo
§  Pohala’a Limboto
§  Pohala’a Suwawa
§  Pohala’a Boalemo
§  Pohala’a Atinggola
Dengan hukum adat itu maka Gorontalo termasuk 19 wilayah adat di Indonesia Pohalaa Gorontalo merupakan pohalaa yang paling menonjol diantara kelima pohalaa tersebut. Itulah sebabnya Gorontalo lebih banyak dikenal.
Asal usul nama Gorontalo terdapat berbagai pendapat dan penjelasan antara lain :
§  “Hulontalangio”, nama salah satu kerajaan yang dipersingkat menjadi hulontalo.
§  Berasal dari ” Hua Lolontalango” yang artinya orang-orang Gowa yang berjalan lalu lalang.
§  Berasal dari ” Hulontalangi” yang artinya lebih mulia.
§  Berasal dari “Hulua Lo Tola” yang artinya tempat berkembangnya ikan Gabus.
§  Berasal dari ” Pongolatalo” atau “Puhulatalo” yang artinya tempat menunggu.
§  Berasal dari Gunung Telu yang artinya tiga buah gunung.
§  Berasal dari ” Hunto” suatu tempat yang senantiasa digenangi air
Jadi asal usul nama Gorontalo (arti katanya) tidak diketahui lagi, namun jelas kata “hulondalo” hingga sekarang masih hidup dalam ucapan orang Gorontalo dan orang Belanda karena kesulitan dalam mengucapkannya diucapkan dengan Horontalo dan bila ditulis menjadi Gorontalo.
Pada tahun 1824 daerah Limo Lo Pohalaa telah berada di bawah kekusaan seorang asisten Residen disamping Pemerintahan tradisonal. Pada tahun 1889 sistem pemerintahan kerajaan dialihkan ke pemerintahan langsung yang dikenal dengan istilah ” Rechtatreeks Bestur “. Pada tahun 1911 terjadi lagi perubahan dalam struktur pemerintahan Daerah Limo lo pohalaa dibagi atas tiga Onder Afdeling yaitu :
§  Onder Afdeling Kwandang
§  Onder Afdeling Boalemo
§  Onder Afdeling Gorontalo
Selanjutnya pada tahun 1920 berubah lagi menjadi lima distrik yaitu :
§  Distrik Kwandang
§  Distrik Limboto
§  Distrik Bone
§  Distrik Gorontalo
§  Distrik Boalemo
Pada tahun 1922 Gorontalo ditetapkan menjadi tiga Afdeling yaitu :
§  Afdeling Gorontalo
§  Afdeling Boalemo
§  Afdeling Buol
Sebelum kemerdekaan Republik , rakyat Gorontalo dipelopori oleh Bpk. H. Nani Wartabone berjuang dan merdeka pada tanggal 23 Januari 1942. Selama kurang lebih dua tahun yaitu sampai tahun 1944 wilayah Gorontalo berdaulat dengan pemerintahan sendiri. Perjuangan patriotik ini menjadi tonggak kemerdekaan bangsa Indonesia dan memberi imbas dan inspirasi bagi wilayah sekitar bahkan secara nasional. Oleh karena itu Bpk H. Nani Wartabone dikukuhkan oleh Pemerintah RI sebagai pahlawan perintis kemerdekaan.
Hari Kemerdekaan Gorontalo ” yaitu 23 Januari 1942 dikibarkan bendera merah putih dan dinyanyikan lagu Indonesia Raya. Padahal saat itu Negara Indonesia sendiri masih merupakan mimpi kaum nasionalis tetapi rakyat Gorontalo telah menyatakan kemerdekaan dan menjadi bagian dari Indonesia
Selain itu pada saat pergolakan PRRI Permesta di Sulawesi Utara masyarakat wilayah Gorontalo dan sekitarnya berjuang untuk tetap menyatu dengan Negara Republik Indonesia dengan semboyan “Sekali ke Djogdja tetap ke Djogdja” sebagaimana pernah didengungkan pertama kali oleh Ayuba Wartabone di Parlemen Indonesia Timur ketika Gorontalo menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur.
http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/27.jpg27.SEJARAH SINGKAT PROPINSI SULAWESI TENGAH  
Sulawesi Tengah merupakan propinsi terbesar di pulau Sulawesi, dengan luas wilayah daratan 68.033 km2  yang mencakup semenanjung bagian timur dan sebagian semenanjung bagian utara serta kepulauan Togian di Teluk Tomini dan Kepulauan Banggai di Teluk Tolo, dengan luas wilayah laut adalah 189.480 km2.
Sulawesi  Tengah  yang terletak di bagian barat kepulauan Maluku dan bagian selatan Philipina membuat pelabuhan di daerah ini sebagai persinggahan kapal-kapal Portugis dan Spanyol lebih dari 500 tahun yang lampau. Dalam perjalanannya mengelilingi dunia Francis Drake, dengan kapalnya "The Golden Hind" singgah di salah satu pulau kecil di pantai timur propinsi ini selama sebulan pada bulan Januari 1580. Meskipun tidak ada catatan sejarah, kemungkinan besar pelaut-pelaut Portugal dan Spanyol menginjak kakinya di negeri ini yang terbukti dengan masih ada pengaruh Eropa terhadap bentuk pakaian masyarakat hingga dewasa ini.
Setelah dikuasi oleh Belanda pada tahun 1905 Sulawesi Tengah dibagi menjadi beberapa Kerajaan kecil, dibawah kekuasaan Raja yang memiliki wewenang penuh.
Belanda membagi Sulawesi Tengah menjadi tiga daerah yaitu wilayah barat yang kini dikenal dengan kabupaten Donggala dan Buol Tolitoli dibawah kekuasaan Gubernur yang berkedudukan di Ujung Pandang. Di bagian tengah yang membujur di Donggala kawasan timur dan bagian selatan Poso berada dibawah pengawasan Residen di Manado, bagian timur dikendalikan dari Baubau.
  Pada tahun 1919 Raja-raja yang masih berkuasa dibawah kekuasaan Belanda menandatangani suatu perjanjian yang disebut " Korte Verklaring Renewcame" memperbaharui persekutuan mereka dan seluruh daerah Sulawesi Tengah dibawah kekuasaan residen di Sulawesi Utara.
Setelah perang dunia kedua wilayah yang merupakan propinsi Sulawesi Tengah dewasa ini dibagi menjadi beberapa bagian dan sub bagian hingga pada tahun 1964 terbentuk menjadi propinsi tersendiri yang terpisah dari Sulawesi Utara yang bergabung sejak 1960.
  Akhirnya tanggal 13 April 1964 diangkatlah Gubernur tersendiri untuk propinsi ini yang hingga saat ini tanggal tersebut tetap diperingati sebagai hari ulang tahun propinsi ini.
28.Sejarah Singkat Terbentuknya Sulawesi Selatan
http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/26.jpgSekitar 30.000 tahun silam pulau ini telah dihuni oleh manusia. Penemuan tertua ditemukan di gua-gua dekat bukit kapur dekat Maros, sekitar 30 km sebelah timur laut dan Makassar sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Kemungkinan lapisan budaya yang tua berupa alat batu Peeble dan flake telah dikumpulkan dari teras sungai di lembah Walanae, diantara Soppeng dan Sengkang, termasuk tulang-tulang babi raksasa dan gajah-gajah yang telah punah.

Selama masa keemasan perdagangan rempah-rempah, diabad ke-15 sampai ke-19, Sulawesi Selatan berperan sebagai pintu Gerbang ke kepulauan Maluku, tanah penghasil rempah. Kerajaan Gowa dan Bone yang perkasa memainkan peranan penting didalam sejarah Kawasan Timur Indonesia dimasa Ialu.

Pada sekitar abad ke-14 di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah kerajaan kecil, dua kerajaan yang menonjol ketika itu adalah Kerajaan Gowa yang berada di sekitar Makassar dan Kerajaan Bugis yang berada di
Bone. Pada tahun 1530, Kerajaan Gowa mulai mengembangkan diri, dan pada pertengahan abad ke-16 Gowa menjadi pusat perdagangan terpenting di wilayah timur Indonesia. Pada tahun 1605, Raja Gowa memeluk Agama Islam serta menjadikan Gowa sebagai Kerajaan Islam, dan antara tahun 1608 dan 1611, Kerajaan Gowa menyerang dan menaklukkan Kerajaan Bone sehingga Islam dapat tersebar ke seluruh wilayah Makassar dan Bugis.

Perusahaan dagang Belanda atau yang lebih dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang datang ke wilayah ini pada abad ke-15 melihat Kerajaan Gowa sebagai hambatan terhadap keinginan VOC untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di daerah ini. VOC kemudian bersekutu dengan seorang pangeran Bugis bernama Arung Palakka yang hidup dalam pengasingan setelah jatuhnya Bugis di bawah kekuasaan Gowa.

Belanda kemudian mensponsori Palakka kembali ke Bone, sekaligus menghidupkan perlawanan masyarakat Bone dan Sopeng untuk melawan kekuasaan Gowa. Setelah berperang selama setahun, Kerajaan Gowa berhasil dikalahkan. Dan Raja Gowa, Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bungaya yang sangat mengurangi kekuasaan Gowa. Selanjutnya Bone di bawah Palakka menjadi penguasa di Sulawesi Selatan.
Persaingan antara Kerajaan Bone dengan pemimpin Bugis lainnya mewarnai sejarah Sulawesi Selatan. Ratu Bone sempat muncul memimpin perlawanan menentang Belanda yang saat itu sibuk menghadapi Perang Napoleon di daratan Eropa. Namun setelah usainya Perang Napoleon, Belanda kembali ke Sulawesi Selatan dan membasmi pemberontakan Ratu Bone. Namun perlawanan masyarakat Makassar dan Bugis terus berlanjut menentang kekuasaan kolonial hingga tahun 1905-1906. Pada tahun 1905, Belanda juga berhasil menaklukkan Tana Toraja, perlawanan di daerah ini terus berlanjut hingga awal tahun 1930-an.

Sebelum Proklamasi RI, Sulawesi Selatan, terdiri atas sejumlah wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dan didiami empat etnis yaitu ; Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja.
Pada abad ke XVI dan XVII ada tiga kerajaan besar yang berpengaruh luas di Sulawesi Selatan yaitu kerajaan Luwu, Gowa dan Bone, yang telah mencapai kejayaan pada masa tersebut. Setelah kemerdekaan, dikeluarkan UU Nomor 21 Tahun 1950 dimana Sulawesi Selatan menjadi provinsi Administratif Sulawesi dan selanjutnya pada tahun 1960 menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1960. Selanjutnya berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 1964 Pemisahan dilakukan dari daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan, kemudian terus disempurnakan dengan ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

Periode Gubernur :
I. Gubernur Sulawesi :
1945 – 1949 DR. G. S.S.J. Ratulangi, 1950 – 1951 B. W. Lapian, 1951 – 1953 R. Sudiro, 1953 – A. Burhanuddin ,1953 - 1956 Lanto Dg. Pasewang, 1956 – 1959 A. Pangerang Pettarani
II. Gubernur Sulawesi Selatan dan Tenggara :
1959 – 1960 A. Pangerang Pettarani, 1960 – 1966 A. A. Rifai.
III. Gubernur Sulawesi Selatan :
1966 – 1978 Ahmad Lamo, 1978 – 1983 Andi Oddang, 1983 – 1993 Prof. Dr. A. Amiruddin , 1993 - 2003 H. Z. B. Palaguna , 2003 - 2008 H. M. Amin Syam, 2008 - Ahmad Tanribali Lamo Pejabat Gubernur Sementara, 2008 – Dr.H.Syahrul Yasin Limpo,SH,M.Si,MH sampai sekarang.

Kondisi Wilayah
Letak Geografis
Secara geografis wilayah darat Provinsi Sulawesi Selatan dilalui oleh garis khatulistiwa yang terletak antara 00 12’ ~ 80 Lintang Selatan dan 1160 48’~1220 36’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara dan Teluk Bone serta Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah timur, serta berbatasan dengan Selat Makassar di sebelah barat dan Laut Flores di sebelah timur. Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan khususnya wilayah daratan mempunyai luas kurang lebih 45.764,53 km2.

Topografi
Wilayah Sulawesi Selatan membentang mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Kondisi Kemiringan tanah 0 sampai 3 persen merupakan tanah yang relatif datar, 3 sampai 8 persen merupakan tanah relatif bergelombang, 8 sampai 45 persen merupakan tanah yang kemiringannya agak curam, lebih dari 45 persen tanahnya curam dan bergunung.

29.SEJARAH TERBENTUKNYA SULAWESI BARAT
http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/29.jpgBertolak dari semangat "Allamungan Batu di Luyo" yang mengikat Mandar dalam perserikatan "Pitu Ba'bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu" dalam sebuah muktamar yang melahirkan "Sipamandar" (saling memperkuat) untuk bekerja sama dalam membangun Mandar, dari semangat inilah maka sekitar tahun 1960 oleh tokoh masyarakat Manda yang ada di Makassar yaitu antara lain : H. A. Depu, Abd. Rahman Tamma, Kapten Amir, H. A. Malik, Baharuddin Lopa, SH. dan Abd. Rauf mencetuskan ide pendirian Provinsi Mandar bertempat di rumah Kapten Amir, dan setelah Sulawesi Tenggara memisahkan diri dari Provinsi Induk yang saat itu bernama Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra).

Ide pembentukan Provinsi Mandar diubah menjadi rencana pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) dan ini tercetus di rumah H. A. Depu di Jl. Sawerigading No. 2 Makassar, kemudian sekitar tahun 1961 dideklarasikan di Bioskop Istana (Plaza) Jl. Sultan Hasanuddin Makassar dan perjuangan tetap dilanjutkan sampai pada masa Orde Baru perjuangan tetap berjalan namun selalu menemui jalan buntu yang akhirnya perjuangan ini seakan dipeti-es-kan sampai pada masa Reformasi barulah perjuangan ini kembali diupayakan oleh tokoh masyarakat Mandar sebagai pelanjut perjuangan generasi lalu yang diantara pencetus awal hanya H. A. Malik yang masih hidup, namun juga telah wafat dalam perjalanan perjuangan dan pada tahun 2000 yang lalu dideklarasikan di Taman Makam Pahlawan Korban 40.000 jiwa di Galung Lombok kemudian dilanjutkan dengan Kongres I Sulawesi Barat yang pelaksanaannya diadakan di Majene dengan mendapat persetujuan dan dukungan dari Bupati dan Ketua DPRD Kab. Mamuju, Kab. Majene dan Kab. Polmas.

Tuntutan memisahkan diri dari Sulsel sebagaiman diatas sudah dimulai masyarakat di wilayah Eks Afdeling Mandar sejak sebelum Indonesia merdeka. Setelah era reformasi dan disahkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 kemudian menggelorakan kembali perjuangan masyarakat di tiga kabupaten, yakni Polewali Mamasa, Majene, dan Mamuju untuk menjadi provinsi.

Sejak tahun 2005, tiga kabupaten (Majene, Mamuju dan Polewali-Mamasa) resmi terpisah dari Propinsi Sulawesi Selatan menjadi Propinsi Sulawesi Barat, dengan ibukota Propinsi di kota Mamuju. Selanjutnya, Kabupaten Polewali-Mamasa juga dimekarkan menjadi dua kabupaten terpisah (Kabupaten Polewali dan Kabupaten Mamasa).

Untuk jangka waktu cukup lama, daerah ini sempat menjadi salah satu daerah yang paling terisolir atau ‘yang terlupakan’ di Sulawesi Selatan.

Ada beberapa faktor penyebabnya, antara lain, yang terpenting:

Jaraknya yang cukup jauh dari ibukota propinsi (Makassar);

kondisi geografisnya yang bergunung-gunung dengan prasarana jalan yang buruk;

mayoritas penduduknya (etnis Mandar, dan beberapa kelompok sub-etnik kecil lainnya) yang lebih egaliter, sehingga sering berbeda sikap dengan kelompok etnis mayoritas dan dominan (Bugis dan Makassar) yang lebih hierarkis (atau bahkan feodal) – pada awal tahun 1960an, sekelompok intelektual muda Mandar pimpinan almarhum Baharuddin Lopa (Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, 1999-2000, dan sempat menjadi ‘aikon nasional’ gerakan anti korupsi karena kejujurannya yang sangat terkenal) melayangkan ‘Risalah Demokrasi’ menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap beberapa kebijakan politik Jakarta dan Makassar; serta

Fakta sejarah daerah ini sempat menjadi pangkalan utama ‘tentara pembelot’ (Batalion 310 pimpinan Kolonel Andi Selle), pada tahun 1950-60an, yang kecewa terhadap beberapa kebijakan pemerintah dan kemudian melakukan perlawanan bersenjata terhadap Tentara Nasional Indonesia (TNI); selain sebagai daerah lintas-gunung dan hutan –untuk memperoleh pasokan senjata selundupan melalui Selat Makassar- oleh gerilyawan Darul Islam (DI) pimpinan Kahar Muzakkar yang berbasis utama di Kabupaten Luwu dan Kabupaten Enrekang di sebelah timurnya.

Pembentukan daerah kabupaten baru di wilayah sulawesi barat masih dalam proses dan dalam prosesnya masih sering diiringi oleh permasalahan-permasalahan yang merupakan efek penyatuan pendapat yang belum memiliki titik temu.

Nilai Budaya

Penduduk Sulawesi Barat berdasarkan hasil survei Sosial dan Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2006 berjumlah 992.656 jiwa yang tersebar di 5 kabupaten, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 356.391 jiwa mendiami Kabupaten Polewali Mandar.

Secara keseluruhan jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin perempuan, hal ini tercermin dari angka rasio jenis kelamin yang lebih besar dari jumlah penduduk perempuan

Angkatan kerja, Penduduk Usia Kerja (PUK) didefenisikan sebagai penduduk yang berumur 10 tahun ke atas. Penduduk usia kerja terdiri dari Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan kerja adalah penduduk yang bekerja atau yang sedang mencari pekerjaan, sedangkan bukan angkatan kerja adalah mereka yang bersekolah, mengurus rumah tangga atau melakukan kegiatan lainnya.

Penduduk usia kerja di daerah Sulawesi Barat pada tahun 2006 berjumlah 751.180 jiwa. Dari seluruh penduduk usia kerja yang masuk menjadi angkatan kerja berjumlah 444.324 jiwa atau lebih dari 50 persen dari seluruh Penduduk Usia Kerja.

Dari seluruh angkatan kerja yang berjumlah 444.324 jiwa tercatat bahwa 53.215 orang dalam status mencari pekerjaan. dari angka tersebut dapat dihitung tingkat pengangguran terbuka di Sulawesi Barat pada tahun 2006, yakni sebesar 11,98 persen. angka ini merupakan rasio antara pencari pekerjaan dan jumlah angkatan kerja.

Dilihat dari segi lapangan usaha, sebagian besar penduduk Sulawesi Barat bekerja pada sektor pertanian yang berjumlah 276.299 orang atau 70,64 persen dari jumlah penduduk yang bekerja. Sektor lainnya yang juga menyerap tenaga kerja cukup besar adalah sektor perdagangan dan jasa-jasa.

Potensi pariwisata Cukup menjanjikan akan tetapi belum dikelola dengan baik secara optimal sehingga belum dapat hasil yang lebih nyata terhadap pemasukan devisa bagi daerah meski demikian, gunakan memperkenalkan pariwisata kepada masyarakat indonesia bahkan ke dunia internasional, pemerintah SulBar menyiapkan berbagai upaya berupa promosi-promosi di media cetak maupun elektronik untuk memperkenalkan pariwisata ke dunia luar.


http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/25.jpg30.Sejarah Singkat Berdirinya Provinsi Sulawesi Tenggara
Di Indonesia, terdapat banyak provinsi misalnya provinsi yang saya tinggali saat ini, yaitu provinsi Sulawesi Tenggara yang ibukotanya berada di kota Kendari. Provinsi ini terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, secara geografis terletak di bagian selatan garis khatulistiwa di antara 02°45' - 06°15' Lintang Selatan dan 120°45' - 124°30' Bujur Timur serta mempunyai wilayah daratan seluas 38.140 km² (3.814.000 ha) dan perairan (laut) seluas 110.000 km² (11.000.000 ha).
Sulawesi Tenggara dulunya merupakan nama salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara Sulselra dengan Bau-bau sebagai ibukota kabupatennya pada saat itu, maka pada tahun 1964 yang di kenal dengan masa orde lama serta dengan kerja keras pemuda Sulawesi Tenggara maka ditetapkanlah provinsi ini sebagai Daerah Otonom berdasarkan Perpu No. 2 tahun 1964 Juncto UU No.13. dan pada saat itu Sulawesi tenggara hanya memiliki empat kabupaten yaitu : Kab. Kendari, Kab. Kolaka, Kab. Muna, Kab. Buton. Sebelum ibukotanya di kendari awalnya ibukotanya berada di Bau-bau, di karenakan kondisi bau-bau saat itu tidak begitu luas untuk pembangunan jangka pendek. Maka pada waktu itu diputuskan untuk mengganti di kendari sebagai ibukotanya. Sampai sekarang ini.  Sehingga Masa Orde Baru yaitu Tahun 1995 Dibentuk lagi satu kota yaitu Kota Kendari, pemekaran dari Kabupaten Kendari, sekarang Kabupaten Konawe (3 Agustus 1995) dan Masa Era Reformasi Tahun 1999 Dibentuk  lagi satu kota Baru yaitu : Kota Bau-Bau, pemekaran dari Kabupaten Buton (21 Juni 2001) dan Masa Berikutnya Reformasi Terbentuklah beberapa kabupaten baru :
  •     Kabupaten Bombana, Di Mekarkan Tanggal 18 Desember 2003 Di Kabupaten Buton
  •     Kabupaten Wakatobi, Di Mekarkan Tanggal 18 Desember 2003 Di Kabupaten Buton
  •     Kabupaten Kolaka Utara, Di Mekarkan Tanggal 18 Desember 2003 Di Kabupaten Kolaka
  •     Kabupaten Konawe Selatan, Di Mekarkan Tanggal 25 Februari 2003 Di Kab. Kendari
  •     Kabupaten Konawe Utara, Di Mekarkan Tanggal 2 Januari 2007 Di Kabupaten Konawe
  •     Kabupaten Buton Utara, Di Mekarkan Tanggal 2 Januari 2007 Di Kabupaten Muna
  •     Kabupaten Kolaka Timur, Di Mekarkan Tanggal 14 Desember 2012 Di Kabupaten Kolaka
  •     Kabupaten Konawe Kepulauan, Di Mekarkan Tanggal 12 April 2013 Di Kabupaten Konawe
  •     Kabupaten Buton Tengah, Di Mekarkan Tanggal Juli 2014 Di Kabupaten Buton
  •     Kabupaten Buton Selatan, Di Mekarkan Tanggal Juli 2014 Di Kabupaten Buton
  •     Kabupaten Muna Barat, Di Mekarkan Tanggal Juli 2014 Di Kabupaten Muna.
Dan Saat Ini, Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki 17 kabupaten dan 2 kota sesudah  pemekaran.

http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/30.jpg31.Sejarah maluku

Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, Kepulauan Maluku memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan tidak dapat dilepaskan dari sejarah Indonesia secara keseluruhan. Kawasan kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah ini sudah dikenal di dunia internasional sejak dahulu kala. Pada awal abad ke-7 pelaut-pelaut dari daratan Cina, khususnya pada zaman Dinasti Tang, kerap mengunjungi Maluku untuk mencari rempah-rempah. Namun mereka sengaja merahasiakannya untuk mencegah datangnya bangsa-bangsa lain kedaerah ini.

Pada abad ke-9 pedagang Arab berhasil menemukan Maluku setelah mengarungi Samudra Hindia. Para pedagang ini kemudian menguasai pasar Eropa melalui kota-kota pelabuhan seperti Konstatinopel. Abad ke-14 adalah merupakan masa perdagangan rempah-rempah Timur Tengah yang membawa agama Islam masuk ke Kepulauan Maluku melalui pelabuhan-pelabuhan Aceh, Malaka, dan Gresik, antara 1300 sampai 1400.
Pada abad ke-12 wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya meliputi Kepulauan Maluku. Pada awal abad ke-14 Kerajaan Majapahit menguasai seluruh wilayah laut Asia Tenggara. Pada waktu itu para pedagang dari Jawa memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Dimasa Dinas Ming (1368 – 1643) rempah-rempah dari Maluku diperkenalkan dalam berbagai karya seni dan sejarah. Dalam sebuah lukisan karya W.P. Groeneveldt yang berjudul Gunung Dupa, Maluku digambarkan sebagai wilayah bergunung-gunung yang hijau dan dipenuhi pohon cengkih – sebuah oase ditengah laut sebelah tenggara. Marco Polo juga menggambarkan perdagangan cengkih di Maluku dalam kunjungannya di Sumatra.
Era Portugis
Bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada waktu itu 2 armada Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d’Abreu dan Fransisco Serau, mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat – seperti dengan Kerajaan Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, begitupula Negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau Ambon.Namunhubungan dagang rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen.
Salah seorang misionaris terkenal adalah Francis Xavier. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-pulau di Kepulauan Maluku untuk melakukan penyebaran agama.
Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575), membuat Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon.
Era Belanda
Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis, dimanfaatkan Belanda untuk menjejakkan kakinya di Maluku. Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon kepada Steven van der Hagen dan di Tidore kepada Cornelisz Sebastiansz. Demikian pula benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram, dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Maluku.
Kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dengan berdirinya VOC pada tahun 1602, dan sejak saat itu Belanda menjadi penguasa tunggal di Maluku. Di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Kepala Operasional VOC, perdagangan cengkih di Maluku sepunuh di bawah kendali VOC selama hampir 350 tahun. Untuk keperluan ini VOC tidak segan-segan mengusir pesaingnya; Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bahkan puluhan ribu orang Maluku menjadi korban kebrutalan VOC.
Pada permulaan tahun 1800 Inggris mulai menyerang dan menguasai wilayah-wilayah kekuasaan Belanda seperti di Ternate dan Banda. Dan, pada tahun 1810 Inggris menguasai Maluku dengan menempatkan seorang resimen jendral bernama Bryant Martin. Namun sesuai konvensi London tahun 1814 yang memutuskan Inggris harus menyerahkan kembali seluruh jajahan Belanda kepada pemerintah Belanda, maka mulai tahun 1817 Belanda mengatur kembali kekuasaannya di Maluku.
Pahlawan
Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Thomas Matulessy yang diberi gelar Kapitan Pattimura, seorang bekas sersan mayor tentara Inggris.
Pada tanggal 15 Mei 1817 serangan dilancarkan terhadap benteng Belanda ”Duurstede” di pulau Saparua. Residen van den Berg terbunuh. Pattimura dalam perlawanan ini dibantu oleh teman-temannya ; Philip Latumahina, Anthony Ribok, dan Said Perintah.
Berita kemenangan pertama ini membangkitkan semangat perlawanan rakyat di seluruh Maluku. Paulus Tiahahu dan putrinya Christina Martha Tiahahu berjuang di Pulau Nusalaut, dan Kapitan Ulupaha di Ambon.
Tetapi Perlawanan rakyat ini akhirnya dengan penuh tipu muslihat dan kelicikan dapat ditumpas kekuasaan Belanda. Pattimura dan teman-temannya pada tanggal 16 Desember 1817 dijatuhi hukuman mati di tiang gantungan, di Fort Niew Victoria, Ambon. Sedangkan Christina Martha Tiahahu meninggal di atas kapal dalam pelayaran pembuangannya ke pulau Jawa dan jasadnya dilepaskan ke laut Banda.
Era Perang Dunia Ke Dua
Pecahnya Perang Pasifik tanggal 7 Desember 1941 sebagai bagian dari Perang Dunia II mencatat era baru dalam sejarah penjajahan di Indonesia. Gubernur Jendral Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh , melalui radio, menyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda dalam keadaan perang dengan Jepang.
Tentara Jepang tidak banyak kesulitan merebut kepulauan di Indonesia. Di Kepulauan Maluku, pasukan Jepang masuk dari utara melalui pulau Morotai dan dari timur melalui pulau Misool. Dalam waktu singkat seluruh Kepulauan Maluku dapat dikuasai Jepang. Perlu dicatat bahwa dalam Perang Dunia II, tentara Australia sempat bertempur melawan tentara Jepang di desa Tawiri. Dan, untuk memperingatinya dibangun monumen Australia di desa Tawiri (tidak jauh dari Bandara Pattimura).
Dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Maluku dinyatakan sebagai salah satu propinsi Republik Indonesia. Namun pembentukan dan kedudukan Propinsi Maluku saat itu terpaksa dilakukan di Jakarta, sebab segera setelah Jepang menyerah, Belanda (NICA) langsung memasuki Maluku dan menghidupkan kembali sistem pemerintahan colonial di Maluku. Belanda terus berusaha menguasai daerah yang kaya dengan rempah-rempahnya ini – bahkan hingga setelah keluarnya pengakuan kedaulatan pada tahun 1949 – dengan mensponsori terbentuknya “Republik Maluku Selatan” (RMS).


dimekarkan dari Provinsi Maluku melalui Undang-undang RI Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat kemudian, diubah dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negera Nomor 3895). Daerah ini pada mulanya adalah bekas wilayah empat kerajaan Islam terbesar di bagian timur Nusantara yang dikenal dengan sebutan Kesultanan Moloku Kie Raha (Kesultanan Empat Gunung di Maluku). Masing-masing adalah Kesultanan Bacan, Kesultanan Jailolo, Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate.

Pada era pendudukan tentara Jepang (1942-1945), Ternate menjadi pusat kedudukan penguasa Jepang untuk wilayah Pasifik. Memasuki era kemerdekaan, posisi dan peran Maluku Utara terus mengalami kemorosotan. Kedudukannya sebagai karesidenan sempat dinikmati Ternate antara tahun 1945-1957. Setelah itu kedudukannya dibagi dalam beberapa daerah tingkat II (kabupaten).

Upaya merintis pembentukan Provinsi Maluku Utara telah dimulai sejak 19 September 1957. Ketika itu DPRD peralihan mengeluarkan keputusan untuk membentuk Provinsi Maluku Utara untuk mendukung perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 1956, namun upaya ini terhenti setelah munculnya peristiwa pemberontakan Permesta.

Pada tahun 1963, sejumlah tokoh partai politik seperti Partindo, PSII, NU, Partai Katolik dan Parkindo melanjutkan upaya yang pernah dilakukan dengan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong (DPRD-GR) untuk memperjuangkan pembentukan Provinsi Maluku Utara. DPRD-GR merespon upaya ini dengan mengeluarkan resolusi Nomor 4/DPRD-GR/1964 yang intinya memberikan dukungan atas upaya pembentukan Provinsi Maluku Utara. Namun pergantian pemerintahan dari orde lama ke orde baru mengakibatkan upaya-upaya rintisan yang telah dilakukan tersebut tidak mendapat tindak lanjut yang kongkrit.

Pada masa kemerdekaan dan selanjutnya pada masa Orde Baru, daerah Moloku Kie Raha ini terbagi menjadi dua kabupaten dan satu kota. Kabupaten Maluku Utara beribukota di Ternate, Kabupaten Halmahera Tengah beribukota di Soa Sio, Tidore, dan Kota Administratif Ternate beribukota di Kota Ternate. Ketiga daerah kabupaten/kota ini masih termasuk wilayah Provinsi Maluku dengan ibukota Ambon.

Pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie, muncul pemikiran untuk melakukan percepatan pembangunan dibeberapa wilayah potensial dengan membentuk Provinsi-Provinsi baru. Provinsi Maluku termasuk salah satu wilayah potensial yang perlu dilakukan percepatan pembangunan melalui pemekaran wilayah Provinsi, terutama karena laju pembangunan antara wilayah utara dan selatan dan atau antara wilayah tengah dan tenggara yang tidak serasi. Atas dasar itu, Pemerintah membentuk Provinsi Maluku Utara (dengan ibukota sementara di Ternate) yang dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 46 tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Dengan demikian Provinsi ini secara resmi berdiri pada tanggal 12 Oktober 1999,,

33.Sejarah Singkat papua
http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/32.jpgPada waktu pemerintah Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal tahun 1960-an nama yang dipakai untuk menamakan Kepulauan Biak-Numfor adalah Schouten Eilanden, menurut nama orang Eropa pertama berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke 17. Nama-nama lain yang sering dijumpai dalam laporan-laporan tua untuk penduduk dan daerah kepuluan ini adalah Numfor atau Wiak. Fonem w pada kata wiak sebenarnya berasal dari fonem v yang kemudian berubah menjadi b sehingga muncullah kata biak seperti yang digunakan sekarang. Dua nama terakhir itulah kemudian digabungkan menjadi satu
nama yaitu Biak-Numfor, dengan tanda garis mendatar di antara dua kata itu sebagai tanda penghubung antara dua kata tersebut, yang dipakai secara resmi untuk menamakan daerah dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang terletak di sebelah utara Teluk Cenderawasih itu. Dalam percakapan sehari-hari orang hanya menggunakan nama Biak saja yang mengandung pengertian yang sama juga dengan yang disebutkan di atas.

Tentang asal-usul nama serta arti kata tersebut ada beberapa pendapat. Pertama ialah bahwa nama Biak yang berasal dari kata v`iak itu yang pada mulanya merupakan suatu kata yang dipakai untuk menamakan penduduk yang bertempat tinggal di daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata tersebut mengandung pengertian orang-orang yang tinggal di dalam hutan, orang-orang yang tidak pandai kelautan, seperti misalnya tidak cakap menangkap ikan di laut, tidak pandai berlayar di laut dan menyeberangi lautan yang luas dan lain-lain. Nama tersebut diberikan oleh penduduk pesisir pulau-pulau itu yang memang mempunyai kemahiran tinggi dalam hal-hal kelautan. Sungguhpun nama tersebut pada mulanya mengandung pengertian menghina golongan penduduk tertentu, nama itulah kemudian diterima dan dipakai sebagai nama resmi untuk penduduk dan daerah tersebut.

Pendapat lain, berasal dari keterangan ceritera lisan rakyat berupa mite, yang menceritakan bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang meninggalkan Pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klen Mandowen. Menurut mite itu, warga klen Burdam memutuskan berangkat meninggalkan Pulau Warmambo (nama asli Pulau Biak) untuk menetap di suatu tempat yang letaknya jauh sehingga Pulau Warmambo hilang dari pandangan mata. Demikianlah mereka berangkat, tetapi setiap kali mereka menoleh ke belakang mereka melihat Pulau Warmambo nampak di atas permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v`iak wer`, atau `v`iak`, artinya ia muncul lagi. Kata v`iak inilah yang kemudian dipakai oleh mereka yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo dan hingga sekarang nama itulah yang tetap dipakai (Kamma 1978:29-33).

Kata Biak secara resmi dipakai sebagai nama untuk menyebut daerah dan penduduknya yaitu pada saat dibentuknya lembaga Kainkain Karkara Biak pada tahun 1947 (De Bruijn 1965:87). Lembaga tersebut merupakan pengembangan dari lembaga adat kainkain karkara mnu yaitu suatu lembaga adat yang mempunyai fungsi mengatur kehidupan bersama dalam suatu komnunitas yang disebut mnu atau kampung. Penjelasan lebih luas tentang kedua lembaga itu diberikan pada pokok yang membicarakan organisasi kepemimpinan di bawah.

Nama Numfor berasal dari nama pulau dan golongan penduduk asli Pulau Numfor. Penggabungan nama Biak dan Numfor menjadi satu nama dan pemakaiannya secara resmi terjadi pada saat terbentuknya lembaga dewan daerah di Kepulauan Schouten yang diberi nama Dewan daerah Biak-Numfor pada tahun 1959.

Dalam tulisan ini saya menggunakan nama Biak-Numfor untuk menyebut daerah geografisnya dan daerah administrasi pemerintahannya. Nama Biak digunakan untuk menyebut bahasa dan orang yang memeluk kebudayaan Biak yang bertempat tinggal di daerah Kepulauan Biak-Numfor sendiri maupun yang bertempat tinggal di daerah-daerah perantauan yang terletak di luar kepulauan tersebut.

Tentang sejarah orang Biak, baik sejarah asal usul maupun sejarah kontaknya dengan dunia luar, tidak diketahui banyak karena tidak tersedia keterangan tertulis. Satu-satunya sumber lokal yang memberikan keterangan tentang asal-usul orang Biak seperti halnya juga pada suku-suku bangsa lainnya di Papua, adalah mite. Menurut mite moyang orang Biak berasal dari satu daerah yang terletak di sebelah timur, tempat matahari terbit. Moyang pertama datang ke daerah kepulauan ini dengan menggunakan perahu. Ada beberapa versi ceritera kedatangan moyang pertama itu. Salah satu versi mite itu menceriterakan bahwa moyang pertama dari orang Biak terdiri dari sepasang suami isteri yang dihanyutkan oleh air bah di atas sebuah perahu dan ketika air surut kembali terdampar di atas satu bukit yang kemudian diberi nama oleh kedua pasang suami isteri itu Sarwambo. Bukit tersebut terdapat di bagian timur laut Pulau Biak (di sebelah selatan kampung Korem sekarang). Dari bukit sarwambo, moyang pertam itu bersama anak-anaknya berpindah ke tepi Sungai Korem dan dari tempat terakhir inilah mereka berkembang biak memenuhi seluruh Kepulauan Biak-Numfor.

Selanjutnya tentang sejarah kontak orang Biak dengan dunia luar, baik menurut ceritera lisan tentang tokoh-tokoh legendaris Fakoki dan Pasrefi maupun sumber keterangan dari Tidore diketahui bahwa kontak itu telah terjadi .jauh sebelum kedatangan orang Eropa pertama di daerah Papua pada awal abad ke-16 (Kamma 1953:151). Hubungan tersebut terjadi dengan penduduk di daerah pesisir utara Kepala Burung, Kepulauan Raja Ampat dan dengan penduduk di Kepulauan Maluku.

Kontak orang Biak dengan orang luar itu terjadi terutama melalui hubungan perdagangan dan ekspedisi-ekspedisi perang. Bukti terlihat pada adanya pemukiman-pemukiman orang Biak yang sampai sekarang dapat dijumpai di berbagai tempat seperti tersebut di atas. Rupanya pada masa sebelum kedatangan orang Eropa di Kepulauan Maluku dan daerah Papua awal abad ke-16, orang Biak telah menjelajah ke berbagai wilayah Indonesia lainnya baik melalui ekspedisi-ekspedisi perdagangan dan perang yang dilakukan oleh orang-orang Biak sendiri maupun bersama dengan sekutu-sekutunya, misalnya dengan Kesultanan Tidore
atau dengan Kesultanan Ternate. Kejayaan orang Biak untuk melakukan berbagai ekspedisi itu menghilang pada akhir abad ke-15 (Kamma 1952:151). Tidak lama sebelum kedatangan orang Eropa pertama di kawasan Maluku dan Kepulauan Raja Ampat pada awal abad ke-16.

34.Sejarah papua barat
http://poponglina.com/wp-content/uploads/2012/09/33.jpgProvinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Serta mendapat dukungan dari SK DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 10 Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi tiga provinsi. Setelah dipromulgasikan pada tanggal 1 Oktober 1999 oleh Presiden B.J. Habibie, rencana pemekaran provinsimenjadi tiga ditolak warga papua di Jayapura dengan demonstrasi akbar pada tanggal 14 Oktober 1999. Sejak saat itu pemekaran provinsi ditangguhkan, sementara pemekaran kabupaten tetap dilaksanakan sesuai UU Nomor 45 Tahun 1999.
Pada tahun 2002, atas permintaan masyarakat Irian Jaya Barat yang diwakili Tim 315. Pemekaran Irian Jaya Barat kembali diaktifkan berdasarkan Inpres Nomor I Tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 27 Januari 2003. Sejak saat itu, Provinsi Irian Jaya Barat perlahan membentuk dirinya menjadi provinsi definitif. Dalam perjalanannya, Provinsi Irian Jaya Barat mendapat tekanan keras dari induknya Provinsi Papua, hingga ke Mahkamah Konstitusi melalui uji materiil. Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan UU Nomor 45 Tahun 1999 yang menjadi payung hukum Provinsi Irian Jaya Barat. Namun Provinsi Irian Jaya Barat tetap diakui keberadaannya.
Setelah itu, Provinsi Irian Jaya terus diperlengkapi sistem pemerintahannya, walaupun di sisi lain payung hukumnya telah dibatalkan. Setelah memiliki wilayah yang jelas, penduduk, aparatur pemerintahan, anggaran, anggota DPRD, akhirnya Provinsi Irian Jaya Barat menjadi penuh ketika memiliki gurbernur dan wakil gurbernur definitif Abraham O. Atururi dan Drs. Rahimin Katjong, M.Ed yang dilantik pada tanggal 24 Juli 2006. Sejak saat itu, pertentangan selama lebih dari 6 tahun sejak UU Nomor 45 Tahun 1999 dikumandangkan, dan pertentangan sengit selama 3 tahun sejak Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dikeluarkan berakhir dan Provinsi Irian Jaya Barat mulai membangun dirinya secara sah.
Dan sejak tanggal 18-04-2007 berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat, berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2007.




No comments:

Post a Comment