SEJARAH
DARI TIAP-TIAP PROVINsI DI INDONESIA
1.Sejarah
Singkat Provinsi Aceh

Menurut catatan sejarah, Aceh adalah tempat pertama masuknya agama Islam di Indonesia dan sebagai tempat timbulnya kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Peureulak dan Pasai. Kerajaan yang dibangun oleh Sultan Ali Mughayatsyah dengan ibukotanya di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh sekarang) lambat laun bertambah luas wilayahnya yang meliputi sebagaian besar pantai Barat dan Timur Sumatra hingga ke Semenanjung Malaka.
Kehadiran
daerah ini semakin bertambah kokoh dengan terbentuknya Kesultanan Aceh yang
mempersatukan seluruh kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di daerah itu.
Dengan demikian kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada permulaan abad
ke-17, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Pada
masa itu pengaruh agama dan kebudayaan Islam begitu besar dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Aceh, sehingga daerah ini mendapat julukan “Seuramoe
Mekkah” (Serambi Mekkah). Keadaan ini tidak berlangsung lama, karena
sepeninggal Sultan Iskandar Muda para penggantinya tidak mampu mempertahankan
kebesaran kerajaan tersebut. Sehingga kedudukan daerah ini sebagai salah satu
kerajaan besar di Asia Tenggara melemah. Hal ini menyebabkan wibawa kerajaan
semakin merosot dan mulai dimasuki pengaruh dari luar. Kesultanan Aceh menjadi
incaran bangsa Barat yang ditandai dengan penandatanganan Traktat London dan
Traktat Sumatera antara Inggris dan Belanda mengenai pengaturan kepentingan
mereka di Sumatera. Sikap bangsa Barat untuk menguasai wilayah Aceh menjadi
kenyataan pada tanggal 26 Maret 1873, ketika Belanda menyatakan perang kepada
Sultan Aceh.
Tantangan
yang disebut ‘Perang Sabi’ ini berlangsung selama 30 tahun dengan menelan jiwa
yang cukup besar tersebut memaksa Sultan Aceh terakhir, Twk.Muhd. Daud untuk
mengakui kedaulatan Belanda di tanah Aceh.
Dengan
pengakuan kedaulatan tersebut, daerah Aceh secara resmi dimasukkan secara
administratif ke dalam Hindia Timur Belanda (Nederlansch Oost-Indie) dalam
bentuk propinsi yang sejak tahun 1937 berubah menjadi keresidenan hingga
kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia berakhir. Pemberontakan melawan penjajahan
Belanda masih saja berlangsung sampai ke pelosok-pelosok Aceh. Kemudian
peperangan beralih melawan Jepang yang datang pada tahun 1942. Peperangan ini
berakhir dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tahun 1945.
Dalam
jaman perang kemerdekaan, sumbangan dan keikutsertaan rakyat Aceh dalam
perjuangan sangatlah besar, sehingga Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir.
Sukarno memberikan julukan sebagai “Daerah Modal” pada daerah Aceh.
Sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat, Aceh merupakan salah satu daerah atau bagian dari negara Republik Indonesia sebagai sebuah karesidenan dari Provinsi Sumatera. Bersamaan dengan pembentukan keresidenan Aceh, berdasarkan Surat Ketetapan Gubernur Sumatera Utara Nomor 1/X tanggal 3 Oktober 1945 diangkat Teuku Nyak Arief sebagai Residen.
Kedudukan daerah Aceh sebagai bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan status. Pada masa revolusi kemerdekaan, Keresidenan Aceh pada awal tahun 1947 berada di bawah daerah administratif Sumatera Utara. Sehubungan dengan adanya agresi militer Belanda terhadap Republik Indonesia, Keresidenan Aceh, Langkat dan Tanah Karo ditetapkan menjadi Daerah militer yang berkedudukan di Kutaradja (Banda Aceh sekarang) dengan Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Walaupun pada saat itu telah dibentuk Daerah Militer namun keresidenan masih tetap dipertahankan. Selanjutnya pada tanggal 5 April 1948 ditetapkan Undang undang Nomor 10 Tahun 1948 yang membagi Sumatera menjadi 3 Propinsi Otonom, yaitu : Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Propinsi Sumatera Utara meliputi keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli Selatan, dengan pimpinan Gubernur Mr. S.M. Amin.
Dalam menghadapi agresi militer kedua yang dilancarkan Belanda untuk menguasai Negara Republik Indonesia, Pemerintah bermaksud untuk memperkuat pertahanan dan keamanan dengan mengeluarkan Ketetapan Pemerintah Darurat Republik Indonesia Nomor 21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949 yang memusatkan kekuatan Sipil dan Militer kepada Gubernur Militer.
Pada akhir tahun 1949 Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Propinsi Sumatera Utara dan selanjutnya ditingkatkan statusnya menjadi Propinsi Aceh. Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sebelumnya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo diangkat menjadi Gubernur Propinsi Aceh. Beberapa waktu kemudian, berdasarkan Peraturan pemerintah pengganti Undang undang Nomor 5 Tahun 1950 propinsi Aceh kembali menjadi Keresidenan sebagaimana halnya pada awal kemerdekaan. Perubahan status ini menimbulkan gejolak politik yang menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat. Keinginan pemimpin dan rakyat Aceh ditanggapi oleh Pemerintah sehingga dikeluarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pembentukan kembali propinsi Aceh yang meliputi seluruh wilayah bekas keresidenan Aceh.
Dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, status Propinsi Aceh menjadi Daerah Swatantra Tingkat I dan pada tanggal 27 Januari 1957 A. Hasjmy dilantik sebagai Gubernur Propinsi Aceh. Namun gejolak politik di Aceh belum
seluruhnya
berakhir. Untuk menjaga stabilitas Nasional demi persatuan dan kesatuan bangsa,
melalui misi Perdana Menteri Hardi yang dikenal dengan nama MISSI HARDI tahun
1959 dilakukan pembicaraan yang berhubungan dengan gejolak politik,
pemerintahan dan pembangunan daerah Aceh. Hasil misi tersebut ditindak lanjuti
dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/MISSI/1959. Maka
sejak tanggal 26 Mei 1959 Daerah Swatantra Tingkat I atau Propinsi Aceh diberi
status “Daerah Istimewa” dengan sebutan lengkap Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang
agama, adat dan pendidikan. status ini dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 18
Tahun 1965.
Berbagai
kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintah pada masa lalu yang menitik beratkan
pada sistem yang terpusat dipandang sebagai sumber bagi munculnya ketidakadilan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kondisi yang demikian ini memunculkan
pergolakan.
Hal ini ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan pemberian Otonomi Khusus dengan disahkannya Undang-Undang no. 18 tahun 2002 dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Hal ini ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan pemberian Otonomi Khusus dengan disahkannya Undang-Undang no. 18 tahun 2002 dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kemudian berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009, ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur Nanggroe Aceh Darussalam ("NAD") menjadi sebutan/nomenklatur "Aceh". Ini dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam Pasal 251 UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai provinsi dalam sistem NKRI, akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009.
2.Sejarah
RingkasSumatera
Utara

Pada
zaman pemerintahan Belanda, Sumatera Utara merupakan suatu pemerintahan yang
bernama Gouvernement van Sumatra dengan wilayah meliputi seluruh pulau
Sumatera, dipimpin oleh seorang Gubernur yang berkedudukan di kota Medan.
Setelah
kemerdekaan, dalam sidang pertama Komite Nasional Daerah (KND), Provinsi
Sumatera kemudian dibagi menjadi tiga sub provinsi yaitu: Sumatera Utara,
Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Provinsi Sumatera Utara sendiri
merupakan penggabungan dari tiga daerah administratif yang disebut keresidenan
yaitu: Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur, dan Keresidenan Tapanuli.
Dengan
diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia (R.I.) No. 10 Tahun 1948 pada
tanggal 15 April 1948, ditetapkan bahwa Sumatera dibagi menjadi tiga provinsi
yang masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yaitu:
Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Tengah, dan Provinsi Sumatera
Selatan. Tanggal 15 April 1948 selanjutnya ditetapkan sebagai hari jadi
Provinsi Sumatera Utara.
Pada
awal tahun 1949, dilakukan kembali reorganisasi pemerintahan di Sumatera.
Dengan Keputusan Pemerintah Darurat R.I. Nomor 22/Pem/PDRI pada tanggal 17 Mei
1949, jabatan Gubernur Sumatera Utara ditiadakan. Selanjutnya dengan Ketetapan
Pemerintah Darurat R.I. pada tanggal 17 Desember 1949, dibentuk Provinsi Aceh
dan Provinsi Tapanuli/Sumatera Timur. Kemudian, dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 pada tanggal 14 Agustus 1950,
ketetapan tersebut dicabut dan dibentuk kembali Provinsi Sumatera Utara.
Dengan
Undang-Undang R.I. No. 24 Tahun 1956 yang diundangkan pada tanggal 7 Desember
1956, dibentuk Daerah Otonom Provinsi Aceh, sehingga wilayah Provinsi Sumatera
Utara sebahagian menjadi wilayah Provinsi Aceh.

Semua
orang di Indonesia mengetahui bahwa nama Sumatera Barat merupakan euphemisme
dari alam Minangkabau. Suku mayoritas di Sumatera Barat yang bangga akan adat
istiadatnya, berpikiran maju, pemeluk islam yang taat dengan sistem sosial yang
berbeda dengan daerah lain.
Provinsi
Sumatera Barat ini memiliki posisi yang unik dan penting terutama dalam
terbentuknya Kebangsaan Indonesia, karena itu tidaklah salah menyebut bahwa
Sumatera Barat adalah provinsi yang paling berpengaruh di Sumatera. Orang
minang yang mengisi 90 persen dari penduduk Sumatera Barat memberikan
kontribusi yang tidak sedikit pada pembentukan semangat kebangsaan Indonesia
dan kepemimpinan semasa kemerdekaan Indonesia, terima kasih kepada iklim
intelektualitas dan kesadaran sosial masyarakat Minang ini.
Politik
Devide et Impera yang sukses dilakukan Belanda pada daerah lain tidak pernah
berhasil dilaksanakan di Sumatera Barat atau di tanah Minangkabau ini. Belanda
pernah menawarkan otonomi khusus bagi Sumatera Barat tetapi di tolak oleh
masyarakat Minang.
Tidaklah
jelas alasan dari Pemerintah Indonesia menamakan salah satu provinsi yang
terletak di pulau Sumatera sebagai Sumatera Barat. Meskipun hanya bersifat
administratif, penamaan kebanyakan provinsi di pulau Sumatera ini agak
membingungkan.
Provinsi
Sumatera Utara yang terletak diujung utara Sumatera termasuk Medan, wilayah
Batak dan Nias tetapi tidak termasuk wilayah paling utara pulau Sumatera yaitu
Aceh. Hal yang sama terjadi dengan Sumatera Selatan tetapi tidak termasuk
wilayah paling selatan Sumatera yaitu Lampung. Tidak ada provinsi Sumatera
Timur, walau Riau dan Jambi bisa dikategorikan terletak diwilayah timur
Sumatera. Dan Sumatera Barat sebenar mulai dari agak keselatan Sumatera hingga
bagian timur Sumatera Utara.
Dua
ratus tahun yang lalu, William Marsden menggambarkan letak pulau Sumatera yang
membingungkan. Kebingungan yang mendasar adalah orientasi dari pulau Sumatera
itu sendiri. Karena posisi Sumatera membentuk sudut persis 45 derajat dengan
sumbu tegak, ahli geografi tidak pernah bisa menetapkan apakah pulau Sumatera
membentang dari Timur ke Barat atau Utara ke Selatan. Maka pantai yang
bersentuhan dengan Samudera Hindia kadang di sebut pantai selatan dan kadang
disebut pantai barat Sumatera.
Pada
tahun 1950 diadakan pembahasan ulang mengenai ketepatan letak pulau Sumatera
dan ditetapkan bahwa pulau Sumatera membentang dari Utara ke Selatan. Selain
itu juga karena pemerintah pusat tidak menginginkan adanya kesetiaan terhadap
rasa kedaerahan maka dibuatlah pembagian propinsi berdasarkan orientasi ini,
yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat dan lain-lain. Tetapi Aceh menolak bersatu
dengan Batak dalam wilayah Sumatera Utara dan membujuk pemerintah pusat untuk
memberikan provinsi khusus bagi mereka.
Perang
Waterloo membuat Inggris harus menyerahkan provinsi Jawa ke Belanda tahun 1817,
pada waktu itu Nusantara masih dibagi menjadi 4 provinsi, yaitu: Provinsi
Sumatera Barat, Malaka, Maluku dan Jawa. Dari Jawa, Raffles berangkat menuju
Sumatera dan membangun rumah di Bengkulu sekitar 200 kilometer dari Kota
Padang. Dia mulai merencanakan membangun kembali kekuasaannya.
Yang
membawa Raffles menjelajahi Sumatera Barat ini bukanlah keingintahuan, bukan
pula penemuan geografik atau emas, tetapi motif politik praktis. Raffles
melihat bahwa pengaruh kerajaan Minangkabau masih diakui diseluruh Sumatera dan
dengan dukungan dari Inggris, Raffles percaya bahwa Kerajaan Minangkabau ini
dapat kembali berkuasa dan menjadi cikal bakal serikat dagang baru dengan
Inggris serta mempersatukan Kerajaan Minangkabau dan “Negara” Melayu.
Raffles
ingin suku Minang di Sumatera Barat ini kembali memerintah Sumatera. Raffles
ingin menggunakan Kerajaan Minangkabau sebagai kekuatan yang dapat digunakan
oleh Inggris guna menahan pengaruh Belanda.
Raffles
datang dengan keinginan menyelusuri misteri dataran tinggi Sumatera Barat.
Raflles sangat terkesan dengan garis darah keturunan Minangkabau seperti yang
di ceritakan oleh Marsden. Perhatian Raffles juga tertarik pada kesamaan
Minangkabau dengan apa yang disebutnya “bangsa Malayu”. Marsden sudah memperkirakan
kaitan antara Minang dan pesisir Malaysia yaitu bahasa Minang hampir serupa
dengan Malayu, sama-sama penganut Islam yang taat dan banyak pemimpin Malayu
menelusuri garis keturunannya sebagai orang Minang.
Waktu
sangat singkat dan Belanda mungkin akan datang dalam waktu dekat. Raffles
segera berlayar ke Padang dan langsung menuju Bukit Tinggi, jantung wilayah
Minang di Sumatera Barat. Raffles melakukan perjanjian dengan penguasa Minang
saat itu. Pagaruyung menyetujui perjanjian tersebut dengan syarat bahwa
kekuasaan Minangkabau tetap ada di wilayah Sumatera.
Pada
tahun 1818, Rafless kembali lagi ke Sumatera Barat dan pulang dengan kekecewaan
karena tidak ada istana. Tuan Gadis sudah digantikan, kerajaannya sudah
berganti perkebunan. Terjadi perang antara kaum adat dan ulama yang dipimpin
oleh Imam Bonjol. Raffles menamakannya Padri (dari kata portugis misionaris
padre) atau orang putih.
Setelah
kembali ke Sumatera Barat dari menunaikan haji, Imam Bonjol dan beberapa ulama
lainnya bermaksud melenyapkan adat yang tidak sesuai dengan agama Islam seperti
adu ayam, mengunyah sirih, merokok dan minum tuak, dengan kekerasan bila
terpaksa. Program ambisius itu ditentang oleh orang Minang, karena walau
penganut Islam, mereka sangat bangga dengan adatnya. Hampir seluruh anggota
kerajaan Pagaruyung terbunuh pada tahun 1815 hingga 1818.
Setahun
kemudian Raffles mempunyai blue print politik baru dengan pulau yang dekat
Sumatera yaitu “Singapura”. Belanda akhirnya datang ke Sumatera Barat atas
undangan kaum adat untuk memerangi kaum paderi. Setelah 17 tahun, akhirnya Imam
Bonjol tertangkap dan hidup hingga usia 92 tahun di pembuangan.
Ditanah
kelahirannya, Paderi dari Islam Ortodoks ini bergabung dengan masyarakat Minang
yang anti penjajahan menjadi karakter “Orang Minang” hingga sekarang. Sejak
Marsden datang ke Sumatera Barat, Minangkabau telah dikenal sebagai Pusat resmi
agama Islam di Timur kedua setelah Mekkah dan menjadi tempat belajar agama
Islam.
4.Sejarah provinsi riau

Provinsi Riau terbentuk tahun 1957 dengan Tanjung
pinang sebagai ibukota sementara. Dikemudian hari ibukota Riau dipindah ke
Pekanbaru. Tokoh yang menduduki jabatan gubernur Riau pertama adalah S.M. Amin.
Sejarah di Riau terkait erat dengan Kerajaan
Sriwijaya. Sejumlah ahli sejarah berpendapat bahwa kerajaan ini berpusat di
Palembang karena disana ditemukan prasasti peninggalan Sriwijaya. Beberapa ahli
sejarah lain mengatakan bahwa puat Kerajaan Sriwijaya adalah di Muaratakus
(Riau). Masa kajayaan Kerajaan Sriwijaya adalah antara abad ke 11 sampai abad
ke 12. ketika itu kekuasaan Kerajaan Sriwijaya meliputi eluruh wilayah
Indonesia bagian barat dan seluruh Semenanjung Melayu.
Pasca keruntuhan Kerajaan Sriwijaya, di Riau muncul
beberapa kerajaan. Salah satu kerajaan besar adalah Kerajaan Malaka yang
didirikan oleh Prameswara pada awal abad ke 14. Kerajaan Malaka mencapai puncak
kejayaannya pada era pemerintahan Sultan Muhammad Iskandar Syah pada awal abad
ke 15. Kejayaan Malaka ini tidak lepas dari peran panglima angkatan lautnya,
yaitu, Laksamana Hang Tuah.
Kekuasaan Kerajaan Malaka berakhir tanggal 10
Agustus 1511. ketika itu, Ketika itu, Malaka ditaklukan oleh Portugis di bawah
pimpinan Alfonso d’Albuquerque. Sultan Mahmud Syah I yang berhasil
menyelamatkan diri dari gempuran Portugis kemudian membangun kerajaan baru di
Bintan. Kerajaan Melayu ini mewarisi kekuasaan Kerajaan Malaka yang meliputi
Kelantan, Perak, Trenggano, Pahang, Johor, Singapura, Bintan, Lingga,
Inderagiri, Kampar, Siak, dan Rokan.
Setelah merasa kuat, Sultan Mahmud Syah I
merencanakan untuk melancarkan serangan balasan terhadap Portugis di
Malaka. Dia kemudian melancarkan serangan berturut-turut tahun 1515, 1516,
1519, 1523, dan 1524. namun semua serangan tersebut tidak berhail menggoyahkan
pertahanan Portugis. Bahkan kemudian Portugis melancarkan serangan balasan
tahun 1526 dan berhasil menguasai Bintan.
Sultan Mahmud Syah I meninggal dunia tahun 1528 di
Pekantua. Posisinya digantikan oleh putranya, yaitu, Sultan Alauddin Riayat
Syah II. Dia melanjutkan kebijakan ayahnya dalam menyikapi penjajah. Pada masa
kekuasaannya terjadi banyak peperangan melawan Portugis. Berbagai peperangan
tersebut menelan korban jiwa yang tidak sedikit.
Selain itu, Kerajaan Melayu juga terlibat dalam
beberapa kali pertempuran melawan Kerajaan Aceh. Hubungan anrata Melayu dan
Aceh semakin memanas ketika Melayu menjalin kerjasama dengan Belanda untuk
menghancurkan Portugis di Malaka. Permusuhan antara kedua kerajaan tersebut
berlangsung sampai Aceh mulai surut sepeninggal Sultan Iskandar Muda yang
meninggal dunia tahun 1636.
Setelah itu, kekuatan Kerajaan Melayu terpusat untuk
menghancurkan Portugis di Malaka. Pada bulan Juni 1640, Kerajaan Melayu yang
bekerjasama dengan Belanda melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka.
Portugis kalah pada bulan Januari 1641.
Hubungan baik Kerajaan Melayu dengan Belanda
berlangsung sampai tahun 1784. Tanggal 30 Oktober 1784, Kerajaan Melayu
diserang Belanda dan ditaklukkan. Kerajaan Melayu kemudian mengakui kekuasaan
Belanda, mulailah era kolonialisme di Keranaan Melayu.
Sebagai mana daerah lain di Indonesia, di Riau
terjadi berbagai perlawanan bersenjata terhadap kolonialisme. Perlawanan besar
dilakukan rakyat di daerah Rokan di bawah pimpinan Tuanku Tambusai (1820-1839).
Sebelum berjuang melawan Belanda di Rokan, Tuanku Tambusai berjuang dalam
perang Padri, bersama-sama gurunya, yaitu, Tuanku Imam Bonjol. Namun tuanku
Tambusai tidak berhasil menghancurkan kekuatan Belanda. Dia kemudian menyingkir
ke Malaka dan menetap di daerah Seremban.
Selain tuanku Tambusai, masih banyak tokoh lain yang
mengobarkan perlawanan rakyat terhadap kolonoalisme Belanda. Namun semua
perlawanan tersebut dapat dipatahkan Belanda. Beberapa tokoh yang memimpin
perlawanan rakyat adalah Panglima Besar Sulung yang memimpin perlawanan rakyat
Retih tahun 1857, Datuk Tabano di Muara Mahat (1898), dan Sultan Zainal Abidin
di Rokan (1901-1904). Setelah berbagai perlawanan tersebut dapat diredam,
Belanda semakin menancapkan kekuatannya di Riau.
Awal abad ke 20 merupakan era munculnya semangat
nasionalisme. Tahun 1916 berdiri Serikat Dagang Islam di Pekanbaru, didirikan
oleh Haji Muhammad Amin. Tahun 1930 berdiri Serikat Islam di Rokan Kanan,
didirikan oleh H.M. Arif. Setelah itu muncul beberapa organisasi lain seperti Muhammadiyah.
Tahun 1942, Jepang masuk dan menguasai daerah Riau.
Di era penjajahan Jepang ini, rakyat semakin sengsara karena seluruh kegiatan
rakyat ditujukan untuk mendukung peperangan yang sedang dilancarkan Jepang di
seluruh Asia Pasifik. Hasil pertanian rakyat dirampas dan penduduk laki-laki
banyak yang dijadikan romusha.
Kabar tentang proklamasi kemerdekaan sampai ke Riau
tanggal 22 Agustus 1945, namun teks lengkapnya baru sampai ke Pekanbaru
seminggu kemudian. Meskipun sudah mengatehui dengan pasti perihal kemerdekaan,
namun rakyat Riau tidak berani langsung menyambutnya. Hal ini karena tentara
Jepang masih lengkap dengan senjatanya dan belum adanya pelopor yang meneriakan
kemerdekaan. Baru pada tanggal 15 September 1945, para pemuda yang tergabung
dalam Angkatan Muda PTT berinisiatif untuk menyuarakan kemerdekaan, sejak hari
tiu, pekik kemerdekaan terdengan diseluruh pelosok Riau.
Di awal kemerdekaan, Riau tidak langsung menjadi
provinsi, melainkan menjadi bagian dari provinsi Sumatera. Pada saat Sumatera
dibagi menjadi tiga provinsi, yaitu, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan
Sumatera Selatan, Riau menjadi bagian dari Sumatera Tengah. Baru pada tahun
1957, status Riau meningkat menjadi Provinsi.
Sejarah Singkat Kepulauan Riau
Sejarah
Kepulauan Riau sangat erat kaitannya dengan sejarah Kerajaan Melayu.
Kepulauan
Riau terdiri dari ratusan gugusan pulau yang tersebar diantara Semenanjung,
Kalimantan, Sumatera dan Bangka-Belitung. Kepulauan Riau ada ditengah Tengah
Jalur lalu lintas kebudayaan Melayu dari empat sisi. Tidak heran hingga
sekarang terdapat kesamaan budaya dan bahasa dengan beberapa daerah di sekitar
Selat Malaka Hingga Selat Kalimata.
Bergabung
Dengan Indonesia
Pada
saat meletusnya perang dunia kedua Jepang masuk menguasi Riau-Lingga melalui
Singapura. Setelah terjadi pengeboman Kota Nagasaki dan Hiroshima akhirnya
Belanda kembali lagi ke Riau-Lingga. Karena sempat merasakan kosong kekuasaan
dan betapa leganya hidup merdeka, akhirnya masyarakat Riau-Lingga bersepakat
untuk bergabung dalam barisan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Pada
masa ini banyak pejuang Melayu yang gugur saat bertempur dengan Belanda demi
marwah bangsa Melayu dan demi tegaknya Bendera Merah Putih di bumi Riau-Lingga.
Akhirnya pada Bulan Desember 1949 Riau-Lingga secara resmi masuk kedalam
pangkuan Indonesia.
(Cerita
Perang masyarakat Kepri merebut kemerdekaan melawan Belanda atas nama Indonesia
akan saya bahas di tulisan selanjutnya)
5sejarah Provinsi
kepulauan Riau
Pada awal
penggabungan dengan Indonesia, Riau-Lingga masuk dalam wilayah administratif
Sumatera Tengah, kemudian dibagi lagi menjadi Sumatera Timur, lalu kemudian
menjadi provinsi sendiri yaitu Provinsi Riau terbentuk.
Pada
awal terbentuknya Provinsi Riau, ibukotanya terletak di Tanjungpinang tetapi
akhirnya setelah melalui berbagai macam pertimbangan (terutama populasi dan
hasil bumi) akhirnya ibukota Riau dipindahkan ke Pekanbaru.
Sejak
itu status Tanjungpinang yang awalnya Ibukota Provinsi turun satu tinggat
menjadi Ibukota Kabupaten. Yaitu Kabupaten Kepulauan Riau.
6.SEJARAH BERDIRINYA PROVINSI JAMBI
Dengan berakhirnya masa kesultanan Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha
Saifuddin tanggal 27 April 1904 dan berhasilnya Belanda menguasai
wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan dan
masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie. Residen Jambi yang pertama O.L
Helfrich yang diangkat berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20
tanggal 4 Mei 1906 dan pelantikannya dilaksanakan tanggal 2 Juli 1906.
Kekuasan Belanda atas Jambi berlangsung ± 36 tahun
karena pada tanggal 9 Maret 1942 terjadi peralihan kekuasaan kepada
Pemerintahan Jepang. Dan pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah pada sekutu.
Tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkanlah Negara Republik Indonesia. Sumatera
disaat Proklamasi tersebut menjadi satu Provinsi yaitu Provinsi Sumatera dan
Medan sebagai ibukotanya dan MR. Teuku Muhammad Hasan ditunjuk memegangkan
jabatan Gubernurnya.
Pada tanggal 18 April 1946 Komite Nasional Indonesia
Sumatera bersidang di Bukittinggi memutuskan Provinsi Sumatera terdiri dari
tiga Sub Provinsi yaitu Sub Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan
Sumatera Selatan.
Sub Provinsi Sumatera Tengah mencakup keresidenan
Sumatra Barat, Riau dan Jambi. Tarik menarik Keresidenan Jambi untuk masuk ke
Sumatera Selatan atau Sumatera Tengah ternyata cukup alot dan akhirnya
ditetapkan dengan pemungutan suara pada Sidang KNI Sumatera tersebut dan
Keresidenan Jambi masuk ke Sumatera Tengah. Sub-sub Provinsi dari Provinsi
Sumatera ini kemudian dengan undang-undang nomor 10 tahun 1948 ditetapkan
sebagai Provinsi.
Dengan UU.No. 22 tahun 1948 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah keresidenan Jambi saat itu terdiri dari 2 Kabupaten dan 1
Kota Praja Jambi. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Kabupaten Merangin yang
mencakup Kewedanaan Muara Tebo, Muaro Bungo, Bangko dan Batanghari terdiri dari
kewedanaan Muara Tembesi, Jambi Luar Kota, dan Kuala Tungkal. Masa terus
berjalan, banyak pemuka masyarakat yang ingin keresidenan Jambi untuk menjadi
bagian Sumatera Selatan dan dibagian lain ingin tetap bahkan ada yang ingin
berdiri sendiri. Terlebih dari itu, Kerinci kembali dikehendaki masuk
Keresidenan Jambi, karena sejak tanggal 1 Juni 1922 Kerinci yang tadinya bagian
dari Kesultanan Jambi dimasukkan ke keresidenan Sumatera Barat tepatnya jadi
bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci (PSK)
Tuntutan keresidenan Jambi menjadi daerah Tingkat I
Provinsi diangkat dalam Pernyataan Bersama antara Himpunan Pemuda Merangin
Batanghari (HP.MERBAHARI) dengan Front Pemuda Jambi (FROPEJA) Tanggal 10 April
1954 yang diserahkan langsung Kepada Bung Hatta Wakil Presiden di Bangko, yang
ketika itu berkunjung kesana. Penduduk Jambi saat itu tercatat kurang lebih
500.000 jiwa (tidak termasuk Kerinci)
Keinginan tersebut diwujudkan kembali dalam Kongres
Pemuda se-Daerah Jambi 30 April – 3 Mei 1954 dengan mengutus tiga orang
delegasi yaitu Rd. Abdullah, AT Hanafiah dan H. Said serta seorang penasehat
delegasi yaitu Bapak Syamsu Bahrun menghadap Mendagri Prof. DR.MR Hazairin.
Berbagai kebulatan tekad setelah itu bermunculan baik
oleh gabungan parpol, Dewan Pemerintahan Marga, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Merangin, Batanghari. Puncaknya pada kongres rakyat Jambi 14-18 Juni 1955 di
gedung bioskop Murni terbentuklah wadah perjuangan Rakyat Jambi bernama Badan
Kongres Rakyat Djambi (BKRD) untuk mengupayakan dan memperjuangkan Jambi
menjadi Daerah Otonomi Tingkat I Provinsi Jambi.
Pada Kongres Pemuda se-daerah Jambi tanggal 2-5
Januari 1957 mendesak BKRD menyatakan Keresidenan Jambi secara de facto menjadi
Provinsi selambat-lambatnya tanggal 9 Januari 1957 .
Sidang Pleno BKRD tanggal 6 Januari 1957 pukul 02.00
dengan resmi menetapkan keresidenan Jambi menjadi Daerah Otonomi Tingkat I
Provinsi yang berhubungan langsung dengan pemerintah pusat dan keluar dari
Provinsi Sumatera Tengah. Dewan Banteng selaku penguasa pemerintah Provinsi
Sumatera Tengah yang telah mengambil alih pemerintahan Provinsi Sumatera Tengah
dari Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada tanggal 9 Januari 1957 menyetujui
keputusan BKRD.
Pada tanggal 8 Februari 1957 Ketua Dewan Banteng
Letkol Ahmad Husein melantik Residen Djamin gr. Datuk Bagindo sebagai acting
Gubernur dan H. Hanafi sebagai wakil Acting Gubernur Provinsi Djambi, dengan
staff 11 orang yaitu Nuhan, Rd. Hasan Amin, M. Adnan Kasim, H.A. Manap, Salim,
Syamsu Bahrun, Kms. H.A.Somad. Rd. Suhur, Manan, Imron Nungcik dan Abd Umar
yang dikukuhkan dengan SK No. 009/KD/U/L KPTS. tertanggal 8 Februari 1957 dan
sekaligus meresmikan berdirinya Provinsi Jambi di halaman rumah Residen Jambi
(kini Gubernuran Jambi).
Pada tanggal 9 Agustus 1957 Presiden RI Ir. Soekarno
akhirnya menandatangani di Denpasar Bali. UU Darurat No. 19 tahun 1957 tentang
Pembentukan Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Dengan UU No. 61 tahun
1958 tanggal 25 Juli 1958 UU Darurat No. 19 Tahun 1957 Tentang Pembentukan
Daerah Sumatera Tingkat I Sumatera Barat, Djambi dan Riau. (UU tahun 1957 No.
75) sebagai Undang-undang.
Dalam UU No. 61 tahun 1958 disebutkan pada pasal 1
hurup b, bahwa daerah Swatantra Tingkat I Jambi wilayahnya mencakup wilayah
daerah Swatantra Tingkat II Batanghari, Merangin, dan Kota Praja Jambi serta
Kecamatan-Kecamatan Kerinci Hulu, Tengah dan Hilir.
Kelanjutan UU No. 61 tahun 1958 tersebut pada tanggal
19 Desember 1958 Mendagri Sanoesi Hardjadinata mengangkat dan menetapkan Djamin
gr. Datuk Bagindo Residen Jambi sebagai Dienst Doend DD Gubernur (residen yang
ditugaskan sebagai Gubernur Provinsi Jambi dengan SK Nomor UP/5/8/4). Pejabat
Gubernur pada tanggal 30 Desember 1958 meresmikan berdirinya Provinsi Jambi
atas nama Mendagri di Gedung Nasional Jambi (sekarang gedung BKOW). Kendati
dejure Provinsi Jambi di tetapkan dengan UU Darurat 1957 dan kemudian UU No. 61
tahun 1958 tetapi dengan pertimbangan sejarah asal-usul pembentukannya oleh
masyarakat Jambi melalui BKRD maka tanggal Keputusan BKRD 6 Januari 1957
ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jambi, sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Daerah Provinsi Djambi Nomor. 1 Tahun 1970 tanggal 7 Juni 1970
tentang Hari Lahir Provinsi Djambi.
7.Sejarah
Sumatera selatan

Provinsi
Sumatera Selatan terbentuk tanggal 12 September 1950. ketika itu, provinsi
Sumatera Selatan masih mencakup Bengkulu, Lampung, dan Bangka Belitung. Ketiga
wilayah tersebut dikemudian hari menjadi provinsi sendiri.
Penduduk
pertama Sumatera Selatan diperkirakan berasal dari zaman palaeolitikum. Hal ini
dapat dibuktikan dari benda-benda zaman palaeolitikum yang ditemukan di beberapa
wilayah antara lain di desa Bengamas, di dasar sungai Saling dan sungai Kikim.
Para ahli berpandangan bahwa penduduk zaman itu adalah termasuk ras Wedda,
dimana orang Kubu dan Toale termasuk ke dalam ras tersebut.
Sejak
tahun 300 SM, bangsa Deutro-Melayu sudah mendiami daerah Sumatera Selatan.
Sejak awal masehi, penduduk Sumatera Selatan sudah menjalin hubungan dagang
dengan bangsa-bangsa lain, seperti Arab, Cina dan India. Perkembangan
masyarakat yang pesat menghasilkan terbentuknya suatu kerajaan besar, bernama
Sriwijaya. Menurut Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan pada tahun 1926,
disebutkan bahwa pada tanggal 17 Juni 683 Masehi didirikan pemukiman yang
bernama Sriwijaya yang kemudian berkembang menjadi kerajaan besar.
Sriwijaya
tumbuh dan berkembang selama abad ke tujuh sampai abad dua belas. Pada puncak
kejayaannya, Sriwijaya mempunyai 13 negara jajahan meliputi seluruh wilayah
Indonesia Bagian Barat dan seluruh semenanjung Melayu sampai ke sebelah selatan
Teluk Bandon. Ketika itu, Sriwijaya merupakan pusat perdagangan internasional
dan pusat penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. Sriwijaya juga terkenal
sebagai kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara.
Masa
kejayaan Sriwijaya mulai pudar sejak datang serangan-serangan dari Kerajaan
Siam pada tahun 1292, Kerajaan Melayu-Jambi yang telah dikuasai Kerajaan
Singasari, dan Kerajaan Singasari sendiri yang menyerang Sriwijaya dalam waktu
yang hampir bersamaan.
Setelah
runtuhnya Sriwijaya, di sekitar Sumatera Selatan muncul beberapa kerajaan
kecil. Namun, meskipun banyak bermunculan kerajaan di sekitarnya, Sumatera
Selatan sendiri bisa dikatakan vakum karena tidak ada kekuasaan yang meneruskan
Kekuasaan Sriwijaya. Keadaan vakum ini berlangsung sampai pertengahan abad ke
enam belas.
Pada
abad ke enam belas, berdiri kesultanan Palembang, di tepi sungai Musi.
Pendirinya adalah Ki Gedeng Suro, seorang pelarian politik dari Demak.
Kesultanan ini mulai berhadapan dengan Belanda pada abad ke tujuh belas. Pada
tahun 1825, Belanda berhasil menghapus kesultanan ini setelah mengalahkan
Sultan Ahmad Najamuddin. Sejak itu Palembang menjadi sebuha Keresidenan dan
berada di bawah kekuasaan Belanda.
Awaal
abad ke dua puluh merupakan momen munculnya semangat kebangsaan. Sejumlah
organisasi pergerakan kebangsaan muncul di daerah ini seperti Sarekat Islam,
PKI, PNI, Partindo, PNI Baru, PSII, PII, dan Parindra. Semangat pergerakan
kebangsaan ini sempat menurun ketika Jepang menduduki daerah ini. Namun setelah
Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, semangat ini kembali
tumbuh berupa semangat mempertahankan kemerdekaan.
Pada
awal kemerdekaan, Sumatera Selatan belum merupakan provinsi. Daerah ini adalah
bagian dari provinsi Sumatera dan berbentuk keresidenan. A.K. Gani ditetapkan
oleh Presiden Soekarno sebagai residen dan bertanggungjawab kepada gubernur
Sumatera Teuku Muhammad Hasan.
Pada
tanggal 1 Januari 1947, terjadi pertempuran mempertahankan kemerdekaan selama
lima hari lima malam. Pertempuran ini merupakan pertempuran terbesar dalam sejarah
mempertahankan kemerdekaan RI di Sumatera Selatan. Belanda gagal melumpuhkan
seluruh kekuatan pejuang di Sumatera Selatan.
Pada
tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan penyerbuan besar-besaran ke seluruh
pertahanan pejuang di seluruh Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan.
Penyerbuan ini dinamakan Aksi Militer I. Akibat aksi militer Belanda ini, pusat
keresidenan terpaksa dipindah dari Palembang ke Lahat. Belanda kemudian
melancarkan aksi militer II yang menghasilkan pendudukan atas Ibukota RI, Yogyakarta.
Selain itu, Belanda juga berhasil menduduki daerah-daerah lain, termasuk
Sumatera Selatan. Selama menduduki daerah ini, Belanda membentuk Negara
Sumatera Selatan dengan Abdul Malik sebagai wali negaranya.
Eksistensi
negara Sumatera Selatan ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1950, negara
Kesatuan Republik Indonesia kembali terbentuk. Sumatera Selatan menjadi salah
satu provinsi dari NKRI yang baru terbentuk tersebut. Provinsi lainnya adalah
Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Pada periode tahun 1950-an
ini, kondisi Sumatera Selatan dikacaukan dengan munculnya gerakan separatis,
seperti pemberontakan PRRI dan peristiwa Mayor Juahartono. Namun semua
pemberontakan tersebut dapat di atasi.
8.SEJARAH
BERDIRINYA KOTA BENGKULU
Wilayah
yang kini disebut Provinsi Bengkulu pada awalnya adalah
wilayah dari beberapa kerajaan kecil. Beberapa kerajaan yang pernah berdiri
diwilayah ini antara lain Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Selebar, Kerajaan Pat
Petulai, Kerajaan Balai Buntar, Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Sekiris,
Kerajaan Gedung Agung dan Kerajaan Marau Riang yang pada hakekatnya merupakan
negara-negara suku.Tahun 1685-1824 wilayah Bengkulu termasuk dalam salah satu wilayah yang berada dalam pendudukan penjajah Inggris. Pada tahun 1685 Ralp Ord dan William Cowley memimpin ekspedisi untuk membuka kembali perusahaan pembelian lada dari Banten, yang dialihkan ke Bengkulu. Traktat itu mengizinkan Inggris untuk mendirikan benteng dan berbagai gedung. Benteng York didirikan tahun 1685 di sekitar muara Sungan Serut.
Pada
tahun 1713 didirikan lagi sebuah benteng yang lebih besar, tebal, dan kuat yang
selanjutnya dinamai Fort Malborough. Pembangunan Benteng ini rampung pada tahun
1719. Benteng Malborough tersebut dilengkapi dengan 71 buah meriam, untuk
membuatnya benar-benar menjadi sebuah benteng yang kuat sebagai basis
pertahanan. Tetapi sepanjang penjajahan, rakyat Bengkulu senantiasa mengadakan
perlawanan.
Pada masa penjajahan Belanda (1824-1942) dilaksanakan cultur stelsel tanaman kopi, kerja rodi, pungutan pajak, eksploitasi tambang emas di rejang lebong, dan diadakan perbedaan klas antara pribumi, eropa dan cina. Bengkulu juga pernah dijadikan pemerintah Penjajahan Belanda sebagai tempat pengasinga Ir. Soekarno pada masa perang perjuangan merebut kemerdekaan.
Setelah proklamasi kemerdekaan 1945 seluruh wilayah kerajaan yang ada di daerah ini diubah statusnya menjadi Karesidenan dalam lingkup administratif Provinsi Sumatera Selatan, sebelum akhirnya berubah dijadikan provinsi sendiri pada tanggal 18 November 1968. Propinsi / Daerah Tingkat I Bengkulu menjadi propinsi ke-26 dari 27 Provinsi se-Indonesia saat itu.
Di Provinsi Bengkulu terdapat banyak objek wisata alam seperti Pantai Panjang, Taman Nasional Kerinci Sebelat, Hutan Lindung Liku-Sembilan yang merupakan habitat Bunga ’RafflesiaArnoldi’, Gunung Berapi ’Bukit Kaba’, Kawasan Perkebunan Teh ’Kabawetan’, Kawasan Air Terjun Sembilan Tingkat, Kawasan Carag Alam ’Danau Dendam Tak Sudah sebagai habitat plasma nuftah ’Anggrek Vanda’ dan sebagainya.
Provinsi Bengkulu juga memiliki berbagai aset wisata sejarah seperti Situs Fort York, situs Fort Malborough, Rumah kediaman Gebernur Raffles, Kawasan Kampung Cina, rumah kediaman Bung Karno pada saat pengasingan yang saat ini telah mengalami pengembangan menjadi Kawasan Persada Bung Karno, Monumen Thomas Parr, Tugu Hamilton, Komplek Makam Inggris, Situs makam pejuang Sentot Alibasyah, Situs Mesjid Jamik dan sebagainya.
Pada masa penjajahan Belanda (1824-1942) dilaksanakan cultur stelsel tanaman kopi, kerja rodi, pungutan pajak, eksploitasi tambang emas di rejang lebong, dan diadakan perbedaan klas antara pribumi, eropa dan cina. Bengkulu juga pernah dijadikan pemerintah Penjajahan Belanda sebagai tempat pengasinga Ir. Soekarno pada masa perang perjuangan merebut kemerdekaan.
Setelah proklamasi kemerdekaan 1945 seluruh wilayah kerajaan yang ada di daerah ini diubah statusnya menjadi Karesidenan dalam lingkup administratif Provinsi Sumatera Selatan, sebelum akhirnya berubah dijadikan provinsi sendiri pada tanggal 18 November 1968. Propinsi / Daerah Tingkat I Bengkulu menjadi propinsi ke-26 dari 27 Provinsi se-Indonesia saat itu.
Di Provinsi Bengkulu terdapat banyak objek wisata alam seperti Pantai Panjang, Taman Nasional Kerinci Sebelat, Hutan Lindung Liku-Sembilan yang merupakan habitat Bunga ’RafflesiaArnoldi’, Gunung Berapi ’Bukit Kaba’, Kawasan Perkebunan Teh ’Kabawetan’, Kawasan Air Terjun Sembilan Tingkat, Kawasan Carag Alam ’Danau Dendam Tak Sudah sebagai habitat plasma nuftah ’Anggrek Vanda’ dan sebagainya.
Provinsi Bengkulu juga memiliki berbagai aset wisata sejarah seperti Situs Fort York, situs Fort Malborough, Rumah kediaman Gebernur Raffles, Kawasan Kampung Cina, rumah kediaman Bung Karno pada saat pengasingan yang saat ini telah mengalami pengembangan menjadi Kawasan Persada Bung Karno, Monumen Thomas Parr, Tugu Hamilton, Komplek Makam Inggris, Situs makam pejuang Sentot Alibasyah, Situs Mesjid Jamik dan sebagainya.
9.Sejarah Singkat Provinsi Lampung

Sejarah Lampung dimulai sejak zaman
Hindu Animis yang berlangsung sampai awal abad XVI. Sistem Kebudayaan yang
berasal dan luar termasuk Hindu dan Budha, turut mewarnai tetapi yang dominan
adalah tradisi asli dan zaman Malaya Polynesia. Daerah Lampung telah lama
dikenal orang luar pada permulaan tahun masehi sebagai tempat orang-orang
lautan mencari hasil hutan, terbukti dengan ditemukannya sebagai bahan keramik
dan zaman Han (1368-1643). Menurut berita dari China (china chronicle) abad
ke-VII, dikatakan bahwa di daerah selatan (Namphang) terdapat kerajaan yang disebut
Tolang p’ohwang (To=Orang, Lang P’ohwang=Lampung).
Penemuan peninggalan-penemuan sejarah atau budaya dalam bentuk patung-patung, pahatan bercorak megalitik terdapat di sekitar Purawiwitan, Sumberjaya, Kenali, Batu Bedil, dan Kecamatan Jabung. Pada daerah-daerah tertentu terdapat peningglan yang menunjukkan bahwa Lampung berada di bawah kerajaan maritim terbesar kala itu, kerajaan Sriwijaya. Prasati palas pasemeh dan prasasti batu bedil di daerah Tanggamus merupakan peninggalan kerajaan Sriwijaya pada sekitar abad VIII. Kerajaan-kerajaan Tulang Bawang diperkirakan di sekitar Menggala/Sungai Tulang Bawang sampai Pagar Dewa.
Zaman Islam ditandai dengan masuknya pengaruh Banten di Lampung pada abad XVI. Terutama saat bertahtanya Sultan Hasanuddin (1522-1570). Pada masa ini (abad ke-XVII), Lampung melahirkan pahlawan yang terkenal gigih menentang penjajah Belanda, bernama Raden Intan. Pengaruh Islam terlihat diantaranya dari adanya Tambra Prasasti (Buk Dalung) di daerah bojong Kecamatan Jabung sekarang, berisi perjanjian kerjasama antara Banten dan Lampung dalam menghadapi penjajah Belanda, hal ini masih terbukti sampai saat ini di Lampung masih banyak orang Banten di Banten pun ada salah satu Kampung yang penduduknya orang Lampung yaitu di Cikoneng.
Pendapat lain menyatakan bahwa masuknya agama Islam yang pertama kali adalah dan Sumatera Barat pada abad XIV-XV. Sebelum Islam masuk penduduk menganut agama Hindu, Budha dan pemujaan ruh nenek moyang dan Sinkretisme. Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkannya Peratunan Pemenintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 14 tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Lampung. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan Keresidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan.
10.Sejarah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
terdiri dari dua pulau besar yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung serta
pulau-pulau kecil. Sebelum Kapitulasi Tutang Pulau Bangka dan Pulau Belitung
merupakan daerah taklukan dari Kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram.
Setelah itu, Bangka Belitung menjadi daerah jajahan Inggris dan kemudian
dilaksanakan serah terima kepada pemerintah Belanda yang diadakan di Muntok
pada tanggal 10 Desember 1816. Pada masa penjajahan Belanda, terjadilah
perlawanan yang tiada henti-hentinya yang dilakukan oleh Depati Barin kemudian
dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Depati Amir dan berakhir dengan
pengasingan ke Kupang, Nusa Tenggara Timur oleh Pemerintahan Belanda. Selama
masa penjajahan tersebut banyak sekali kekayaan yang berada di pulau ini
diambil oleh penjajah.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan
sebagai provinsi ke-31 oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang No. 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung yang sebelumnya merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan.
Ibukota provinsi ini adalah Pangkalpinang.
11.SEJARAH
SINGKAT JAKARTA
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta,
Jakarta Raya) adalah ibu kota negara Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya
kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di
bagian barat laut Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa
(sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia/Batauia, atau Jaccatra
(1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).
Jakarta
memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk
berjumlah 9.607.787 jiwa (2010). Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang
berpenduduk sekitar 28 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di Indonesia
atau urutan keenam dunia.
Nama
Jakarta digunakan sejak masa penjajahan Jepang tahun 1942, untuk menyebut
wilayah bekas Gemeente Batavia yang diresmikan pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1905. Nama ini dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta, yang
diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah
(Faletehan) setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal
22 Juni 1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai "kota
kemenangan" atau "kota kejayaan", namun sejatinya artinya ialah
"kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha".
Bentuk lain ejaan nama kota ini telah sejak lama digunakan. Sejarawan Portugis João de Barros dalam Décadas da Ásia (1553) menyebutkan keberadaan "Xacatara dengan nama lain Caravam (Karawang)". Sebuah dokumen (piagam) dari Banten yang dibaca ahli epigrafi Van der Tuuk juga telah menyebut istilah wong Jaketra, demikian pula nama Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat Sultan Banten dan Sajarah Banten sebagaimana diteliti Hoessein Djajadiningrat. Laporan Cornelis de Houtman tahun 1596 menyebut Pangeran Wijayakrama sebagai koning van Jacatra (raja Jakarta).
Bentuk lain ejaan nama kota ini telah sejak lama digunakan. Sejarawan Portugis João de Barros dalam Décadas da Ásia (1553) menyebutkan keberadaan "Xacatara dengan nama lain Caravam (Karawang)". Sebuah dokumen (piagam) dari Banten yang dibaca ahli epigrafi Van der Tuuk juga telah menyebut istilah wong Jaketra, demikian pula nama Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat Sultan Banten dan Sajarah Banten sebagaimana diteliti Hoessein Djajadiningrat. Laporan Cornelis de Houtman tahun 1596 menyebut Pangeran Wijayakrama sebagai koning van Jacatra (raja Jakarta).
Sunda Kelapa (397–1527)
Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kalapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan.
Jayakarta (1527–1619)
Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda.
Batavia (1619–1942)
Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jayakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia.
Jakarta (1942–Sekarang)
Penjajahan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.
12.Sejarah
provinsi jawa barat
Temuan arkeologi di
Anyer menunjukkan adanya budaya logam perunggu dan besi sejak sebelum milenium
pertama. Gerabah tanah liat prasejarah zaman Buni (Bekasi kuno) dapat ditemukan
merentang dari Anyer sampai Cirebon.Jawa Barat pada abad ke-5 merupakan
bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti peninggalan
Kerajaan Tarumanagara banyak tersebar di Jawa Barat. Ada tujuh
prasasti yang ditulis dalam aksara Wengi (yang digunkan dalam masa Palawa
India) dan bahasa Sansakerta yang sebagian besar menceritakan para raja
Tarumanagara.
Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara,
kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon
sampai Kali Serayu dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Salah satu
prasasti dari zaman Kerajaan Sunda adalah prasasti Kebon Kopi II yang berasal
dari tahun 932. Kerajaan sunda beribukota di Pakuan Pajajaran (sekarang
kota Bogor).
Pada abad ke-16, Kesultanan Demak tumbuh menjadi
saingan ekonomi dan politik Kerajaan Sunda. Pelabuhan Cerbon (kelak
menjadi Kota Cirebon) lepas dari Kerajaan Sunda karena pengaruh Kesultanan
Demak. Pelabuhan ini kemudian tumbuh menjadi Kesultanan Cirebon yang
memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Pelabuhan Banten juga lepas ke tangan
Kesultanan Cirebon dan kemudian tumbuh menjadi Kesultanan Banten.
Untuk menghadapi ancaman ini, Sri Baduga
Maharaja, raja Sunda saat itu, meminta putranya, Surawisesa untuk
membuat perjanjian pertahanan keamanan dengan
orang Portugis di Malaka untuk mencegah jatuhnya pelabuhan
utama, yaitu Sunda Kalapa, kepada Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak.
Pada saat Surawisesa menjadi raja Sunda, dengan gelar Prabu
Surawisesa Jayaperkosa, dibuatlah perjanjian pertahanan keamanan
Sunda-Portugis, yang ditandai dengan Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal,
ditandatangani dalam tahun 1512. Sebagai imbalannya, Portugis diberi akses
untuk membangun benteng dan gudang di Sunda Kalapa serta akses untuk
perdagangan di sana. Untuk merealisasikan perjanjian pertahanan keamanan
tersebut, pada tahun 1522 didirikan suatu monumen batu yang
disebut padrão di tepi Ci Liwung.
Meskipun perjanjian pertahanan keamanan dengan
Portugis telah dibuat, pelaksanaannya tidak dapat terwujud karena pada tahun
1527 pasukan aliansi Cirebon - Demak, dibawah pimpinan Fatahilah atau
Paletehan, menyerang dan menaklukkan pelabuhan Sunda Kalapa. Perang antara
Kerajaan Sunda dan aliansi Cirebon - Demak berlangsung lima tahun sampai
akhirnya pada tahun 1531 dibuat suatu perjanjian damai antara Prabu Surawisesa
dengan Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon.
Dari tahun 1567 sampai 1579, dibawah pimpinan Raja
Mulya, alias Prabu Surya Kencana, Kerajaan Sunda mengalami kemunduran besar
dibawah tekanan Kesultanan Banten. Setelah tahun 1576, kerajaan Sunda tidak
dapat mempertahankan Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda, dan akhirnya
jatuh ke tangan Kesultanan Banten. Zaman pemerintahan Kesultanan Banten,
wilayah Priangan (Jawa Barat bagian tenggara) jatuh ke tangan Kesultanan
Mataram.
Jawa Barat sebagai pengertian administratif mulai
digunakan pada tahun 1925 ketika Pemerintah Hindia
Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat. Pembentukan provinsi itu sebagai
pelaksanaanBestuurshervormingwet tahun 1922, yang membagi Hindia
Belanda atas kesatuan-kesatuan daerah provinsi. Sebelum tahun 1925, digunakan
istilah Soendalanden (Tatar Soenda) atau Pasoendan, sebagai istilah
geografi untuk menyebut bagian Pulau Jawa di sebelah barat Sungai
Cilosari dan Citanduy yang sebagian besar dihuni oleh penduduk yang menggunakan
bahasa Sunda sebagai bahasa ibu.
Pada 17 Agustus 1945, Jawa Barat bergabung menjadi
bagian dari Republik Indonesia.
Pada tanggal 27 Desember 1949 Jawa Barat menjadi
Negara Pasundan yang merupakan salah satu negara bagian dari Republik
Indonesia Serikat sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi
Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan
Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga
oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI)
sebagai perwakilan PBB.
13.SEJARAH
SINGKAT TERBENTUKNYA PROVINSI BANTEN
SEJARAH SINGKAT
TERBENTUKNYA PROVINSI BANTEN-Daerah Provinsi Banten adalah pecahan dari
Provinsi Jawa Barat, yang terbentuk pada tanggal 04 Oktober 2000 hasil dari
Deklarasi Rakyat Banten pada tanggal 18 Juli 1999 berdasarkan UU Nomor 23 tahun
2000. Pada tanggal 18 November 2000 dilakukan peresmian Provinsi Banten dan di
Kepali olah Gubernur pertama H. Hakamudin Djamal untuk menjalankan roda
pemerintahan sampai terpilihnya Gubernur definitif.
Adapun periode Gubernur Banten sejak beridrinya sampai
sekarang adalah :
1. H. Hamakamudin Djamal Pejabat pertama periode 2000-2002
2. Djoko Munanadar dan Ratu Atut Chosiyah Periode 2002-2005
3. Ratu Atut Chosiyah Plt Gubernur Banten Periode 2005-2007
4. Ratu Atut Chosiyah dan Masduki periode 2007-2012
5. Ratu Atut Chosiyah dan Rano Karno Periode 2012-2017
KEADAAN PENDUDUK PROVINSI BANTEN
Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 Badan Pusat Statistik(BPS) Jumlah penduduk sebanyak 10.632.166 Jiwa.dengan prosentase 67,01% penduduka Perkotaan dan 32,99% penduduk pedesaan .laju pertumbuhan penduduk 2,78% /tahun dengan kepadatan 1.100 jiw/KM2.
14.SEJARAH
PERKEMBANGAN PROPINSI JAWA TENGAH
Sebagai suatu
Propinsi, Jawa Tengah sudah dikenal sejak jaman penjajahan Belanda didasarkan
pada peraturan-peraturan yang berlaku pada saat itu.
A. Jaman Penjajahan
Belanda
Berdasarkan Wet
houdende decentralisatie van het Bestuur in Nederland -Indie (Decentralisatie
Wet 1903), maka pemerintahai di Jawa dan Madura terbagi atas Gewest
(Karesidenan), Afdeeling/Regentschap (Kabupaten), District / Standgeemente
(Kotapraja), dan Oderdistrict(Kecamatan).
B. Jaman Pendudukan
Jepang
Pada masa
pendudukannya, Jepang mengadakan perubahan Tata Pemerintahan Daerah yaltu Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 1942 (Tahun Jepang 2062) yang menetapkan bahwa seluruh Jawa
kecuali Vorstenkendeh (Kerajaan-kerajaan) terbagi dalam wilayah Syuu
(Karesidenan), Si (Kotapraja), Ken (Kabupaten), Gun (Distrik), Son
ConderDistrikdan Ku(Kelurahan)
C. Setelah Kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Berdasarkan Pasal 18
UUD 1945, diterbitkan UU No. 10 Tahun 1950 yang menetapkan Pembentukan Propinsi
Jawa Tengah. Sesual dengan PP No. 31 Tahun 1950, UU No.10 Tahun 1950, dinyatakan
berlaku pada tanggal 15 Agustus 1950.
Selanjutnya
berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tenciab Nomor 7 Tahun 2004
ditetapkan Hari Jadi Propinsi Jawa Tengah tanggal l5 Agustus 1950.
15.Sejarah Singkat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Menurut Babad Gianti,
Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa) adalah nama yang
diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai pengganti nama
pesanggrahan Gartitawati. Yogyakarta berarti Yogya yang kerta, Yogya
yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti Yogya
yang makmur dan yang paling utama.Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta
diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhyadalam epos Ramayana.
Dalam penggunaannya sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau
Ngayogyakarta (bahasa Jawa).Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di jaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di jaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I.
Baik Kasultanan maupun Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda
sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan
di dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan tercantum
dalam Staatsblad 1941 No. 47 dan kontrak politik Pakualaman
dalam Staatsblaad 1941 No. 577.
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Pegangan hukumnya adalah :
|
1.
|
Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII
tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden Republik Indonesia.
|
|
2.
|
Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII
tertanggal 5 September 1945 ( yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah).
|
|
3.
|
Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30
Oktober 1945 ( yang dibuat bersama dalam satu naskah ).
|
Dari 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia, justru dimasa perjuangan bahkan mengalami saat-saat yang sangat mendebarkan, hampir-hampir saja Negara Republik Indonesia tamat riwayatnya. Oleh karena itu pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia yang berkumpul dan berjuang di Yogyakarta mempunyai kenangan tersendiri tentang wilayah ini. Apalagi pemuda-pemudanya yang setelah perang selesai, melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada, sebuah Universitas Negeri yang pertama didirikan oleh Presiden Republik Indonesia, sekaligus menjadi monumen hidup untuk memperingati perjuangan Yogyakarta.
16.SEJARAH SINGKAT PROVINSI JAWA TIMUR
Dalam
perjalanan sejarah bangsa, proses pembentukan struktur pemerintahan danwilayah
Jawa Timur ternyata memiliki perjalanan sangat panjang. Dari
sumber-sumberepigrafis dalam bentuk batu bertulis (Prasasti Dinoyo) diketahui
bahwa sejak abad VIII,tepatntya tahun 760 di Jawa Timur telah muncul suatu
satuan pemerintahan, Kerajaan Kanjuruhan di Malang, dengan status yang sampai
kini masih diperdebatkan.
Pada abad X, Jawa Timur
menapaki fase baru. Jawa Timur yang semula merupakanwilayah pinggiran dari
Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah, kemudian mendapatklanmomentum sebagai
pusat kekuasaan berbagai kerajaan,
seperti Medang (937-1017), Daha-Janggala (1080-1222), Singasari (1222-1292)dan Majapahit
(1293-1527). Dalam halini , Pu Sendok (927-947) adalah tokoh paling berjasa
yang berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan di Jawa Timur. Struktur
pemerintahannya secara hierarkhis terdiri dariPemerintah Pusat (Kraton), Watek
(Daerah) dan Wanua (Desa). Struktur ini terus bertahansampai abad XIII zaman
Singasari.
Pada abad XIII terjadi perkembangan baru dalam struktur ketatanegaraan diIndonesia di Jawa Timur, ditandai dengan munculnya sebuah struktur baru dalampemerintahan, yaitu Nagara (Provinsi). Berdasarkan Prasasti Mulamalurung (1255) darimasa Wisnu Wardhana yang juga bergelar Sminingrat menyatakan bahwa strukturpemerintahan Singasari dari Pusat (Kraton), Nagara (Provinsi), Watek (Kabupaten) danWanua (Desa).
Pada masa Kerajaan Majapahit, susunan itu mendapatkan berbagai penyempurnaan, terdiri dari Bhumi (Pusat/Kraton), Negara (Provinsi/Bhatara), Watek/Wisaya (Kabupaten/Tumenggung), Lurah/Kuwu (Kademangan), Thani/Wanua (Desa/Petinggi) dan paling bawah Kabuyutan (Dusun/Rama). Anehnya struktur kenegaraan Majapahit (1294-1527) justru berkembang secara ketat pada masa Mataram (1582 -1755). Wilayah Mataram dibagi secara konsentris terdiri dari Kuthagara/Nagara (Pusat/Kraton), Negaragung/Negaraagung (Provinsi Dalam), Mancanegara (Provinsi luar ), Kabupaten dan Desa. Secara etimologis, sebutan Jawa Timur pada zaman Mataram Islam muncul derngan nama Bang Wetan, derngan wilayah meliputi seluruh Pesisir Wetan dan Mancanagara Wetan (pedalaman Jawa Timur).
Pada masa Kerajaan Majapahit, susunan itu mendapatkan berbagai penyempurnaan, terdiri dari Bhumi (Pusat/Kraton), Negara (Provinsi/Bhatara), Watek/Wisaya (Kabupaten/Tumenggung), Lurah/Kuwu (Kademangan), Thani/Wanua (Desa/Petinggi) dan paling bawah Kabuyutan (Dusun/Rama). Anehnya struktur kenegaraan Majapahit (1294-1527) justru berkembang secara ketat pada masa Mataram (1582 -1755). Wilayah Mataram dibagi secara konsentris terdiri dari Kuthagara/Nagara (Pusat/Kraton), Negaragung/Negaraagung (Provinsi Dalam), Mancanegara (Provinsi luar ), Kabupaten dan Desa. Secara etimologis, sebutan Jawa Timur pada zaman Mataram Islam muncul derngan nama Bang Wetan, derngan wilayah meliputi seluruh Pesisir Wetan dan Mancanagara Wetan (pedalaman Jawa Timur).
Selanjutnya
setelah huru-hara Cina di Kartasura (1743), seluruh wilayah pesisir utara
Jawa dan seluruh Pulau Madura jatuh ke tangan Kompeni, sedang
daerah Mataram tinggal wilayah pedalaman Jawa (Mancanagara Wetan
-Mancanagara Kulon). Dengan berakhirnya Perang Dipanegara (1830), seluruh
Jawa Timur (BangWetan) dapat dikuasai Pemerintah Hindia Belanda. Dari
tahun 1830-1928 /1929, Belanda menjalankan pemerintahan dengan hubungan
langsung Pemerintah Pusat VOC di Batavia derngan para Bupati yang berada
di wilayah kekuasaanya. Pemerintah Hindia Belanda yang sejak awal abad XX
menerapkan politik imperialisme modern melakukan intensifikasi
pemerintahan dengan membentuk Pemerintahan Provinsi Jawa Timur
(Provincient van Oost Java ) pada tahun 1929, dengan struktur pemerintahan,
wilayah dan birokrasi tidak jauh berbeda seperti yang ada sekarang.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) seperti daerah lain, Jawa Timur
diletakkan dibawah pendudukan militer Jepang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintah Republik
Indonesia mulai menata kehidupan kenegaraan. Berdasarkan Pasal 18
Undang-undang Dasar 1945 pada tanggal 19 Agustus 1945 olehPPKI dibentuklah
Provinsi dan penentuan para Gubernurnya. Untuk Pertama kalinya, R.M.T. Soeryo
yang kala itu menjabat Residen Bojonegoro ditunjuk sebagai Gubernur Jawa
Timur yang pertama. R.M.T Soeryo yang dilantik tanggal 5 September 1945,
sampai tanggal 11 Oktober 1945 harus menyelesaikan tugas-tugasnya di
Bojonegoro, dan baru pada 12 Oktober 1945 boyong ke Surabaya, Ibukota
Provinsi Jawa Timur yang menandai mulai berputarnya
mekanisme Pemerintahan Provinsi Jawa Timur. Atas
dasar pertimbangan perjalanan sejarah inilah, maka diterbitkan
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2007 tentang Hari
Jadi Provinsi Jawa Timur yang menetapkan tanggal 12 Oktober sebagai Hari Jadi Provinsi Jawa Timur yang
menetapkan tanggal 12 Oktober sebagai Hari Jadi Jawa Timur dan akan
diperingati secara resmi setiap tahun, baik ditingkat Provinsi
maupun Kabupaten/Kota di seluruh Jawa Timur.
17.Sejarah provinsi Bali
Bali telah
dihuni oleh bangsa Austronesia sekitar tahun 2000 sebelum Masehi yang
bermigrasi dan berasal dari Taiwan melalui Maritime Asia Tenggara. Budaya dan
bahasa dari orang Bali demikian erat kaitannya dengan orang-orang dari
kepulauan Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Oseania. Alat-alat batu yang
berasal dari saat itu telah ditemukan di dekat desa Cekik di sebelah barat pulau Bali.
Pada
masa Bali kuno, terdapat sembilan sekte Hindu yaitu Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta,Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Setiap
sekte menghormati dewa tertentu sebagai Ketuhanan pribadinya. Budaya Bali
sangat dipengaruhi oleh budaya India, Cina, dan khususnya Hindu, mulai sekitar
abad 1 Masehi. Nama Bali Dwipa ("pulau Bali") telah ditemukan dari
berbagai prasasti, termasuk pilar prasasti Blanjong yang
ditulis oleh Sri Kesari Warmadewa pada
tahun 914 Masehi yang menyebutkan "Walidwipa". Pada masa itu sistem
irigasi Subak yang kompleks sudah dikembangkan untuk menanam
padi. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya masih ada sampai saat ini dan dapat
ditelusuri kembali pada masa itu. Kerajaan Hindu Majapahit (1293-1520 Masehi) di Jawa Timur
mendirikan sebuah koloni di Bali pada tahun 1343. Ketika masa kejayaan sudah
menurun, ada eksodus besar-besaran dari intelektual, seniman, pendeta, dan
musisi dari Jawa ke Bali pada abad ke-15.
Kontak
dari bangsa Eropa pertama kali dengan Bali diperkirakan telah terjadi pada
tahun 1585 ketika sebuah kapal Portugis kandas di lepas Semenanjung Bukit dan meninggalkan beberapa orang
Portugis dalam pelayanan Dewa Agung. Pada tahun 1597 penjelajah Belanda yang
bernama Cornelis de Houtmantiba di Bali dan dengan pembentukan
Perusahaan India Timur Belanda pada tahun 1602, sebuah tempat didirikan untuk
mengontrol kolonial dan dua setengah abad kemudian ketika pengontrolan dari
pihak Belanda diperluas di seluruh Indonesia, kontrol politik dan ekonomi
Belanda atas Bali dimulai pada tahun 1840-an di pantai utara pulau Bali, ketika
itu Belanda mengadu domba antara kerajaan-kerajaan di Bali agar tidak percaya
terhadap satu sama lain dan pada akhir 1890-an, perjuangan antara kerajaan Bali
di selatan pulau Bali itu dimanfaatkan oleh Belanda untuk meningkatkan kendali
mereka.
Belanda
melakukan serangan angkatan laut dan darat besar-besaran di wilayah Sanur pada tahun 1906 dan bertemu dengan
ribuan anggota keluarga kerajaan dan para pengikut mereka yang berjuang melawan
pasukan Belanda dengan serangan defensif bunuh diri (puputan) yang dilakukan
oleh anggota keluarga kerajaan dan ribuan pengikut mereka daripada menghadapi
penghinaan menyerah dari Belanda. Sekitar lebih dari 1.000 orang Bali meninggal
pada saat itu melawan penjajah. Dalam intervensi Belanda di Bali pada tahun
1908, pembantaian serupa terjadi dalam menghadapi serangan Belanda di
Klungkung. Setelah itu gubernur Belanda mampu melakukan kontrol administratif
atas pulau Bali, tetapi kontrol lokal atas agama dan budaya umumnya tetap utuh.
Pada
tahun 1930-an, antropolog Margaret Mead dan Gregory Bateson,
dan seniman Miguel Covarrubiasdan Walter Spies, dan musikolog Colin McPhee menciptakan citra barat tentang Bali
sebagai "tanah terpesona yang damai dengan diri mereka sendiri dan
alam", dan pariwisata Barat pertama kali dikembangkan di pulau Bali pada
saat itu.
Imperial
Jepang menduduki Bali selama Perang Dunia II. Pulau Bali awalnya bukan target
dalam Kampanye Hindia Belanda mereka, tetapi karena lapangan terbang di
Kalimantan yang tidak beroperasi karena hujan lebat tentara Kekaisaran Jepang
memutuskan untuk menduduki Bali, yang tidak memiliki cuaca yang sebanding
seperti Kalimantan. Pulau Bali pada saat itu tidak memiliki tentara Royal Netherlands
East Indies Army (KNIL), yang ada hanyalah Native Auxiliary Corps Prajoda
(Korps Prajoda) yang terdiri dari sekitar 600 tentara asli dan beberapa petugas
Belanda KNIL di bawah komando Letkol KNIL WP Roodenburg. Pada tanggal 19 Februari 1942 pasukan
Jepang mendarat di dekat Sanur. Pulau Bali cepat dikuasai oleh Jepang, selama
pendudukan Jepang perwira militer Bali I Gusti Ngurah Rai, membentuk Bali 'bebas tentara'.
Kurangnya perubahan kelembagaan dari waktu pemerintahan Belanda dan kerasnya
permintaan resmi perang membuat pemerintahan Jepang sedikit lebih baik dari
Belanda. Setelah Jepang menyerah di Pasifik pada bulan Agustus 1945, Belanda
kembali ke Indonesia termasuk Bali dan segera ingin mengembalikan administrasi
sebelum perang kolonial mereka. Hal ini ditentang oleh para pemberontak Bali
yang pada saat itu sudah menggunakan senjata dari Jepang. Pada tanggal 20
November 1946, Pertempuran terjadi di Marga Tabanan di Bali tengah. Kolonel I Gusti Ngurah Rai,
saat itu berusia 29 tahun, akhirnya membawa pasukannya ke Marga Rana, di mana
mereka membuat serangan bunuh diri ke pihak Belanda yang bersenjata. Pasukan
batalion Bali seluruhnya dihapus oleh Belanda, menghancurkan perlawanan
terakhir dari perlawanan militer Bali. Pada tahun 1946 Belanda menjadikan Bali
sebagai salah satu dari 13 wilayah administratif dari negara bagian yang baru
diproklamasikan oleh Indonesia Timur, lawan dari negara Republik Indonesia yang
diproklamasikan dan dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. Bali masuk
dalam "Republik Indonesia" ketika Belanda mengakui kemerdekaan
Indonesia pada 29 Desember 1949.
Keberadaan status Provinsi, bagi NTB tidak datang
dengan sendirinya. Perjuangan menuntut terbentuknya Provinsi NTB berlangsung
dalam rentang waktu yang cukup lama. Meski begitu, tanggal 17 Desember 2008
yang lalu, NTB telah genap berusia 50 tahun atau usia emas. Pada usia emas NTB
ini, NTB dipimpin pasangan K.H. M. Zainul Majdi, M.A, dan Ir. H. Badrul Munir,
M.M. Dimana, sosok kedua pemimpin ini bertekad menjadikan NTB lebih baik,
bersaing dengan daerah lain di Indonesia.
Provinsi NTB, sebelumnya sempat menjadi bagian dari
Negara Indonesia Timur dalam konsepsi Negara Republik Indonesia Serikat dan
menjadi bagian dari Provinsi Sunda Kecil setelah pengakuan kedaulatan Republik
Indonesia. Seiring dinamika zaman dan setelah mengalami beberapa kali proses
perubahan sistem ketatanegaraan pasca diproklamasikannya Kemerdekaan Republik
Indonesia, barulah terbentuk Provinsi NTB.
NTB, secara resmi mendapatkan status sebagai provinsi
sebagaimana adanya sekarang, sejak tahun 1958, berawal dari ditetapkannya
Undang-undang Nomor 64 Tahun 1958 tanggal 14 Agustus 1958 tentang Pembentukan
Daerah-daerah Swatantra Tingkat I Bali, NTB dan NTT. Pada waktu itu, yang
dipercayakan menjadi Gubernur NTB yang pertama adalah AR. Moh. Ruslan
Djakraningrat.
Walaupun secara yuridis formal Daerah Tingkat I NTB yang meliputi 6 daerah Tingkat II dibentuk pada tanggal 14 Agustus 1958, namun penyelenggaraan pemerintahan berjalan berdasarkan Undang-undang Negara Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Keadaan yang tumpang tindih ini berlangsung hingga tanggal 17 Desember 1958, ketika Pemerintah Daerah Lombok dan Sumbawa dilikuidasi. Hari Likuidasi inilah yang menandai resmi terbentuknya Provinsi NTB.
Walaupun secara yuridis formal Daerah Tingkat I NTB yang meliputi 6 daerah Tingkat II dibentuk pada tanggal 14 Agustus 1958, namun penyelenggaraan pemerintahan berjalan berdasarkan Undang-undang Negara Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Keadaan yang tumpang tindih ini berlangsung hingga tanggal 17 Desember 1958, ketika Pemerintah Daerah Lombok dan Sumbawa dilikuidasi. Hari Likuidasi inilah yang menandai resmi terbentuknya Provinsi NTB.
Zaman terus berganti, konsolidasi kekuasaan dan
pemerintahan pun terus terjadi. Pada tahun 1968 dalam situasi yang masih belum
menggembirakan sebagai akibat berbagai krisis nasional yang membias ke daerah,
Gubernur pertama AR. Moh. Ruslan Djakraningrat digantikan HR. Wasita Kusuma.
Dengan mulai bergulirnya Program Pembangunan Lima Tahun Tahap Pertama (PelitaI)
langkah perbaikan ekonomi, sosial, politik mulai terjadi.
Provinsi NTB dalam usianya yang ke 50 telah dipimpin 7
putra terbaik bangsa. Kini masyarakat NTB menitipkan amanah memimpin
pembangunan daerah di pundak KH. M. Zainul Majdi, M.A dan Wakil Gubernur NTB , Ir.
H. Badrul Munir, M.M. Di usia ke 50 tahun, pemerintah dan segenap komponen
masyarakat NTB terus bergegas dan meretas jalan harapan menuju terwujudnya NTB
Beriman dan Berdaya Saing.
19.Sejarah Provinsi Nusa Tenggara Timur
Setelah
Jepang menyerah, Kepala Pemerintahan Jepang (Ken Kanrikan) di Kupang memutuskan
untuk menyerahkan pemerintahan atas kota Kupang kepada tiga orang yakni
Dr.A.Gakeler sebagai walikota, Tom Pello dan I.H.Doko. Namun hal ini tidak
berlangsung lama, karena pasu kan NICA segera mengambil alih seluruh
pemerintahan sipil di NTT, di mana susunan pemerintahan dan pejabat–pejabatnya
sebagian besar adalah pejabat Belanda sebelum perang dunia II.
Dengan demikian NTT menjadi daerah kekuasaan Belanda lagi, sistem
pemerintahan sebelum masa perang ditegakkan kembali. Pada tahun 1945 kaum
pergerakan secara sembunyi–sembunyi telah mengetahui perjuangan Republik
Indonesia melalui radio. Oleh karena itu kaum pergerakan menghidupkan kembali
Partai perseri katan Kebangsaan Timor yang berdiri sejak tahun 1937 dan
kemudian berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Perjuangan politik terus berlanjut, sampai pada tahun 1950 dimulai pase baru dengan dihapusnya dewan raja–raja. Pada bulan Mei 1951 Menteri Dalam Negeri NIT mengangkat Y.S. Amalo menjadi Kepala Daerah Timor dan kepu lauannya menggantikan H.A. Koroh yang wafat pada tanggal 30 Maret 1951. Pada waktu itu daerah Nusa Tenggara Timur termasuk dalam wilayah Propinsi Sunda Kecil.
Berdasarkan atas keinginan serta hasrat dari rakyat Daerah Nusa Tenggara, dalam bentuk resolusi, mosi, pernyataan dan delegasi–delegasi kepada Pemerintah Pusat dan Panitia Pembagian Daerah yang dibentuk dengan Keputusan Presiden No.202/1956 perihal Nusa Tenggara, pemerintah berpendapat sudah tiba saatnya untuk membagi daerah Propinsi Nusa Tenggara termaksud dalam Peraturan Pemerintah RIS no.21 tahun 1950. (Lembaran Negara RIS tahun 1950 No.59) menjadi tiga daerah tingkat 1 dimaksud oleh undang–undang No.1 tahun 1957.
Akhirnya berdasarkan undang–undang No.64 tahun 1958 propinsi Nusa Tenggara dipecah menjadi Daerah Swa tantra Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (inventarisasi Land Use, 1967, hal. 2). Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur meliputi daerah Flores, Sumba dan Timor.
Berdasarkan undang–undang No.69/ 1958 tentang pembentukan daerah–daerah tingkat II dalam wilayah Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, maka daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur dibagi menjadi 12 Daerah Swatantra Tingkat II (Monografi NTT, 1975, hal. 297).
Adapun daerah swatantra tingkat II yang ada tersebut adalah : Sumba Barat, Sumba Timur, Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, Alor, Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu. Dengan keluarnya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Daswati I Nusa Tenggara Timur tertanggal 28 Pebruari 1962 No.Pem.66/1/2 yo tanggal 2 Juli 1962 tentang pembentukan kecamatan di Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur, maka secara de facto mulai tanggal 1 Juli 1962 swapraja–swapraja dihapuskan (Monografi NTT, Ibid, hal. 306).
Sedangkan secara de jure baru mulai tanggal 1 September 1965 dengan berlakunya undang–undang no.18 tahun 1965 tentang pokok–pokok pemerintahan daerah. Pada saat itu juga sebutan Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur dirubah menjadi Propinsi Nusa Tenggara Timur, sedangkan Daerah Swatantra Tingkat II dirubah menjadi Kabupaten.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur di Kupang, tanggal 20 Juli 1963 No.66/1/32 mengenai pembentukan kecamatan, maka Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan 12 daerah tingkat II dibagi menjadi 90 kecamatan dan 4 555 desa tradisionil, yakni desa yang bersifat kesatuan genealogis yang kemudian dirubah menjadi desa gaya baru.
Pada tahun 2003 wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur terdiri dari 16 kabupaten dan satu Kota. Kabupaten–kabupaten dan Kota tersebut adalah: Sumba Barat, Sumba Timur, Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Alor, Lembata, Flores Timur, Sikka, Ende, Ngada, Manggarai, Rote Ndao, Manggarai Barat dan Kota Kupang.
Dari 16 kabupaten dan satu kota tersebut terbagi dalam 197 kecamatan dan 2 585 desa/kelurahan. (Disarikan dari buku “Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur” Proyek Penelitian dan Pencetakan Kebudayaan Daerah 1977/1978).
20.Sejarah Singkat terbentuknya
kalimantan barat
Provinsi Kalimantan Barat terbentuk tanggal 1 Januari 1957.
Pembentukannya berbarengan dengan provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Timur. Pada awal kemerdekaan, wilayah Kalimantan Barat merupakan bagian dari
Provinsi Kalimantan.
Penghuni pertama Kalimantan Barat diperkirakan hidup di
kawasan pantai dan pinggiran Sungai Kapuas. Pada abad ke 5, mereka sudah
menjalin hubungan dagang dengan India,
Cina, dan Timur-Tengah. Mereka termasuk dalam rumpun Melayu.
Di Kalimantan Barat sedikitnya pernah berdiri 13 kerajaan.
Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Tanjungpura, Sukadana, Simpang, Mempawah,
Sambas, Landah, Tayan, Meliau, Sanggau, Sekadau, Sintang, Kubu, dan Pontianak. Tumbuhnya kerajaan tersebut
bermula dari kedatangan Prabu Jaya, anak Brawijaya dari Pulau Jawa.
Tahun 1598, Belanda mulai mendarat di Kalimantan. Namun kolonialisme baru
mencengkramKalimantan pada abad
ke 17. Ketika itu, Belanda dan Inggris berusaha untuk menguasan perdagangan.
Sementara itu, Kerajaan Bugis juga berusaha menguasai Kalimantan. Mereka kemudian mendirikan
kerajaan baru di Mempawah. Selain itu, lahir pula Kesultanan Pontianak, yang pada masa pemerintahan
Sultan Hamid menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.
Pada abad ke 19, Belanda dan Inggris semakin intensif memaksakan
monopoli dagangnya di berbagai kesultanan. Mereka juga menyebarkan agama
kristen. Agar bisa mendominasi perdagangan, mereka harus mematahkan berbagai
perlawanan beberapa kesultanan dan suku yang tidak mau tunduk. Pada awal abad
ke 20, Belanda telah menguasai daerah pedalaman. Namun tahun 1930, Belanda baru
berhasil menduduki Kalimantan,
Kecuali Kalimantan Utara yang dikuasai oleh Inggris.
Dalam abad ke 20 ini, mulai bermunculan gerakan-gerakan
kebangsaan. Berbagai pergerakan merupakan cabang pergerakan di Jawa. Hal ini
disebabkan oleh sistem perhubungan Kalimantandengan
Jawa yang sudah mulai baik. Rakyat yang merasa tertekan oleh penjajah Belanda,
membentuk wadah-wadah perjuangan.
Organisasi politik pertama yang berdiri di Kalimantan Barat adalah
Syarikat Islam tahun 1914. dalam waktu singkat, Syarikat Islam berkembang
dengan cepat, dimana perkembangannya ditunjang pula oleh para raja dan
bangsawan. Pada tahun 1922, lahir organisasi baru beraliran komunis, bernama
Syarikat Rakyat. Organisasi ini dipimpin oleh Gusti Sulung Lelanang, mantan
aktivis Syarikat Islam.
Organisasi lainnnya yang terbentuk di Kalimantan Barat adalah
Muhammadiyah. Cabang organisasi Islam ini dibuka oleh dua orang guru agama dari
Sumatera Barat. Mulai tahun 1932, Muhammadiyah berkembang pesat, mereka membuka
cabang di Pontianak, Sungai Bakau
Kecil, Singkawang, dan Sambas.
Tahun 1936, Partai Indonesia Raya (Parindra) membuka cabangnya di
Kalimantan Barat. Setelah itu, mereka membuka cabang di beberapa wilayah
Kalimantan Barat seperti di Pontianak,
Ngabang, Sambas, dan Singkawang. Selain pergerakan yang merupakan cabang dari
Jawa, muncul pula organisasi politik lokal seperti Persatuan anak Borneo. Namun organisasi ini berada di
bawah pengaruh Belanda, dan tidak berperan dalam memunculkan kesadaran
kebangsaan.
Pada bulan Februari 1942, Jepang mendarat di Kalimantan dan langsung mengambil alih kekuasaan
Belanda. Jepang kemudian melarang organisasi politik dan melakukan pemaksaan
dan peindasan terhadap rakyat. Berbagai kegiatan rakyat dipusatkan untuk tujuan
perang Jepang. Kungkungan dan kekejaman Jepang berakhir ketika "Sang
Saudara Tua" ini kalah dalam perang, menyerah terhadap sekutu.
Berita proklamasi kemerdekaan sampai di Kalimantan Barat tanggal
18 Agustus 1945. setelah berita proklamasi ini menyebar, para pejuang
Kalimantan Barat segera membentuk organisasi yang diberi nama Panitia
Penyongsong Republik Indonesia (PPRI). Setelah itu, mulailah era
usaha mempertahankan kemerdekaan.
Upaya untuk mewujudkan pemerintahan Republik Indonesia di
Kalimantan Barat mendapat kendala karena Belanda kembali menguasai daerah ini.
Perjuangan untuk mengusir Belanda dilakukan dengan jalan militer dan politik.
Di jalan militer, pada pejuang melakukan serangan-serangan terhadap pos-pos
pertahanan Belanda. Di bidang politik, perjuangan dilakukan dengan mendirikan
berbagai organisasi perjuangan, seperti Gabungan Persatuan Indonesia (Gapi),
Persatuan Bangsa
Indonesia Sambas (Perbis), Pemuda Indonesia Merdeka (PIM), Gerakan
Indonesia Merdeka (Gerindo), Persatuan Muslim Indonesia (Permi), dan Gerakan
Pemuda Indonesia (Gerpindo).
Belanda melakukan berbagai penangkapan terhadap pejuang. Akibatnya
banyak pejuang yang terpaksa menyingkir ke daerah pedalaman. Mereka kemudian
membentuk satuan-satuan semi militer dengan beranggotakan bekas Heiho dan
penduduk. Perjuangan melawan Belanda semakin sengit ketika Belanda bermaksud
mendirikan negara Kalimantan.
Lewat Konferensi Meja Bundar (KMB), Belanda menjadikan Kalimantan Barat sebagai
negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).
Namun keberadaan RIS tidak diterima rakyat. Akhirnya pada tanggal
17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan Kalimantan kembali menjadi bagian dari
Republik Indonesia. Sebagai gubernur
Provinsi Kalimantan setelah pembubaran RIS, diangkat Dr. M. Murjani.
Setelah pembentukannya, yaitu, tanggal 1 Januari 1957, Kalimantan
Barat mulai menata pemerintahan. Namun karena situasi keamanan baik lokal
maupun nasional belum stabil, pemerintahan ketika itu tidak bisa memperbaiki
tingkat kehidupan rakyatnya. Setelah berbagai kekacauan berakhir, yang diakhiri
dengan penumpasan terhadap peristiwa G30S/PKI, pemerintah daerah Kalimantan
Barat dapat melakukan perbaikan kehidupan dan kesejahteraan rakyat.
21.Sejarah Singkat Kalimantan Tengah
Pada mulanya, wilayah Kalimantan Tengah masuk wilayah Karesidenan
Kalimantan Selatan. kemudian atas aspirasi masyarakat Kalimantan tengah,
berdasarkan UU Darurat No. 10 Tahun 1957 yang berlaku mulai tanggal 23 Mei 1957
terbentuklah Propinsi Otonom Kalimantan Tengah.
Undang-undang ini kemudian disahkan dengan UU No. 21 Tahun 1958. yang sekaligus
juga menetapkan ibukota Propinsi Kalimantan Tengah bernama Palangka Raya.
Peresmian pemancangan tiang pertama pembangunan kota Palangka Raya dilakukan
oleh Presiden RI Pertama Ir. Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957. Tanggal 23 Mei
1957 ini kemudian ditetapkan menjadi tanggal lahir atau tanggal terbentuknya
Propinsi Kalimantan Tengah.
Dalam perkembangannya, pada masa kepemimpinan Gubernur Asmawi Agani, pada
tanggal 2 Juli 2002 di Jakarta dilakukan peresmian pemekaran Kabupaten baru di
Propinsi Kalimantan Tengah oleh Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno. Berdasarkan
UU No. 5 Tahun 2002, Prop.Kalteng yang semula terdiri dari 5 kabupaten dan 1
kotamadya dimekarkan menjadi 13 kabupaten dan 1 kota.
22.Sejarah Kalimantan Selatan
Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Selatan
diperkirakan dimulai ketika berdiri Kerajaan Tanjung Puri sekitar abad 5-6
Masehi. Kerajaan ini letaknya cukup strategis yaitu di Kaki Pegunungan Meratus
dan di tepi sungai besar sehingga di kemudian hari menjadi bandar yang cukup
maju. Kerajaan Tanjung Puri bisa juga disebut Kerajaan Kahuripan, yang cukup
dikenal sebagai wadah pertama hibridasi, yaitu percampuran antarsuku dengan
segala komponennya. Setelah itu berdiri kerajaan Negara Dipa yang dibangun
perantau dari Jawa.
Pada
abad ke 14 muncul Kerajaan Negara Daha yang memiliki unsur-unsur Kebudayaan
Jawa akibat pendangkalan sungai di wilayah Negara Dipa. Sebuah serangan dari
Jawa menghancurkan Kerajaan Dipa ini. Untuk menyelamatkan, dinasti baru
pimpinan Maharaja Sari Kaburangan segera naik tahta dan memindahkan pusat
pemerintahan ke arah hilir, yaitu ke arah laut di Muhara Rampiau. Negara Dipa
terhindar dari kehancuran total, bahkan dapat menata diri menjadi besar dengan
nama Negara Daha dengan raja sebagai pemimpin utama. Negara Daha pada akhirnya
mengalami kemunduran dengan munculnya perebutan kekuasaan yang berlangsung
sejak Pangeran Samudra mengangkat senjata dari arah muara, selain juga
mendirikan rumah bagi para patih yang berada di muara tersebut.
Pemimpin
utama para patih bernama MASIH. Sementara
tempat tinggal para MASIH dinamakan BANDARMASIH. Raden Samudra mendirikan istana di tepi
sungai Kuwin untuk para patih MASIH tersebut.
Kota ini kelak dinamakanBANJARMASIN, yaitu
yang berasal dari kata BANDARMASIH.
Kerajaan
Banjarmasin berkembang menjadi kerajaan maritim utama sampai akhir abad 18.
Sejarah berubah ketika Belanda menghancurkan keraton Banjar tahun 1612 oleh
para raja Banjarmasin saat itu panembahan Marhum, pusat kerajaan dipindah ke
Kayu Tangi, yang sekarang dikenal dengan kota Martapura.
Awal
abad 19, Inggris mulai melirik Kalimantan setelah mengusir Belanda tahun 1809.
Dua tahun kemudian menempatkan residen untuk Banjarmasin yaitu Alexander Hare.
Namun kekuasaanya tidak lama, karena Belanda kembali.
Babak
baru sejarah Kalimantan Selatan dimulai dengan bangkitnya rakyat melawan
Belanda. Pangeran Antasari tampil sebagai pemimpin rakyat yang gagah berani. Ia
wafat pada 11 Oktober 1862, kemudian anak cucunya membentuk PEGUSTIAN sebagai lanjutan Kerajaan Banjarmasin,
yang akhirnya dihapuskan tentara Belanda Melayu Marsose, sedangkan Sultan
Muhammad Seman yang menjadi pemimpinnya gugur dalam pertempuran. Sejak itu
Kalimantan Selatan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.
Daerah
ini dibagi menjadi sejumlah afdeling, yaitu
Banjarmasin, Amuntai dan Martapura. Selanjutnya berdasarkan pembagian organik
dari Indisch Staatsblad tahun 1913, Kalimantan Selatan dibagi menjadi dua
afdeling, yaitu Banjarmasin dan Hulu Sungai. Tahun 1938 juga dibentuk
Gouverment Borneo dengan ibukota Banjarmasin dan Gubernur Pertama dr. Haga.
Setelah
Indonesia merdeka, Kalimantan dijadikan propinsi tersendiri dengan Gubernur Ir.
Pangeran Muhammad Noor. Sejarah pemerintahan di Kalimanatn Selatan juga
diwarnai dengan terbentuknya organisasi Angkatan Laut Republik Indonesia ( ALRI
) Divisi IV di Mojokerto, Jawa Timur yang mempersatukan kekuatan dan pejuang
asal Kalimantan yang berada di Jawa.
Dengan
ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati menyebabkan Kalimantan terpisah dari
Republik Indonesia. Dalam keadaan ini pemimpin ALRI IV mengambil langkah untuk
kedaulatan Kalimantan sebagai bagian wilayah Indonesia, melalui suatu
proklamasi yang ditandatangani oleh Gubernur ALRI Hasan Basry di Kandangan 17
Mei 1949 yang isinya menyatakan bahwa rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan
memaklumkan berdirinya pemerintahan Gubernur tentara ALRI yang melingkupi
seluruh wilayah Kalimantan Selatan. Wilayah itu dinyatakan sebagai bagian dari
wilayah RI sesuai Proklamasi kemerdekaaan 17 agustus 1945. Upaya yang dilakukan
dianggap sebagai upaya tandingan atas dibentuknya Dewan Banjar oleh Belanda.
Menyusul
kembalinya Indonesia ke bentuk negara kesatuan kehidupan pemerintahan di daerah
juga mengalamai penataaan. Di wilayah Kalimantan, penataan antara lain berupa
pemecahan daerah Kalimantan menjadi 3 propinsi masing-masing Kalimantan Barat,
Timur dan Selatan yang dituangkan dalam UU No.25 Tahun 1956.
Berdasarkan
UU No.21 Tahun 1957, sebagian besar daerah sebelah barat dan utara wilayah
Kalimantan Selatan dijadikan Propinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan UU No.27
Tahun 1959 memisahkan bagian utara dari daerah Kabupaten Kotabaru dan
memasukkan wilayah itu ke dalam kekuasaan Propinsi Kalimantan Timur. Sejak saat
itu Propinsi Kalimantan Selatan tidak lagi mengalami perubahan wilayah, dan
tetap seperti adanya. Adapun UU No.25 Tahun 1956 yang merupakan dasar
pembentukan Propinsi Kalimantan Selatan kemudian diperbaharui dengan UU No.10
Tahun 1957 dan UU No.27 Tahun 1959.
23.SEJARAH SINGKAT PROVINSI KALIMATAN TIMURProvinsi Kalimantan Timur selain sebagai suatu kesatuan administrasi, juga sebagai kesatuan ekologis dan histories. Kalimantan Timur sebagai wilayah administrasi dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 956 dengan Gubernur yang pertama adalah APT Pranoto.
Sebelumnya Kalimantan Timur merupakan salah satu Keresidenan dari Provinsi Kalimantan Timur. Sesuai dengan aspiarsi rakyat pulau terbesar di Nusantara ini sejak tahun 1956 wilayahnya dimekarkan menjadi tiga propinsi, yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat.
Daerah Tingkat II di dalam wilayah Kalimantan Timur. Dibentuk berdasar Undang-undang Nomor 27 Tahun 1959, tentang Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 953, tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1955 No. 9). Lembaran Negara No. 72 Tahun 959, meliputi :
1. Kotamadya
Samarinda, dengan Ibukota Samarinda dan sekaligus sebagai Ibukota Propinsi
Kalimantan Timur.
2. Kotamadya
Balikpapan, sebagai Ibukota Balikpapan dan merupakan pintu gerbang Kalimantan
Timur.
3. Kabupaten Kutai, dengan Ibukotanya Tenggarong.
3. Kabupaten Kutai, dengan Ibukotanya Tenggarong.
4. Kabupaten Pasir,
dengan Ibukotanya Tanah Grogot.
5. Kabupaten Berau,
dengan Ibukotanya Tanjung Redeb.
6. Kabupaten Bulungan
dengan Ibukotanya Tanjung Selor.
Dalam perkembangan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 dibentuk 2 Kota Administrasi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1981 dan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1989, yakni :
1. Kota Adminstratif
Bontang (berada di Kabupaten Kutai).
2. Kota Administratif
Tarakan (berada di Kabupaten Bulungan).
Selanjutnya sebagai perpanjangan tangan dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur dalam mengelola administrasi Pemerintahan dan Pembangunan di Daerah ini dibentuk 2 (dua) Pembantu Gubernur yang bertugas mengkoordinir Wilayah Utara dan Wilayah Selatan, yaitu :
• Pembantu Gubernur Wilayah Utara, berkedudukan di Kota Tarakan yang dalam hal ini merupakan perpanjangan tangan Gubernur untuk wilayah Kabupaten Berau, Kabupaten Bulungan dan Kota Administratif Tarakan, yang selanjutnya berdasarkan Undang-Undang No. 29 Tahun 1997 menjadi Kotamadya Tarakan.
• Pembantu Gubernur Wilayah Selatan, berkedudukan di Kota Balikpapan yang dalam hal ini merupakan perpanjangan tangan Gubernur untuk wilayah Kotamadya Balikpapan, Kabupaten Kutai, Kabupaten Pasir.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka struktur Pemerintahan di daerah berupa antara lain Wilayah Pembantu Gubernur dihapuskan serta Kota Administrasi Bontang dan Tarakan ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Otonomi.
Selanjutnya
berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 47 Tahun
1999 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2002, serta Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2007 mengenai pemekaran Kabupaten dan Kota di Wilayah Provinsi Kalimantan
Timur, maka sampai dengan saat ini wilayah Provinsi Kalimantan Timur dari 6
(enam) Kabupaten/ Kota bertambah menjadi 14 (empat belas) Daerah Kabupaten/Kota
dengan 10 Kabupaten dan 4 Kota.
Terbentuknya Provinsi Kalimantan Utara yang
disingkat menjadi Kaltara, melalui proses panjang yang diwacanakan sejak tahun
2000. Provinsi Kaltara secara resmi terbentuk sejak ditandatanganinya
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara
pada tanggal 16 November 2012 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
RUU pembentukan Provinsi Kalimantan Utara ini
sebelumnya telah disetujui oleh Rapat Paripurna DPR pada 25 Oktober 2012 untuk
disahkan menjadi undang-undang (UU). Sejak terbit UU No. 20 Tahun 2012 maka
resmi terbentuk Provinsi Kalimantan Utara sebagai provinsi ke 34 di Indonesia.
Pada tanggal 22 April 2013 Penjabat Gubernur Kalimantan Utara yaitu Irianto
Lambrie dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di Jakarta.
Tujuan pembentukan provinsi ini adalah untuk
mendorong peningkatan pelayanan dibidang pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan, memperpendek rentang kendali (span
of control) pemerintahan, terutama di kawasan perbatasan.
Pemerintah Pusat berharap dengan adanya pemerintahan provinsi, permasalahan di
perbatasan utara Kalimantan dapat langsung dikontrol dan dikendalikan oleh
pemerintah pusat dan daerah. Diharapkan juga dengan adanya Provinsi Kaltara
dapat meningkatkan perekonomian warga Kalimantan Utara yang berada di dekat
perbatasan dengan negara-negara tetangga.
Pada saat dibentuknya, wilayah Kaltara terbagi
5 wilayah administrasi yang terdiri atas 1 kota dan 4 kabupaten yakni Kota
Tarakan, Kabupaten Bulungan, Malinau, Nunukan, dan Kabupaten Tana Tidung.
Seluruh wilayah tersebut sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Kalimantan
Timur. Berdasarkan bunyi Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012, Kaltara
beribukota Tanjung Selor yang berada di Kabupaten Bulungan.
25.Sejarah Sulawesi Utara
Provinsi Sulawesi Utara adalah wilayah provinsi di ujung utara
Pulau Sulawesi, berbatasan langsung dengan Negara Filipina. Provinsi ini
memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang sebelum ditetapkan menjadi
Provinsi Daerah Tingkat I. Dalam sejarah pemerintahannya, daerah ini
beberapa kali mengalami perubahan administrasi pemerintahan seiring dengan
dinamika penyelenggaraan pemerintahan bangsa.
Pada permulaan Kemerdekaan
Republik Indonesia, daerah ini berstatus Keresidenan yang merupakan bagian
dari Provinsi Sulawesi yg beribukota Makassar dengan Gubernur
yaituDR.GSSJ Ratulangi. Kemudian sejalan dengan pemekaran
administrasi pemerintahan daerah-daerah di Indonesia, maka melalui Peraturan
Presiden Nomor 5 Tahun 1960 Propinsi Sulawesi dibagi menjadi dua propinsi
administratif yaitu Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara dan Propinsi Sulawesi
Utara-Tengah. Untuk mengatur dan menyelenggarakan kegiatan pemerintahan
maka AA Baramuli SH ditunjuk menjadi Gubernus Sulutteng berdasarkan Keputusan
Presiden RI Nomor.122/M Tahun 1960 tanggal 31 Maret 1960, sementara
Letkol FJ Tumbelaka menjadi wakil Gubernur.
Provinsi Sulawesi Utara
Sembilan bulan kemudian Propinsi
Administratif Sulawesi Utara-Tengah ditata kembali statusnya menjadi Daerah
Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1960. Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sulutteng
meliputi; Kotapradja Manado, Kotapraja Gorontalo, dan delapan Daerah Tingkat II
masing-masing; Sangihe Talaud, Gorontalo, Bolaang Mongondow, Minahasa, Buol
Toli-Toli, Donggala, Daerah Tingkat II Poso, Luwuk/ Banggai. Sementara itu,
DPRD Propinsi Sulawesi Utara-Tengah baru terbentuk pada tanggal 26 Desember
1961.
Kemudian berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1964 tanggal 23 September 1964 Pemerintah menetapkan perubahan
status Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dengan menjadikan Sulawesi Utara
sebagai Daerah Otonom Tingkat I, dengan Manado sebagai Ibukotanya.
Adapun FJ Tumbelaka ditunjuk menjadi gubernur pertamanya. Sejak
saat itu, secara de facto Daerah Tingkat I Sulawesi Utara membentang dari Utara
ke Selatan Barat Daya, dari Pulau Miangas di ujung utara Kabupaten Sangihe
Talaud sampai Molosipat di bagian Barat Kabupaten Gorontalo. Momentum
diundangkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 1964 itulah yang kemudian
ditetapkan sebagai hari lahirnya Daerah Tingkat I Sulawesi Utara. Adapun
daerah tingkat II yang masuk dalam wilayah Sulawesi Utara yaitu; Kotamadya
Manado, Kota Madya Gorontalo, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Gorontalo,
Kabupaten Bolaang Mongondow, dan Kabupaten Sangihe Talaud.
Selanjutnya, seiring dengan nuansa
reformasi dan otonomi daerah, maka melalui Undang-undang No. 38 tahun 2000
dibentuk Provinsi Gorontalo sebagai hasil pemekaran dari provinsi
Sulawesi Utara. Dengan adanya pemekaran tersebut maka wilayah Sulawesi
Utara pun berubah menjadi Kota Manado, Kota Bitung, Kab. Minahasa, Kab. Sangihe
dan Talaud dan Kab. Bolaang Mongondow. Lalu berdasarkan Undang-Undang No. 8
Tahun 2002, provinsi Sulawesi Utara ketambahan satu kabupaten lagi yaitu
Kabupaten Kepulauan Talaud yang merupakan hasil pemekaran Kabupaten Sangihe
Talaud.
Sekitar setahun berikutnya,
dibentuk Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon berdasarkan
Undang-undang No.10 Tahun 2003 serta Kabupaten Minahasa Utara
berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2003. Ketiga kabupaten
tersebut merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Minahasa. Kemudian pada
tahun 2007 ketambahan lagi 4 lagi kabupaten/kota yakni Kota Kotamobagu
(berdasarkan UU No. 4 Tahun 2007), Kab. Minahasa Tenggara (UU No. 9 Tahun
2007), Kab. Bolaangmongondow Utara (UU No. 10 Tahun 2007), serta Kabupaten
Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Bintaro atau disingkan Kabupaten Sitaro (UU
No. 15 Tahun 2007). Dan pada tahun 2008 terbentuk pula dua kabupaten
baru, yakni Kabupaten Bolaang Mongondow Timur berdasarkan UU No. 29 Tahun 2008
dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan berdasarkan UU No. 30 Tahun 2008.
Keduanya merupakan pemekaran dari Kabupaten Bolaang Mongondow.
Dari beberapa kali pemekaran
tersebut, saat ini Provinsi Sulawesi Utara memiliki 15 kabupaten/kota
dengan total luas wilayah 15.364,08 km2 dan jumlah
penduduk pada 2010 sebanyak 2.270.596 jiwa
Adapun gubernur yanga pernah
memimpin Provinsi Sulawesi sejak berdiri pada tahun 1964 adalah sebagai berikut
:
1. F.J.Tumbelaka (Pj.Gubernur
1964-1965)
2. Soenandar Prijosoedarmo
(Pj.Gubernur 1965-1966)
3. Abdullah Amu (Pj.Gubernur 1966 –
1967)
4. H.V. Worang (1967 – 1978)
5. Willy Lasut.G.A (1978-1979)
6. Erman Harirustaman (Pj.Gubernur
1979-1980)
7. G.H. Mantik (1980-1985)
8. C.J. Rantung (1985-1990)
9. E.E.Mangindaan (1995-2000)
10. Drs. A.J. Sondakh (2000-2005)
11. Ir. Lucky H. Korah, MSi (Pj.
Gubernur 2005)
12. Drs.S.H.Sarundajang (2005-2010 dan
2010 – sekarang).
26.Sejarah provinsi Gorontalo
Menurut sejarah, Jazirah
Gorontalo terbentuk kurang lebih 400 tahun lalu dan merupakan salah satu kota
tua di Sulawesi selain Kota Makassar, Pare-pare dan Manado. Gorontalo pada saat
itu menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Indonesia Timur yaitu
dari Ternate, Gorontalo, Bone. Seiring dengan penyebaran agama tersebut
Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan masyarakat di wilayah
sekitar seperti Bolaang Mongondow (Sulut), Buol Toli-Toli, Luwuk Banggai,
Donggala (Sulteng) bahkan sampai ke Sulawesi Tenggara.
Gorontalo menjadi pusat
pendidikan dan perdagangan karena letaknya yang strategis menghadap Teluk
Tomini (bagian selatan) dan Laut Sulawesi (bagian utara).
Kedudukan Kota Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan Hulawa Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Menurut Penelitian, pada tahun 1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari Keluruhan Hulawa ke Dungingi Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat sekarang. Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe Kerajaan ini dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B.
Kedudukan Kota Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan Hulawa Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Menurut Penelitian, pada tahun 1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari Keluruhan Hulawa ke Dungingi Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat sekarang. Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe Kerajaan ini dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B.
Dengan letaknya yang stategis
yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta penyebaran agama islam maka
pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah sekitar, bahkan menjadi pusat
pemerintahan yang disebut dengan Kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling
Gorontalo yang meliputi Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol ToliToli
dan, Donggala dan Bolaang Mongondow.
Sebelum masa penjajahan keadaaan
daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur menurut huukm adat
etatanegaraan Gorontalo. Kerajaan-kerajaan itu tergabung dalam satu ikatan
kekeluargaan yang disebut “Pohala’a“.Menurut Haga (1931) daerah Gorontalo
ada lima pohala’a :
§ Pohala’a
Gorontalo
§ Pohala’a
Limboto
§ Pohala’a
Suwawa
§ Pohala’a
Boalemo
§ Pohala’a
Atinggola
Dengan hukum adat itu maka
Gorontalo termasuk 19 wilayah adat di Indonesia Pohalaa Gorontalo merupakan
pohalaa yang paling menonjol diantara kelima pohalaa tersebut. Itulah sebabnya
Gorontalo lebih banyak dikenal.
Asal usul nama Gorontalo
terdapat berbagai pendapat dan penjelasan antara lain :
§ “Hulontalangio”,
nama salah satu kerajaan yang dipersingkat menjadi hulontalo.
§ Berasal
dari ” Hua Lolontalango” yang artinya orang-orang Gowa yang berjalan lalu
lalang.
§ Berasal
dari ” Hulontalangi” yang artinya lebih mulia.
§ Berasal
dari “Hulua Lo Tola” yang artinya tempat berkembangnya ikan Gabus.
§ Berasal
dari ” Pongolatalo” atau “Puhulatalo” yang artinya tempat menunggu.
§ Berasal
dari Gunung Telu yang artinya tiga buah gunung.
§ Berasal
dari ” Hunto” suatu tempat yang senantiasa digenangi air
Jadi asal usul nama Gorontalo
(arti katanya) tidak diketahui lagi, namun jelas kata “hulondalo” hingga
sekarang masih hidup dalam ucapan orang Gorontalo dan orang Belanda karena
kesulitan dalam mengucapkannya diucapkan dengan Horontalo dan bila ditulis
menjadi Gorontalo.
Pada tahun 1824 daerah Limo Lo
Pohalaa telah berada di bawah kekusaan seorang asisten Residen disamping Pemerintahan
tradisonal. Pada tahun 1889 sistem pemerintahan kerajaan dialihkan ke
pemerintahan langsung yang dikenal dengan istilah ” Rechtatreeks Bestur “. Pada
tahun 1911 terjadi lagi perubahan dalam struktur pemerintahan Daerah Limo lo
pohalaa dibagi atas tiga Onder Afdeling yaitu :
§ Onder
Afdeling Kwandang
§ Onder
Afdeling Boalemo
§ Onder
Afdeling Gorontalo
Selanjutnya pada tahun 1920
berubah lagi menjadi lima distrik yaitu :
§ Distrik
Kwandang
§ Distrik
Limboto
§ Distrik
Bone
§ Distrik
Gorontalo
§ Distrik
Boalemo
Pada tahun 1922 Gorontalo
ditetapkan menjadi tiga Afdeling yaitu :
§ Afdeling
Gorontalo
§ Afdeling
Boalemo
§ Afdeling
Buol
Sebelum kemerdekaan Republik ,
rakyat Gorontalo dipelopori oleh Bpk. H. Nani Wartabone berjuang dan merdeka
pada tanggal 23 Januari 1942. Selama kurang lebih dua tahun yaitu sampai tahun
1944 wilayah Gorontalo berdaulat dengan pemerintahan sendiri. Perjuangan
patriotik ini menjadi tonggak kemerdekaan bangsa Indonesia dan memberi imbas
dan inspirasi bagi wilayah sekitar bahkan secara nasional. Oleh karena itu Bpk
H. Nani Wartabone dikukuhkan oleh Pemerintah RI sebagai pahlawan perintis
kemerdekaan.
Hari Kemerdekaan Gorontalo ”
yaitu 23 Januari 1942 dikibarkan bendera merah putih dan dinyanyikan lagu
Indonesia Raya. Padahal saat itu Negara Indonesia sendiri masih merupakan mimpi
kaum nasionalis tetapi rakyat Gorontalo telah menyatakan kemerdekaan dan
menjadi bagian dari Indonesia
Selain itu pada saat pergolakan
PRRI Permesta di Sulawesi Utara masyarakat wilayah Gorontalo dan sekitarnya
berjuang untuk tetap menyatu dengan Negara Republik Indonesia dengan semboyan
“Sekali ke Djogdja tetap ke Djogdja” sebagaimana pernah didengungkan pertama
kali oleh Ayuba Wartabone di Parlemen Indonesia Timur ketika Gorontalo menjadi
bagian dari Negara Indonesia Timur.
27.SEJARAH
SINGKAT PROPINSI SULAWESI TENGAH
Sulawesi
Tengah merupakan propinsi terbesar di pulau Sulawesi, dengan luas wilayah
daratan 68.033 km2 yang mencakup semenanjung bagian timur dan
sebagian semenanjung bagian utara serta kepulauan Togian di Teluk Tomini dan
Kepulauan Banggai di Teluk Tolo, dengan luas wilayah laut adalah 189.480 km2.
Sulawesi Tengah yang
terletak di bagian barat kepulauan Maluku dan bagian selatan Philipina membuat
pelabuhan di daerah ini sebagai persinggahan kapal-kapal Portugis dan Spanyol
lebih dari 500 tahun yang lampau. Dalam perjalanannya mengelilingi dunia
Francis Drake, dengan kapalnya "The Golden Hind" singgah di salah
satu pulau kecil di pantai timur propinsi ini selama sebulan pada bulan Januari
1580. Meskipun tidak ada catatan sejarah, kemungkinan besar pelaut-pelaut
Portugal dan Spanyol menginjak kakinya di negeri ini yang terbukti dengan masih
ada pengaruh Eropa terhadap bentuk pakaian masyarakat hingga dewasa ini.
Setelah dikuasi oleh Belanda pada
tahun 1905 Sulawesi Tengah dibagi menjadi beberapa Kerajaan kecil, dibawah
kekuasaan Raja yang memiliki wewenang penuh.
Belanda membagi Sulawesi Tengah
menjadi tiga daerah yaitu wilayah barat yang kini dikenal dengan kabupaten
Donggala dan Buol Tolitoli dibawah kekuasaan Gubernur yang berkedudukan di
Ujung Pandang. Di bagian tengah yang membujur di Donggala kawasan timur dan
bagian selatan Poso berada dibawah pengawasan Residen di Manado, bagian timur
dikendalikan dari Baubau.
Pada tahun
1919 Raja-raja yang masih berkuasa dibawah kekuasaan Belanda menandatangani
suatu perjanjian yang disebut " Korte Verklaring Renewcame"
memperbaharui persekutuan mereka dan seluruh daerah Sulawesi Tengah dibawah
kekuasaan residen di Sulawesi Utara.
Setelah perang dunia kedua
wilayah yang merupakan propinsi Sulawesi Tengah dewasa ini dibagi menjadi
beberapa bagian dan sub bagian hingga pada tahun 1964 terbentuk menjadi
propinsi tersendiri yang terpisah dari Sulawesi Utara yang bergabung sejak
1960.
Akhirnya
tanggal 13 April 1964 diangkatlah Gubernur tersendiri untuk propinsi ini yang
hingga saat ini tanggal tersebut tetap diperingati sebagai hari ulang tahun
propinsi ini.
28.Sejarah
Singkat Terbentuknya Sulawesi Selatan
Sekitar 30.000 tahun
silam pulau ini telah dihuni oleh manusia. Penemuan tertua ditemukan di gua-gua
dekat bukit kapur dekat Maros, sekitar 30 km sebelah timur laut dan Makassar
sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Kemungkinan lapisan budaya yang tua
berupa alat batu Peeble dan flake telah dikumpulkan dari teras sungai di lembah
Walanae, diantara Soppeng dan Sengkang, termasuk tulang-tulang babi raksasa dan
gajah-gajah yang telah punah.Selama masa keemasan perdagangan rempah-rempah, diabad ke-15 sampai ke-19, Sulawesi Selatan berperan sebagai pintu Gerbang ke kepulauan Maluku, tanah penghasil rempah. Kerajaan Gowa dan Bone yang perkasa memainkan peranan penting didalam sejarah Kawasan Timur Indonesia dimasa Ialu.
Pada sekitar abad ke-14 di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah kerajaan kecil, dua kerajaan yang menonjol ketika itu adalah Kerajaan Gowa yang berada di sekitar Makassar dan Kerajaan Bugis yang berada di
Bone. Pada tahun 1530, Kerajaan Gowa mulai mengembangkan diri, dan pada pertengahan abad ke-16 Gowa menjadi pusat perdagangan terpenting di wilayah timur Indonesia. Pada tahun 1605, Raja Gowa memeluk Agama Islam serta menjadikan Gowa sebagai Kerajaan Islam, dan antara tahun 1608 dan 1611, Kerajaan Gowa menyerang dan menaklukkan Kerajaan Bone sehingga Islam dapat tersebar ke seluruh wilayah Makassar dan Bugis.
Perusahaan dagang Belanda atau yang lebih dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang datang ke wilayah ini pada abad ke-15 melihat Kerajaan Gowa sebagai hambatan terhadap keinginan VOC untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di daerah ini. VOC kemudian bersekutu dengan seorang pangeran Bugis bernama Arung Palakka yang hidup dalam pengasingan setelah jatuhnya Bugis di bawah kekuasaan Gowa.
Belanda kemudian mensponsori Palakka kembali ke Bone, sekaligus menghidupkan perlawanan masyarakat Bone dan Sopeng untuk melawan kekuasaan Gowa. Setelah berperang selama setahun, Kerajaan Gowa berhasil dikalahkan. Dan Raja Gowa, Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bungaya yang sangat mengurangi kekuasaan Gowa. Selanjutnya Bone di bawah Palakka menjadi penguasa di Sulawesi Selatan.
Persaingan antara Kerajaan Bone dengan pemimpin Bugis
lainnya mewarnai sejarah Sulawesi Selatan. Ratu Bone sempat muncul memimpin
perlawanan menentang Belanda yang saat itu sibuk menghadapi Perang Napoleon di
daratan Eropa. Namun setelah usainya Perang Napoleon, Belanda kembali ke
Sulawesi Selatan dan membasmi pemberontakan Ratu Bone. Namun perlawanan
masyarakat Makassar dan Bugis terus berlanjut menentang kekuasaan kolonial
hingga tahun 1905-1906. Pada tahun 1905, Belanda juga berhasil menaklukkan Tana
Toraja, perlawanan di daerah ini terus berlanjut hingga awal tahun 1930-an.
Sebelum Proklamasi RI, Sulawesi Selatan, terdiri atas sejumlah wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dan didiami empat etnis yaitu ; Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja.
Pada abad ke XVI dan XVII ada tiga kerajaan besar yang
berpengaruh luas di Sulawesi Selatan yaitu kerajaan Luwu, Gowa dan Bone, yang
telah mencapai kejayaan pada masa tersebut. Setelah kemerdekaan, dikeluarkan UU
Nomor 21 Tahun 1950 dimana Sulawesi Selatan menjadi provinsi Administratif
Sulawesi dan selanjutnya pada tahun 1960 menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan
dan Tenggara berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1960. Selanjutnya berdasarkan UU
Nomor 13 Tahun 1964 Pemisahan dilakukan dari daerah otonom Sulawesi Selatan dan
Tenggara menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan, kemudian terus disempurnakan
dengan ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah.
Periode Gubernur :
I. Gubernur Sulawesi :
1945 – 1949 DR. G. S.S.J. Ratulangi, 1950 – 1951 B. W.
Lapian, 1951 – 1953 R. Sudiro, 1953 – A. Burhanuddin ,1953 - 1956 Lanto Dg.
Pasewang, 1956 – 1959 A. Pangerang Pettarani
II. Gubernur Sulawesi Selatan dan Tenggara :
1959 – 1960 A. Pangerang Pettarani, 1960 – 1966 A. A.
Rifai.
III. Gubernur Sulawesi Selatan :
1966 – 1978 Ahmad Lamo, 1978 – 1983 Andi Oddang, 1983
– 1993 Prof. Dr. A. Amiruddin , 1993 - 2003 H. Z. B. Palaguna , 2003 - 2008 H.
M. Amin Syam, 2008 - Ahmad Tanribali Lamo Pejabat Gubernur Sementara, 2008 –
Dr.H.Syahrul Yasin Limpo,SH,M.Si,MH sampai sekarang.
Kondisi Wilayah
Letak Geografis
Secara geografis wilayah darat Provinsi Sulawesi
Selatan dilalui oleh garis khatulistiwa yang terletak antara 00 12’ ~ 80
Lintang Selatan dan 1160 48’~1220 36’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan
Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara dan Teluk Bone serta Provinsi Sulawesi
Tenggara di sebelah timur, serta berbatasan dengan Selat Makassar di sebelah
barat dan Laut Flores di sebelah timur. Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan
khususnya wilayah daratan mempunyai luas kurang lebih 45.764,53 km2.
Topografi
Wilayah Sulawesi Selatan membentang mulai dari dataran
rendah hingga dataran tinggi. Kondisi Kemiringan tanah 0 sampai 3 persen
merupakan tanah yang relatif datar, 3 sampai 8 persen merupakan tanah relatif
bergelombang, 8 sampai 45 persen merupakan tanah yang kemiringannya agak curam,
lebih dari 45 persen tanahnya curam dan bergunung.
29.SEJARAH
TERBENTUKNYA SULAWESI BARAT
Bertolak dari semangat
"Allamungan Batu di Luyo" yang mengikat Mandar dalam perserikatan
"Pitu Ba'bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu" dalam sebuah muktamar
yang melahirkan "Sipamandar" (saling memperkuat) untuk bekerja sama
dalam membangun Mandar, dari semangat inilah maka sekitar tahun 1960 oleh tokoh
masyarakat Manda yang ada di Makassar yaitu antara lain : H. A. Depu, Abd.
Rahman Tamma, Kapten Amir, H. A. Malik, Baharuddin Lopa, SH. dan Abd. Rauf
mencetuskan ide pendirian Provinsi Mandar bertempat di rumah Kapten Amir, dan
setelah Sulawesi Tenggara memisahkan diri dari Provinsi Induk yang saat itu
bernama Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra).Ide pembentukan Provinsi Mandar diubah menjadi rencana pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) dan ini tercetus di rumah H. A. Depu di Jl. Sawerigading No. 2 Makassar, kemudian sekitar tahun 1961 dideklarasikan di Bioskop Istana (Plaza) Jl. Sultan Hasanuddin Makassar dan perjuangan tetap dilanjutkan sampai pada masa Orde Baru perjuangan tetap berjalan namun selalu menemui jalan buntu yang akhirnya perjuangan ini seakan dipeti-es-kan sampai pada masa Reformasi barulah perjuangan ini kembali diupayakan oleh tokoh masyarakat Mandar sebagai pelanjut perjuangan generasi lalu yang diantara pencetus awal hanya H. A. Malik yang masih hidup, namun juga telah wafat dalam perjalanan perjuangan dan pada tahun 2000 yang lalu dideklarasikan di Taman Makam Pahlawan Korban 40.000 jiwa di Galung Lombok kemudian dilanjutkan dengan Kongres I Sulawesi Barat yang pelaksanaannya diadakan di Majene dengan mendapat persetujuan dan dukungan dari Bupati dan Ketua DPRD Kab. Mamuju, Kab. Majene dan Kab. Polmas.
Tuntutan memisahkan diri dari Sulsel sebagaiman diatas sudah dimulai masyarakat di wilayah Eks Afdeling Mandar sejak sebelum Indonesia merdeka. Setelah era reformasi dan disahkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 kemudian menggelorakan kembali perjuangan masyarakat di tiga kabupaten, yakni Polewali Mamasa, Majene, dan Mamuju untuk menjadi provinsi.
Sejak tahun 2005, tiga kabupaten (Majene, Mamuju dan Polewali-Mamasa) resmi terpisah dari Propinsi Sulawesi Selatan menjadi Propinsi Sulawesi Barat, dengan ibukota Propinsi di kota Mamuju. Selanjutnya, Kabupaten Polewali-Mamasa juga dimekarkan menjadi dua kabupaten terpisah (Kabupaten Polewali dan Kabupaten Mamasa).
Untuk jangka waktu cukup lama, daerah ini sempat menjadi salah satu daerah yang paling terisolir atau ‘yang terlupakan’ di Sulawesi Selatan.
Ada beberapa faktor penyebabnya, antara lain, yang terpenting:
Jaraknya yang cukup jauh dari ibukota propinsi (Makassar);
kondisi geografisnya yang bergunung-gunung dengan prasarana jalan yang buruk;
mayoritas penduduknya (etnis Mandar, dan beberapa kelompok sub-etnik kecil lainnya) yang lebih egaliter, sehingga sering berbeda sikap dengan kelompok etnis mayoritas dan dominan (Bugis dan Makassar) yang lebih hierarkis (atau bahkan feodal) – pada awal tahun 1960an, sekelompok intelektual muda Mandar pimpinan almarhum Baharuddin Lopa (Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, 1999-2000, dan sempat menjadi ‘aikon nasional’ gerakan anti korupsi karena kejujurannya yang sangat terkenal) melayangkan ‘Risalah Demokrasi’ menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap beberapa kebijakan politik Jakarta dan Makassar; serta
Fakta sejarah daerah ini sempat menjadi pangkalan utama ‘tentara pembelot’ (Batalion 310 pimpinan Kolonel Andi Selle), pada tahun 1950-60an, yang kecewa terhadap beberapa kebijakan pemerintah dan kemudian melakukan perlawanan bersenjata terhadap Tentara Nasional Indonesia (TNI); selain sebagai daerah lintas-gunung dan hutan –untuk memperoleh pasokan senjata selundupan melalui Selat Makassar- oleh gerilyawan Darul Islam (DI) pimpinan Kahar Muzakkar yang berbasis utama di Kabupaten Luwu dan Kabupaten Enrekang di sebelah timurnya.
Pembentukan daerah kabupaten baru di wilayah sulawesi barat masih dalam proses dan dalam prosesnya masih sering diiringi oleh permasalahan-permasalahan yang merupakan efek penyatuan pendapat yang belum memiliki titik temu.
Nilai Budaya
Penduduk Sulawesi Barat berdasarkan hasil survei Sosial dan Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2006 berjumlah 992.656 jiwa yang tersebar di 5 kabupaten, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 356.391 jiwa mendiami Kabupaten Polewali Mandar.
Secara keseluruhan jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin perempuan, hal ini tercermin dari angka rasio jenis kelamin yang lebih besar dari jumlah penduduk perempuan
Angkatan kerja, Penduduk Usia Kerja (PUK) didefenisikan sebagai penduduk yang berumur 10 tahun ke atas. Penduduk usia kerja terdiri dari Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan kerja adalah penduduk yang bekerja atau yang sedang mencari pekerjaan, sedangkan bukan angkatan kerja adalah mereka yang bersekolah, mengurus rumah tangga atau melakukan kegiatan lainnya.
Penduduk usia kerja di daerah Sulawesi Barat pada tahun 2006 berjumlah 751.180 jiwa. Dari seluruh penduduk usia kerja yang masuk menjadi angkatan kerja berjumlah 444.324 jiwa atau lebih dari 50 persen dari seluruh Penduduk Usia Kerja.
Dari seluruh angkatan kerja yang berjumlah 444.324 jiwa tercatat bahwa 53.215 orang dalam status mencari pekerjaan. dari angka tersebut dapat dihitung tingkat pengangguran terbuka di Sulawesi Barat pada tahun 2006, yakni sebesar 11,98 persen. angka ini merupakan rasio antara pencari pekerjaan dan jumlah angkatan kerja.
Dilihat dari segi lapangan usaha, sebagian besar penduduk Sulawesi Barat bekerja pada sektor pertanian yang berjumlah 276.299 orang atau 70,64 persen dari jumlah penduduk yang bekerja. Sektor lainnya yang juga menyerap tenaga kerja cukup besar adalah sektor perdagangan dan jasa-jasa.
Potensi pariwisata Cukup menjanjikan akan tetapi belum dikelola dengan baik secara optimal sehingga belum dapat hasil yang lebih nyata terhadap pemasukan devisa bagi daerah meski demikian, gunakan memperkenalkan pariwisata kepada masyarakat indonesia bahkan ke dunia internasional, pemerintah SulBar menyiapkan berbagai upaya berupa promosi-promosi di media cetak maupun elektronik untuk memperkenalkan pariwisata ke dunia luar.
30.Sejarah Singkat
Berdirinya Provinsi Sulawesi Tenggara
Di Indonesia,
terdapat banyak provinsi misalnya provinsi yang saya tinggali saat ini, yaitu
provinsi Sulawesi Tenggara yang ibukotanya berada di kota Kendari. Provinsi ini
terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, secara geografis terletak di
bagian selatan garis khatulistiwa di antara 02°45' - 06°15' Lintang Selatan dan
120°45' - 124°30' Bujur Timur serta mempunyai wilayah daratan seluas 38.140 km²
(3.814.000 ha) dan perairan (laut) seluas 110.000 km² (11.000.000 ha).
Sulawesi Tenggara dulunya
merupakan nama salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara
Sulselra dengan Bau-bau sebagai ibukota kabupatennya pada saat itu, maka pada tahun
1964 yang di kenal dengan masa orde lama serta dengan kerja keras pemuda
Sulawesi Tenggara maka ditetapkanlah provinsi ini sebagai Daerah Otonom
berdasarkan Perpu No. 2 tahun 1964 Juncto UU No.13. dan pada saat itu Sulawesi
tenggara hanya memiliki empat kabupaten yaitu : Kab. Kendari, Kab. Kolaka, Kab.
Muna, Kab. Buton. Sebelum ibukotanya di kendari awalnya ibukotanya berada di
Bau-bau, di karenakan kondisi bau-bau saat itu tidak begitu luas untuk
pembangunan jangka pendek. Maka pada waktu itu diputuskan untuk mengganti di
kendari sebagai ibukotanya. Sampai sekarang ini. Sehingga Masa Orde Baru
yaitu Tahun 1995 Dibentuk lagi satu kota yaitu Kota Kendari, pemekaran dari
Kabupaten Kendari, sekarang Kabupaten Konawe (3 Agustus 1995) dan Masa Era Reformasi
Tahun 1999 Dibentuk lagi satu kota Baru yaitu : Kota Bau-Bau, pemekaran
dari Kabupaten Buton (21 Juni 2001) dan Masa Berikutnya Reformasi Terbentuklah
beberapa kabupaten baru :
- Kabupaten Bombana, Di
Mekarkan Tanggal 18 Desember 2003 Di Kabupaten Buton
- Kabupaten Wakatobi, Di
Mekarkan Tanggal 18 Desember 2003 Di Kabupaten Buton
- Kabupaten Kolaka Utara,
Di Mekarkan Tanggal 18 Desember 2003 Di Kabupaten Kolaka
- Kabupaten Konawe
Selatan, Di Mekarkan Tanggal 25 Februari 2003 Di Kab. Kendari
- Kabupaten Konawe Utara,
Di Mekarkan Tanggal 2 Januari 2007 Di Kabupaten Konawe
- Kabupaten Buton Utara,
Di Mekarkan Tanggal 2 Januari 2007 Di Kabupaten Muna
- Kabupaten Kolaka Timur,
Di Mekarkan Tanggal 14 Desember 2012 Di Kabupaten Kolaka
- Kabupaten Konawe
Kepulauan, Di Mekarkan Tanggal 12 April 2013 Di Kabupaten Konawe
- Kabupaten Buton Tengah,
Di Mekarkan Tanggal Juli 2014 Di Kabupaten Buton
- Kabupaten Buton Selatan,
Di Mekarkan Tanggal Juli 2014 Di Kabupaten Buton
- Kabupaten Muna Barat, Di
Mekarkan Tanggal Juli 2014 Di Kabupaten Muna.
Dan Saat Ini, Provinsi
Sulawesi Tenggara memiliki 17 kabupaten dan 2 kota sesudah pemekaran.
31.Sejarah maluku
Seperti
daerah-daerah lainnya di Indonesia, Kepulauan Maluku memiliki perjalanan
sejarah yang panjang dan tidak dapat dilepaskan dari sejarah Indonesia secara
keseluruhan. Kawasan kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah ini sudah dikenal
di dunia internasional sejak dahulu kala. Pada awal abad ke-7 pelaut-pelaut
dari daratan Cina, khususnya pada zaman Dinasti Tang, kerap mengunjungi Maluku
untuk mencari rempah-rempah. Namun mereka sengaja merahasiakannya untuk
mencegah datangnya bangsa-bangsa lain kedaerah ini.
Pada abad ke-9 pedagang Arab
berhasil menemukan Maluku setelah mengarungi Samudra Hindia. Para pedagang ini
kemudian menguasai pasar Eropa melalui kota-kota pelabuhan seperti
Konstatinopel. Abad ke-14 adalah merupakan masa perdagangan rempah-rempah Timur
Tengah yang membawa agama Islam masuk ke Kepulauan Maluku melalui
pelabuhan-pelabuhan Aceh, Malaka, dan Gresik, antara 1300 sampai 1400.
Pada abad ke-12 wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya meliputi Kepulauan Maluku. Pada awal abad ke-14 Kerajaan Majapahit menguasai seluruh wilayah laut Asia Tenggara. Pada waktu itu para pedagang dari Jawa memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Pada abad ke-12 wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya meliputi Kepulauan Maluku. Pada awal abad ke-14 Kerajaan Majapahit menguasai seluruh wilayah laut Asia Tenggara. Pada waktu itu para pedagang dari Jawa memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Dimasa Dinas Ming (1368 – 1643)
rempah-rempah dari Maluku diperkenalkan dalam berbagai karya seni dan sejarah.
Dalam sebuah lukisan karya W.P. Groeneveldt yang berjudul Gunung Dupa, Maluku
digambarkan sebagai wilayah bergunung-gunung yang hijau dan dipenuhi pohon
cengkih – sebuah oase ditengah laut sebelah tenggara. Marco Polo juga
menggambarkan perdagangan cengkih di Maluku dalam kunjungannya di Sumatra.
Era Portugis
Bangsa Eropa pertama yang
menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada waktu itu 2 armada
Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d’Abreu dan Fransisco Serau,
mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin
persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat – seperti dengan Kerajaan
Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di
Pikaoli, begitupula Negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau Ambon.Namunhubungan
dagang rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan
sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen.
Salah seorang misionaris terkenal adalah Francis Xavier. Tiba di
Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada
tahun 1547, dan tanpa kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-pulau di
Kepulauan Maluku untuk melakukan penyebaran agama.
Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570.
Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575), membuat Portugis
harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon.
Era Belanda
Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis, dimanfaatkan Belanda
untuk menjejakkan kakinya di Maluku. Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa
Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon kepada Steven van der Hagen
dan di Tidore kepada Cornelisz Sebastiansz. Demikian pula benteng Inggris di
Kambelo, Pulau Seram, dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu Belanda berhasil
menguasai sebagian besar wilayah Maluku.
Kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dengan berdirinya VOC
pada tahun 1602, dan sejak saat itu Belanda menjadi penguasa tunggal di Maluku.
Di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Kepala Operasional VOC, perdagangan
cengkih di Maluku sepunuh di bawah kendali VOC selama hampir 350 tahun. Untuk
keperluan ini VOC tidak segan-segan mengusir pesaingnya; Portugis, Spanyol, dan
Inggris. Bahkan puluhan ribu orang Maluku menjadi korban kebrutalan VOC.
Pada permulaan tahun 1800 Inggris mulai menyerang dan menguasai
wilayah-wilayah kekuasaan Belanda seperti di Ternate dan Banda. Dan, pada tahun
1810 Inggris menguasai Maluku dengan menempatkan seorang resimen jendral
bernama Bryant Martin. Namun sesuai konvensi London tahun 1814 yang memutuskan
Inggris harus menyerahkan kembali seluruh jajahan Belanda kepada pemerintah
Belanda, maka mulai tahun 1817 Belanda mengatur kembali kekuasaannya di Maluku.
Pahlawan
Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat
tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik,
ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku
akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Thomas Matulessy yang
diberi gelar Kapitan Pattimura, seorang bekas sersan mayor tentara Inggris.
Pada tanggal 15 Mei 1817 serangan dilancarkan terhadap benteng
Belanda ”Duurstede” di pulau Saparua. Residen van den Berg terbunuh. Pattimura
dalam perlawanan ini dibantu oleh teman-temannya ; Philip Latumahina, Anthony
Ribok, dan Said Perintah.
Berita kemenangan pertama ini membangkitkan semangat perlawanan rakyat
di seluruh Maluku. Paulus Tiahahu dan putrinya Christina Martha Tiahahu
berjuang di Pulau Nusalaut, dan Kapitan Ulupaha di Ambon.
Tetapi Perlawanan rakyat ini akhirnya dengan penuh tipu muslihat
dan kelicikan dapat ditumpas kekuasaan Belanda. Pattimura dan teman-temannya
pada tanggal 16 Desember 1817 dijatuhi hukuman mati di tiang gantungan, di Fort
Niew Victoria, Ambon. Sedangkan Christina Martha Tiahahu meninggal di atas
kapal dalam pelayaran pembuangannya ke pulau Jawa dan jasadnya dilepaskan ke laut
Banda.
Era Perang Dunia Ke Dua
Pecahnya Perang Pasifik tanggal 7 Desember 1941 sebagai bagian
dari Perang Dunia II mencatat era baru dalam sejarah penjajahan di Indonesia.
Gubernur Jendral Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh , melalui radio,
menyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda dalam keadaan perang dengan Jepang.
Tentara Jepang tidak banyak kesulitan merebut kepulauan di
Indonesia. Di Kepulauan Maluku, pasukan Jepang masuk dari utara melalui pulau
Morotai dan dari timur melalui pulau Misool. Dalam waktu singkat seluruh
Kepulauan Maluku dapat dikuasai Jepang. Perlu dicatat bahwa dalam Perang Dunia
II, tentara Australia sempat bertempur melawan tentara Jepang di desa Tawiri.
Dan, untuk memperingatinya dibangun monumen Australia di desa Tawiri (tidak
jauh dari Bandara Pattimura).
Dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia,
Maluku dinyatakan sebagai salah satu propinsi Republik Indonesia. Namun
pembentukan dan kedudukan Propinsi Maluku saat itu terpaksa dilakukan di
Jakarta, sebab segera setelah Jepang menyerah, Belanda (NICA) langsung memasuki
Maluku dan menghidupkan kembali sistem pemerintahan colonial di Maluku. Belanda
terus berusaha menguasai daerah yang kaya dengan rempah-rempahnya ini – bahkan
hingga setelah keluarnya pengakuan kedaulatan pada tahun 1949 – dengan
mensponsori terbentuknya “Republik Maluku Selatan” (RMS).
dimekarkan dari Provinsi Maluku melalui Undang-undang
RI Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten
Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat kemudian, diubah dengan Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negera Nomor 3895).
Daerah ini pada mulanya adalah bekas wilayah empat kerajaan Islam terbesar di
bagian timur Nusantara yang dikenal dengan sebutan Kesultanan Moloku Kie Raha
(Kesultanan Empat Gunung di Maluku). Masing-masing adalah Kesultanan Bacan,
Kesultanan Jailolo, Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate.
Pada era pendudukan tentara Jepang (1942-1945), Ternate menjadi pusat kedudukan penguasa Jepang untuk wilayah Pasifik. Memasuki era kemerdekaan, posisi dan peran Maluku Utara terus mengalami kemorosotan. Kedudukannya sebagai karesidenan sempat dinikmati Ternate antara tahun 1945-1957. Setelah itu kedudukannya dibagi dalam beberapa daerah tingkat II (kabupaten).
Upaya merintis pembentukan Provinsi Maluku Utara telah dimulai sejak 19 September 1957. Ketika itu DPRD peralihan mengeluarkan keputusan untuk membentuk Provinsi Maluku Utara untuk mendukung perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 1956, namun upaya ini terhenti setelah munculnya peristiwa pemberontakan Permesta.
Pada tahun 1963, sejumlah tokoh partai politik seperti Partindo, PSII, NU, Partai Katolik dan Parkindo melanjutkan upaya yang pernah dilakukan dengan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong (DPRD-GR) untuk memperjuangkan pembentukan Provinsi Maluku Utara. DPRD-GR merespon upaya ini dengan mengeluarkan resolusi Nomor 4/DPRD-GR/1964 yang intinya memberikan dukungan atas upaya pembentukan Provinsi Maluku Utara. Namun pergantian pemerintahan dari orde lama ke orde baru mengakibatkan upaya-upaya rintisan yang telah dilakukan tersebut tidak mendapat tindak lanjut yang kongkrit.
Pada masa kemerdekaan dan selanjutnya pada masa Orde Baru, daerah Moloku Kie Raha ini terbagi menjadi dua kabupaten dan satu kota. Kabupaten Maluku Utara beribukota di Ternate, Kabupaten Halmahera Tengah beribukota di Soa Sio, Tidore, dan Kota Administratif Ternate beribukota di Kota Ternate. Ketiga daerah kabupaten/kota ini masih termasuk wilayah Provinsi Maluku dengan ibukota Ambon.
Pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie, muncul pemikiran untuk melakukan percepatan pembangunan dibeberapa wilayah potensial dengan membentuk Provinsi-Provinsi baru. Provinsi Maluku termasuk salah satu wilayah potensial yang perlu dilakukan percepatan pembangunan melalui pemekaran wilayah Provinsi, terutama karena laju pembangunan antara wilayah utara dan selatan dan atau antara wilayah tengah dan tenggara yang tidak serasi. Atas dasar itu, Pemerintah membentuk Provinsi Maluku Utara (dengan ibukota sementara di Ternate) yang dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 46 tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Dengan demikian Provinsi ini secara resmi berdiri pada tanggal 12 Oktober 1999,,
Pada era pendudukan tentara Jepang (1942-1945), Ternate menjadi pusat kedudukan penguasa Jepang untuk wilayah Pasifik. Memasuki era kemerdekaan, posisi dan peran Maluku Utara terus mengalami kemorosotan. Kedudukannya sebagai karesidenan sempat dinikmati Ternate antara tahun 1945-1957. Setelah itu kedudukannya dibagi dalam beberapa daerah tingkat II (kabupaten).
Upaya merintis pembentukan Provinsi Maluku Utara telah dimulai sejak 19 September 1957. Ketika itu DPRD peralihan mengeluarkan keputusan untuk membentuk Provinsi Maluku Utara untuk mendukung perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 1956, namun upaya ini terhenti setelah munculnya peristiwa pemberontakan Permesta.
Pada tahun 1963, sejumlah tokoh partai politik seperti Partindo, PSII, NU, Partai Katolik dan Parkindo melanjutkan upaya yang pernah dilakukan dengan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong (DPRD-GR) untuk memperjuangkan pembentukan Provinsi Maluku Utara. DPRD-GR merespon upaya ini dengan mengeluarkan resolusi Nomor 4/DPRD-GR/1964 yang intinya memberikan dukungan atas upaya pembentukan Provinsi Maluku Utara. Namun pergantian pemerintahan dari orde lama ke orde baru mengakibatkan upaya-upaya rintisan yang telah dilakukan tersebut tidak mendapat tindak lanjut yang kongkrit.
Pada masa kemerdekaan dan selanjutnya pada masa Orde Baru, daerah Moloku Kie Raha ini terbagi menjadi dua kabupaten dan satu kota. Kabupaten Maluku Utara beribukota di Ternate, Kabupaten Halmahera Tengah beribukota di Soa Sio, Tidore, dan Kota Administratif Ternate beribukota di Kota Ternate. Ketiga daerah kabupaten/kota ini masih termasuk wilayah Provinsi Maluku dengan ibukota Ambon.
Pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie, muncul pemikiran untuk melakukan percepatan pembangunan dibeberapa wilayah potensial dengan membentuk Provinsi-Provinsi baru. Provinsi Maluku termasuk salah satu wilayah potensial yang perlu dilakukan percepatan pembangunan melalui pemekaran wilayah Provinsi, terutama karena laju pembangunan antara wilayah utara dan selatan dan atau antara wilayah tengah dan tenggara yang tidak serasi. Atas dasar itu, Pemerintah membentuk Provinsi Maluku Utara (dengan ibukota sementara di Ternate) yang dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 46 tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Dengan demikian Provinsi ini secara resmi berdiri pada tanggal 12 Oktober 1999,,
33.Sejarah
Singkat papua
Pada waktu pemerintah
Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal tahun 1960-an nama yang dipakai
untuk menamakan Kepulauan Biak-Numfor adalah Schouten Eilanden, menurut nama
orang Eropa pertama berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi daerah ini pada
awal abad ke 17. Nama-nama lain yang sering dijumpai dalam laporan-laporan tua
untuk penduduk dan daerah kepuluan ini adalah Numfor atau Wiak. Fonem w pada
kata wiak sebenarnya berasal dari fonem v yang kemudian berubah menjadi b
sehingga muncullah kata biak seperti yang digunakan sekarang. Dua nama terakhir
itulah kemudian digabungkan menjadi satunama yaitu Biak-Numfor, dengan tanda garis mendatar di antara dua kata itu sebagai tanda penghubung antara dua kata tersebut, yang dipakai secara resmi untuk menamakan daerah dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang terletak di sebelah utara Teluk Cenderawasih itu. Dalam percakapan sehari-hari orang hanya menggunakan nama Biak saja yang mengandung pengertian yang sama juga dengan yang disebutkan di atas.
Tentang asal-usul nama serta arti kata tersebut ada beberapa pendapat. Pertama ialah bahwa nama Biak yang berasal dari kata v`iak itu yang pada mulanya merupakan suatu kata yang dipakai untuk menamakan penduduk yang bertempat tinggal di daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata tersebut mengandung pengertian orang-orang yang tinggal di dalam hutan, orang-orang yang tidak pandai kelautan, seperti misalnya tidak cakap menangkap ikan di laut, tidak pandai berlayar di laut dan menyeberangi lautan yang luas dan lain-lain. Nama tersebut diberikan oleh penduduk pesisir pulau-pulau itu yang memang mempunyai kemahiran tinggi dalam hal-hal kelautan. Sungguhpun nama tersebut pada mulanya mengandung pengertian menghina golongan penduduk tertentu, nama itulah kemudian diterima dan dipakai sebagai nama resmi untuk penduduk dan daerah tersebut.
Pendapat lain, berasal dari keterangan ceritera lisan rakyat berupa mite, yang menceritakan bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang meninggalkan Pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klen Mandowen. Menurut mite itu, warga klen Burdam memutuskan berangkat meninggalkan Pulau Warmambo (nama asli Pulau Biak) untuk menetap di suatu tempat yang letaknya jauh sehingga Pulau Warmambo hilang dari pandangan mata. Demikianlah mereka berangkat, tetapi setiap kali mereka menoleh ke belakang mereka melihat Pulau Warmambo nampak di atas permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v`iak wer`, atau `v`iak`, artinya ia muncul lagi. Kata v`iak inilah yang kemudian dipakai oleh mereka yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo dan hingga sekarang nama itulah yang tetap dipakai (Kamma 1978:29-33).
Kata Biak secara resmi dipakai sebagai nama untuk menyebut daerah dan penduduknya yaitu pada saat dibentuknya lembaga Kainkain Karkara Biak pada tahun 1947 (De Bruijn 1965:87). Lembaga tersebut merupakan pengembangan dari lembaga adat kainkain karkara mnu yaitu suatu lembaga adat yang mempunyai fungsi mengatur kehidupan bersama dalam suatu komnunitas yang disebut mnu atau kampung. Penjelasan lebih luas tentang kedua lembaga itu diberikan pada pokok yang membicarakan organisasi kepemimpinan di bawah.
Nama Numfor berasal dari nama pulau dan golongan penduduk asli Pulau Numfor. Penggabungan nama Biak dan Numfor menjadi satu nama dan pemakaiannya secara resmi terjadi pada saat terbentuknya lembaga dewan daerah di Kepulauan Schouten yang diberi nama Dewan daerah Biak-Numfor pada tahun 1959.
Dalam tulisan ini saya menggunakan nama Biak-Numfor untuk menyebut daerah geografisnya dan daerah administrasi pemerintahannya. Nama Biak digunakan untuk menyebut bahasa dan orang yang memeluk kebudayaan Biak yang bertempat tinggal di daerah Kepulauan Biak-Numfor sendiri maupun yang bertempat tinggal di daerah-daerah perantauan yang terletak di luar kepulauan tersebut.
Tentang sejarah orang Biak, baik sejarah asal usul maupun sejarah kontaknya dengan dunia luar, tidak diketahui banyak karena tidak tersedia keterangan tertulis. Satu-satunya sumber lokal yang memberikan keterangan tentang asal-usul orang Biak seperti halnya juga pada suku-suku bangsa lainnya di Papua, adalah mite. Menurut mite moyang orang Biak berasal dari satu daerah yang terletak di sebelah timur, tempat matahari terbit. Moyang pertama datang ke daerah kepulauan ini dengan menggunakan perahu. Ada beberapa versi ceritera kedatangan moyang pertama itu. Salah satu versi mite itu menceriterakan bahwa moyang pertama dari orang Biak terdiri dari sepasang suami isteri yang dihanyutkan oleh air bah di atas sebuah perahu dan ketika air surut kembali terdampar di atas satu bukit yang kemudian diberi nama oleh kedua pasang suami isteri itu Sarwambo. Bukit tersebut terdapat di bagian timur laut Pulau Biak (di sebelah selatan kampung Korem sekarang). Dari bukit sarwambo, moyang pertam itu bersama anak-anaknya berpindah ke tepi Sungai Korem dan dari tempat terakhir inilah mereka berkembang biak memenuhi seluruh Kepulauan Biak-Numfor.
Selanjutnya tentang sejarah kontak orang Biak dengan dunia luar, baik menurut ceritera lisan tentang tokoh-tokoh legendaris Fakoki dan Pasrefi maupun sumber keterangan dari Tidore diketahui bahwa kontak itu telah terjadi .jauh sebelum kedatangan orang Eropa pertama di daerah Papua pada awal abad ke-16 (Kamma 1953:151). Hubungan tersebut terjadi dengan penduduk di daerah pesisir utara Kepala Burung, Kepulauan Raja Ampat dan dengan penduduk di Kepulauan Maluku.
Kontak orang Biak dengan orang luar itu terjadi terutama melalui hubungan perdagangan dan ekspedisi-ekspedisi perang. Bukti terlihat pada adanya pemukiman-pemukiman orang Biak yang sampai sekarang dapat dijumpai di berbagai tempat seperti tersebut di atas. Rupanya pada masa sebelum kedatangan orang Eropa di Kepulauan Maluku dan daerah Papua awal abad ke-16, orang Biak telah menjelajah ke berbagai wilayah Indonesia lainnya baik melalui ekspedisi-ekspedisi perdagangan dan perang yang dilakukan oleh orang-orang Biak sendiri maupun bersama dengan sekutu-sekutunya, misalnya dengan Kesultanan Tidore
atau dengan Kesultanan Ternate. Kejayaan orang Biak untuk melakukan berbagai ekspedisi itu menghilang pada akhir abad ke-15 (Kamma 1952:151). Tidak lama sebelum kedatangan orang Eropa pertama di kawasan Maluku dan Kepulauan Raja Ampat pada awal abad ke-16.
34.Sejarah
papua barat
Provinsi Papua Barat
awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar UU Nomor 45 Tahun 1999
tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah,
Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.
Serta mendapat dukungan dari SK DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 10 Tahun 1999
tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi tiga provinsi. Setelah
dipromulgasikan pada tanggal 1 Oktober 1999 oleh Presiden B.J. Habibie, rencana
pemekaran provinsimenjadi tiga ditolak warga papua di Jayapura dengan
demonstrasi akbar pada tanggal 14 Oktober 1999. Sejak saat itu pemekaran
provinsi ditangguhkan, sementara pemekaran kabupaten tetap dilaksanakan sesuai
UU Nomor 45 Tahun 1999.
Pada tahun 2002, atas permintaan masyarakat Irian Jaya
Barat yang diwakili Tim 315. Pemekaran Irian Jaya Barat kembali diaktifkan
berdasarkan Inpres Nomor I Tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati
Soekarnoputri pada tanggal 27 Januari 2003. Sejak saat itu, Provinsi Irian Jaya
Barat perlahan membentuk dirinya menjadi provinsi definitif. Dalam
perjalanannya, Provinsi Irian Jaya Barat mendapat tekanan keras dari induknya
Provinsi Papua, hingga ke Mahkamah Konstitusi melalui uji materiil. Mahkamah
Konstitusi akhirnya membatalkan UU Nomor 45 Tahun 1999 yang menjadi payung
hukum Provinsi Irian Jaya Barat. Namun Provinsi Irian Jaya Barat tetap diakui
keberadaannya.
Setelah itu, Provinsi Irian Jaya terus diperlengkapi
sistem pemerintahannya, walaupun di sisi lain payung hukumnya telah dibatalkan.
Setelah memiliki wilayah yang jelas, penduduk, aparatur pemerintahan, anggaran,
anggota DPRD, akhirnya Provinsi Irian Jaya Barat menjadi penuh ketika memiliki
gurbernur dan wakil gurbernur definitif Abraham O. Atururi dan Drs. Rahimin
Katjong, M.Ed yang dilantik pada tanggal 24 Juli 2006. Sejak saat itu,
pertentangan selama lebih dari 6 tahun sejak UU Nomor 45 Tahun 1999
dikumandangkan, dan pertentangan sengit selama 3 tahun sejak Inpres Nomor 1
Tahun 2003 dikeluarkan berakhir dan Provinsi Irian Jaya Barat mulai membangun
dirinya secara sah.
Dan sejak tanggal 18-04-2007 berubah nama menjadi
Provinsi Papua Barat, berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2007.


No comments:
Post a Comment